1. Home
  2. »
  3. News
5 Desember 2015 23:05

Mengajar di Papua, 3 mahasiswa UNY terjebak perang antarsuku

Mereka butuh waktu 12 jam berjalan kaki melewati hutan untuk mencari tempat mengungsi. Efendi Ariwibowo

Brilio.net - Aditya Prihastini Wikantini, Ageng Hening Hutomo, dan Febrian Nur Hidayat menjadi guru mengajar Program Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T) di Distrik Oksamol, Papua. Mereka tentu dibekali jurus jitu untuk menghadapi permasalahan murid dan proses belajar dengan fasilitas yang minim.

Namun, ternyata apa yang dihadapinya di luar dugaan. Mereka yang berada di wilayah Pegunungan Bintang, Papua harus menghadapi perang antar suku.

Menurut Febrian, perang suku yang terjadi sangat menyeramkan sehingga mereka memutuskan untuk mengungsi ke distrik tetangga Oklib. Mereka harus menempuh perjalanan darat selama 12 jam berjalan kaki melintasi hutan belantara. Tidak ada jalan aspal yang dilewati angkutan umum, hanya ada pesawat yang pada saat itu diblokir penerbangannya karena perang suku.

Ditemani 4 siswa SD Inpres Tinibil Oksamol sebagai penunjuk jalan, mereka menempuh jalan sempit dan curam serta berjurang. Setelah satu jam perjalanan rombongan sampai di Kampung Une dan disambut siswa SD yang tinggal di sana. Setelah cukup beristirahat mereka melanjutkan perjalanan ke Oklib.

Wikantini mengatakan makin jauh perjalanan yang ditempuh bukan semakin mudah. Lereng-lereng curam, jalanan longsor dan sungai kecil yang licin.

"Berulang kali saya mengajak beristirahat walau belum ada seperempat jalan. Kami melepas lelah di kebun, sungai dan tempat yang rindang," kata Wikantini seperti dikutip brilio.net dari laman resmi Universitas Negeri Yogyakarta, Sabtu (5/12).

"Perjalanan ini benar-benar memberi nuansa baru, menegangkan dan memberi pengalaman luar biasa. Kami seperti masuk dalam semak dan gua-gua pohon. Licin dan menyeramkan. Dan untuk mencapai puncak itu kami harus berjalan sekitar 3 jam," paparnya.

Lebih jauh dia mengungkapkan rombongan tiba di puncak Hipyohikin ketika pukul 17.30 WIT. Jalan yang dilewati bukan lagi tanah atau batu melainkan potongan-potongan kayu yang di tata rapi. Tidak ada senter, yang ada hanya lampu power bank.

"Kami harus melewati sungai dengan jembatan kayu gelondongan sepanjang 10 meter," kenang Wikan.

Menurutnya baru pukul 19.35 WIT mereka baru sampai puncak yang kedua, dan Oklip masih jauh di bawah sana. Tepat pukul 20.15 WIT, akhirnya sampai di distrik Oklip. Rombongan disambut para guru SM3T Distrik Oklib.

"Saya tak menyangka bisa berjalan sejauh itu walaupun dengan susah payah. Terima kasih untuk teman-teman dan muridku. Perjuangan yang tak akan pernah terlupakan. Kami ikut merasakan segalanya bersama mereka. Terimakasih anak-anak. Terima kasih Papua," pungkas dia.


SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags