Brilio.net - Terlahir dengan keadaan tidak sempurnya, terkadang membuat orang mudah merasa pasrah dengan keadaan tanpa melakukan usaha yang berarti untuk menghadapi kerasnya hidup. Jangankan orang yang memiliki kekurangan atau keterbasan fisik, bahkan orang sehat pun banyak yang malas bekerja, lebih memilih menjadi penadah belas kasihan orang lain.
Memang itulah yang banyak terjadi saat ini. Kendati demikian, ternyata masih banyak juga sosok orang-orang yang gigih berjuang tanpa mengharap belas kasiahan orang, meski dalam keadaan yang serba keterbasan. Dullah, misalnya. Meski kedua matanya tak mampu melihat, dirinya enggan menadah belas kasihan orang. Ia lebih memilih berjualan kerupuk kulit dengan cara berkeliling sepanjang jalan.
Edho, seorang warga yang jalannya biasa dilalui, menceritakan bahwa bapak Dullah ini, sambil memegang tongkat yang menjadi penuntunnya, berjalan menyusuri jalan-jalan di sekitar Kota Bandarlampung. "Kiripik kulit-kripik kulit" teriak Dullah menawarkan barang dagangan, yang dititipkan seorang juragan kepadanya.
"Harga dagangannya 5.000 per bungkus" tutur Edho kepada brilio.net, Kamis (18/6). Yang lebih salut, imbuh Edho, Dullah ini dia tidak mau dikasih uang secara cuma-cuma. Ia lebih memilih mendapatkan uang yang sedikit, namun dari kerja kerasnya sendiri, dibandingkan mendapatkan uang banyak namun dari belas kasihan orang.
"Saya ini lebih senang menjadi penjual, saya tidak ingin meminta-minta. Selama saya masih bisa berusaha saya akan melakukan apa pun demi keluarga, tanpa mengharapkan balas kasiahan orang" kata Edho, menirukan ucapan bapak Dullah ini.
BACA JUGA:
Kisah Mbah Srilah jaga tradisi membuat stagen dengan alat tenun kayu
Kesetiaan Mbah Yudo ke Keraton, 12 tahun kerja bergaji Rp 15.000/bulan
Mbah Dumiyo, usia 90 tahun tetap semangat jualan 'es jadul'
Usia senja, Mbah Temo semangat jualan peyek demi untung tak seberapa
Kisah Mbah Sugeng, tak mau minta-minta meski tinggal di kos reyot
Cara ibu membahagiakan kamu lebih dari yang kamu sadari
Gigihnya Mbah Kom, 32 tahun jajakan sapu lidi meski tak melihat