Brilio.net - Merasa penat dengan pekerjaan dan ingin pergi liburan tapi nggak mau jauh-jauh sampai ke luar negeri? Kamu bisa coba pergi ke Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten untuk merasakan sensasi liburan dengan dikelilingi pemandangan alam yang masih asri dan suasana sejuk. Kehidupan masyarakat yang dikenal dengan Suku Baduy ini masih kental dengan kearifan lokal dan budayanya. Selain itu masyarakat suku Baduy memilih hidup berdampingan dan bergantung pada alam. Tak heran kalau banyak orang yang menyebut suku Baduy 'serem' karena terisolasi dari kehidupan modern.
Sebutan 'Baduy' sendiri merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut. Berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Sebenarnya, masyarakat Baduy lebih menyukai menyebut mereka sebagai Urang Kanekes atau Orang Kanekes seperti nama desa yang mereka huni.
Suku Baduy terbagi menjadi dua golongan, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Sementara Baduy Dalam adalah bagian dari keseluruhan Suku Baduy. Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada tata cara menjalankan Pikukuh atau aturan adat istiadat. Baduy Dalam masih memegang teguh Pikukuh dan menjalankannya dengan baik, sedangkan Baduy Luar sudah lebih mengenal pola hidup masyarakat modern.
Ketatnya aturan adat pada masyarakat Baduy dalam melarang agar tidak terpengaruh budaya luar rupanya malah jadi ketertarikan seorang wanita yang hobi traveling. Adalah R Adawiyah (27) yang mencoba untuk menemukan atmosfer berbeda dari hiruk pikuk ibu kota dengan berkunjung ke Kampung Cikeusik, salah satu dusun di Desa Kanekes yang terisolir dan dihuni oleh masyarakat adat Baduy Dalam. Aturan adat masyarakat Baduy Dalam yang melarang penggunaan barang-barang elektronik juga membuat wanita yang akrab disapa Upil ini merasa tenang. Bahkan diakui Upil dirinya bisa merasakan ketenangan jiwa meski berjauhan dari barang-barang elektronik dan bisa belajar bersyukur dengan melihat apa yang masyarakat Baduy lakukan sehari-hari.
Menurut cerita Upil, secara umum masyarakat suku Baduy memilih untuk hidup tanpa listrik, tanpa alas kaki, dan tetap berjalan kaki karena tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi. Di suku Baduy tidak terdapat warung ataupun pasar. Bahkan tak ada sekolah, karena masyarakat suku Baduy tidak mengirimkan anak-anaknya ke sekolah untuk belajar layaknya masyarakat pada umumnya. Mata pencaharian utama masyarakat suku Baduy adalah bertani dan berladang. Uniknya sistem pertanian Baduy tidak mengenal alat penggarap sawah, baik mesin maupun kerbau. Alasannya aturan adat melarang masyarakat suku Baduy memelihara hewan berkaki empat. Jadi untuk bisa menanam padi di ladang, mereka hanya mengandalkan air hujan dan tanpa penggunaan pupuk buatan.
Perjalanan memasuki kawasan perkampungan suku Baduy selama 5 jam lewat jalur darat mengantarkan Upil untuk menemukan masyarakat yang masih disiplin dalam menjaga kelestarian alam. Terbukti dari rumah tempat mereka tinggal direkatkan tanpa paku dan semen. Suku Baduy hanya mengandalkan batu kali untuk pondasi dan hanya menggunakan kayu, bambu, ijuk, dan daun pohon aren yang diikat menggunakan tali untuk mendirikan rumah. Meski kontur tanah di pemukiman suku Baduy masih bergelombang, tapi untuk membangun rumah dipilih tanah yang rata. Demi melestarikan alam dan tetap hidup berdampingan, ketua adat suku Baduy yang disebut Pu'un juga melarang jual beli tanah milik adat.
Aturan untuk tetap menjaga kelestarian alam Suku Baduy Dalam tak hanya itu, Upil menguraikan adanya larangan penggunaan bahan-bahan kimia seperti sabun, pasta gigi, sampo dan detergen untuk melakukan aktivitas seperti mandi dan mencuci. Sebabnya dengan menggunakan bahan tersebut dipercaya masyarakat bisa mencemari lingkungan. Terlebih lagi untuk aktivitas mandi dilakukan langsung di sungai. Pengalaman seru diakui Upil selain larangan penggunaan alat maupun bahan kecantikan lainnya adalah saat mandi di sungai.
"Mandi di sungai dengan dikelilingi pohon, telanjang, dan saya nggak merasa takut untuk diintip karena nggak ada yang berani ngintip. Sanksi adat ketat. Lagipula tempat cowok mandi juga dipisah," kata Upil saat menceritakan pengalamannya mandi di sungai tempat suku Baduy Dalam tinggal.
Bagi masyarakat Baduy Dalam yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, amanah leluhur adalah segala-galanya. Bila tak menaati, mereka akan terkena sanksi adat hingga dikeluarkan dari Baduy Dalam. Termasuk dengan amanah nenek moyang untuk menggunakan pakaian hitam atau putih yang ditenun dan dijahit sendiri.
Gimana, tertarik rehat sejenak untuk menemukan ketenangan jiwa dengan pergi ke suku Baduy seperti yang Upil rasakan? Berikut ini kumpulan foto yang didokumentasikan Upil selama perjalanan menuju suku Baduy Dalam, tepatnya saat masih berada di Baduy Luar, yang bisa kamu intip keindahan suasananya. Cekidot!
1. Pemandangan alam yang masih asri dan suasana alam sejuk di suku Baduy Luar, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten
2. Menuju pagi dari kaki Pegunungan Kendeng
3. Upil berfoto selfie dengan Samin, warga Baduy yang menjadi porter membawakan tasnya
4. Selain meladang setiap harinya, anak-anak suku Baduy menjadi porter di hari Sabtu dan Minggu
5. Masyarakat Suku Baduy tidak mengirimkan anak-anaknya ke sekolah untuk belajar layaknya masyarakat pada umumnya
6. Warga Baduy menggunakan kain berwarna hitam dan putih sebagai pakaian sehari-hari
7. Ciri khas dari Suku Baduy selain setelan pakaian putih-putih adalah adanya ikat kepala yang juga berwarna putih
8. Pakaian masyarakat Suku Baduy yang ditenun dan dijahit sendiri
9. Berbeda dengan masyarakat modern, Suku Baduy Dalam tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
10. Rumah masyarakat Suku Baduy yang dibangun tanpa paku dan semen
"Mereka nggak punya apa-apa dan bisa jauh dari kehidupan masyarakat modern, tapi hidupnya bisa bahagia dan tenang atau merasa pusing dengan urusan dunia. Kenapa saya yang dimanjakan dan dimudahkan dengan fasilitas modern malah sering merasa paling nelangsa di dunia," kata wanita yang berprofesi sebagai karyawan agency di Jakarta itu menutup ceritanya kepada brilio.net beberapa waktu lalu.