Brilio.net - Umumnya pesantren diisi oleh santri usia anak-anak hingga remaja. Tapi pesantren ini berbeda. Di Pondok Pesantren Isiteks (Islam Teknologi dan Seni), santri yang mendaftar harus disyaratkan telah lulus program doktor universitas atau telah bergelar profesor.
Pondok Pesantren Isiteks berbeda dengan pesantren pada umumnya. Pesantren yang terletak di dekat pemakaman raja Mataram, Imogiri, Bantul ini memadukan Islam dengan teknologi dan seni. Djaka Sasmita (61), pengasuh pesantren tersebut merupakan doktor ilmu thermodinamika Utrech University Belanda. Ia dulu juga merupakan dosen Ilmu Kimia di Universitas Gadjah Mada (UGM). Tapi pada tahun 1996 ia memutuskan keluar dari UGM karena tak mau membebani negara.
Djaka menjadikan alquran sebagai landasan berilmunya. Berlandaskan alquran surat Al-Baqarah ayat 28, Djaka merumuskan Siklus Kaifa yang menjadi dasar dalam berbagai ciptaannya. Ia juga berhasil menemukan biochip yang dalam perkembangannya sangat bermanfaat bagi dunia kedokteran.
Di rumahnya, ia juga membuka praktik pengobatan. Tapi praktik pengobatan yang dibuka bukan pengobatan alternatif, melainkan pengobatan yang mengandalkan biochip buatannya dan terapi nuklir.
Sejak muda, Djaka telah menjadi guru ngaji. Hal itulah yang mendasarinya untuk mendirikan pesantren berbasis sains pada sekitar tahun 1992. Di kediamannya, ia menerima para santrinya yang disyaratkan harus bergelar doktor atau profesor.
"Mereka belajar di sini apa yang belum mereka temukan di universitas. Bidangnya pun bermacam-macam, mulai dari fisika, kimia, elektro, nuklir, hingga pertanian," terang Djaka kepada brilio.net, Senin (28/9).
Untuk bisa belajar kepada dirinya tak hanya bermodal gelar doktor atau profesor. Sang calon santri harus memenuhi berbagai syarat yang diberikan Djaka. Putra dari Djogo Pertiwi (alm), juru kunci makam raja-raja Mataram Imogiri Bantul ini tak mau menyebut detail. "Yang pasti syaratnya tidak boleh maksiat. Tak hanya sekadar jadi santri, saya juga memaksa dia untuk tidak berbuat hal-hal yang dilarang dalam Islam," terangnya.
Selain mengajari para doktor dan profesor, ia juga secara rutin mengadakan pengajian untuk warga sekitar. Mereka yang mengikuti pengajian akan mendapatkan terapi nuklir yang dapat memperbaiki jaringan sel dan membasmi biotik non-tubuh. Tapi syarat untuk ikut harus telah menghafalkan alquran surat Albaqarah tiga maqra (batas huruf ain di pinggir halaman) awal.
50 lebih santrinya yang minimal bergelar doktor itu memang tak ada yang mukim di kediamannya. Mereka yang berasal dari berbagai disiplin ilmu silih berganti datang ke rumahnya. "Pesantren ini resmi, terdaftar di Kementerian Agama," ungkap Desiana Miranti, menantu Djaka yang saat itu menemaninya menjawab pertanyaan brilio.net.
BACA JUGA :
10 Bukti kedermawanan Mark Zuckerberg yang patut diacungi jempol