Brilio.net - Mayor Jenderal Professor Moestopo dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional pada 9 November 2007. Pejuang kemerdekaan asal Ngadiluwih Kediri ini juga merupakan seorang dokter gigi dan pendidik. Ia menempuh Sekolah Kedokteran Gigi di Surabaya, dan pada masa Jepang ia pernah ditangkap oleh Kempeitai dan ketika dibebaskan ia menjadi dokter gigi untuk Jepang kala itu.
Setelah itu, Moestopo memutuskan untuk berlatih sebagai seorang perwira tentara dan lulus dengan pujian. Moestopo bergabung komando pasukan PETA di Sidoarjo, ia kemudian dipromosikan menjadi komandan pasukan di Surabaya. Hebatnya, selama perang ia menjabat beberapa posisi, salah satunya memimpin satu skuadron tentara reguler, pencopet, dan pelacur.
BACA JUGA :
Sederhananya cangkir yang digunakan Sudirman usai perang gerilya
Dalam buku Gejolak Revolusi Di Indonesia 1945-1949: Pergulatan Antara Otonomi Dan Hegemoni yang ditulis oleh Robert B Cribb, Hasan Basari, sosok Moestopo dituliskan sebagai seorang perwira yang eksentrik namun imajinatif yang memiliki gagasan, misalnya untuk mengolesi ujung bambu runcing dengan kotoran kuda agar dapat menimbulkan tetanus pada musuh yang tertusuk.
Pada pertengahan 1946 Moestopo dikirim ke Subang, di mana dia memimpin Pasukan Terate. Selain dari pasukan militer reguler, anggota Pasukan Terate juga terdiri dari pencopet dan pelacur yang bertugas menyebarkan kebingungan dalam pengadaan dan pasokan Belanda. Moestopo juga menjabat sebagai pendidik politik bagi pasukan militer di Subang. Pada Mei 1947, setelah menjalani periode sebagai kepala Biro Perjuangan di Jakarta, ia dipindahkan ke Jawa Timur setelah terluka dalam pertempuran dengan pasukan Belanda.
Setelah perang, Moestopo terus bekerja sebagai dokter gigi, dan pada tahun 1961 ia mendirikan Universitas Moestopo. Dia meninggal di Bandung pada tahun 1986.
BACA JUGA :
Parino, veteran PETA, usia 16 tahun sudah berjuang memanggul senjata