Brilio.net - Keraton Yogyakarta dan Mangkunegara berduka. Gusti Nurul berpulang sekira pukul 08.00 WIB. Informasi tersebut disampaikan oleh menantunya Hariono melalui akun media sosial Facebook.
"Ibu mertua Gusti Nurul, jam 8 pagi telah dipanggil ke Rahmatulah dan akan disemayamkan ke Astana mangadeg di Surakarta," tulis Hariono dalam akun facebooknya Hari Ono Soeharyo, Selasa (10/11).
Akun Facebook, Mata Ati juga menyampaikan bela sungkawa dan rasa kehilangan. Gusti Nurul dinilai sebgai sosok perempuan yang cerdas dan layak menjadi penutan.
""Keluarga besar Matah Ati berduka, kehilangan sosok yang menjadi perpaduan sempurna kecerdasan, kecantikan, dan kebijaksanaan. Seorang perempuan jawa yang memegang kuat akar tradisi budaya namun tetap mengasah dirinya menjadi visioner modern," tulisnya.
BACA JUGA :
Bang Buyung, dari penjual barang loakan jadi pengacara top
Gusti Nurul dilahirkan pada 1921 dari hasil pernikahan GKR Timur Mursudariyah dan HRH Mangkunegoro VII. Saat lahir orangtuanya memberinya nama Gusti Raden Ajeng Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani.
Meski tumbuh dibalik tembok keraton, sang putri yang disekolahkan di sekolah Belanda, memiliki pemikiran yang cenderung melampaui zamannya. Dia gemar berkuda, berenang, dan amat mahir bermain tenis. Padahal, berkuda adalah sesuatu yang saat itu amat ditabukan untuk seorang putri keraton.
Sebagai seorang putri keraton, Gusti Nurul juga mahir menari. Tahun 1937,dia diundang ke Belanda untuk menari di pernikahan Putri Juliana. Saat itu, dia menari dengan diiringi gamelan secara teleconference, yaitu musik gamelan Kanjut Mesem dimainkan di Solo sedangkan Gusti Nurul mendengarkan alunan gamelan melalui telepon dan menari di hadapan tamu undangan pernikahan. Karena sambungan telepon yang belum baik sang Ibu masih memberikan aba-aba secara langsung berupa ketukan-ketukan. Ratu Wilhelmina yang kagum pada Gusti Nurul memberinya gelar de bloem van Mangkunegaran atau kembang dari Mangkunegara.
Dengan berbagai kelebihan ini, tak heran Gusti Nurul menjadi primadona. Sedikitnya, ada empat tokoh bangsa yang menjadi penggemar dan berlomba mendapatkan Gusti Nurul. Mereka adalah Soekarno, Sultan Hamengkubuwono IX, Sutan Sjahrir dan Kolonel GPH Djatikusumo. Pada saat itu Soekarno orang nomor satu di republik, Sultan HB IX orang nomor satu di Yogyakarta, Sutan Sjahrir perdana menteri dan Djatikusumo adalah panglima tentara (KSAD).
Namun begitu revolusi usai, suatu ketika Soekarno yang flamboyan berhasil mengundangnya ke Istana Cipanas. Soekarno juga memanggil pelukis naturalis kesayangannya, Basuki Abdullah. Basuki dimintanya melukis Gusti Nurul. Setelah jadi, lukisan itu dipajang di kamar kerja Presiden Soekarno di Cipanas.
Walaupun diperebutkan, ternyata Gusti Nurul tak siap menikah dengan tokoh politik. Hal itu lantaran dinilainya mengandung risiko terlalu banyak. Putri yang menolak poligami ini bahkan belum menemukan belahan jiwanya hingga usia 30 tahun. Tentu usia yang terlalu tua bagi para gadis di zaman itu.
Baru pada 24 Maret 1951, akhirnya terkuak tambatan hatinya. Lelaki beruntung itu bukan seorang pembesar atau tokoh terpandang, tetapi seorang tentara. Dia adalah Surjo Sularso, seorang kolonel militer, sepupu dari Gusti Nurul sendiri. Ternyata cinta itu tak harus jauh-jauh ya...