Brilio.net - Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menerbitkan data bahwa terdapat sekitar 2,4% penduduk Indonesia menderita penyakit hepatitis. Dari jumlah itu, sekitar 80% menderita hepatitis C kronis dan 5% hepatitis B yang menjadi kronis, sehingga ada sekitar 4 juta orang Indonesia yang harus melakukan terapi.
Penyakit hepatitis dapat menjadi penyebab untuk munculnya penyakit sirosis hepatis. Sirosis hepatis merupakan salah satu penyakit kerusakan fungsi hati yang cukup berbahaya. Hati merupakan salah satu organ terpenting dalam tubuh manusia yang berperan sebagai metabolisme zat yang terdapat di dalam tubuh, sehingga jika mengalami kerusakan akan mengganggu fungsi organ tubuh lainnya.
BACA JUGA :
Lestarikan tradisi luhur warisan nenek moyang, Sidik bikin rumah jamu
Sampai saat ini pengobatan untuk kerusakan hati adalah dengan melakukan implantasi hati, namun implantasi hati tidak sembarangan bisa diterapkan sebab dibutuhkan tenaga ahli dan berbiaya mahal. Kondisi inilah yang membuat empat mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) melakukan terobosan baru untuk mengatasi permasalahan tersebut. Mereka adalah Nurul Attika Zain,Jamaluddin Ahmad Ali Mas'ud, Chamim Faizin dan Nurliana Achmad.
"Karena obat-obatan yang ada di pasaran belum mampu menangani hal tersebut, kami mencoba membuat terapi alternatif dari herbal," jelas Chamim kepada brilio.net, Kamis (6/8).
Mereka membuat Nano-KC (Nano-Kurkumin Chitosan) sebagai terapi alternatif sirosis hepatis. Zat kurkumin dari kunyit yang mempunyai efek hepatoprotektif dan hepato kuratif mampu meregenerasi kembali sel-sel hati yang telah rusak. Ditambah dengan zat chitosan dari kulit hewan crustacea yang berfungsi memperlambat paruh waktu kurkumin dalam tubuh, sehingga efek terapinya maksimal. Dengan metode nanopartikel membuat kurkumin dan chitosan mampu masuk ke sel-sel terkecil sekalipun.
BACA JUGA :
Kamu batuk? Jangan minum obat kimia, obati dengan bawang putih saja
Semua bahan yang telah dikumpulkan kemudian diekstrak dan dibentuk menjadi nanopartikel. Setelah berhasil membuat obat tersebut, mereka lalu mengujinya kepada tikus putih yang telah terinveksi sirosis hati. Hasilnya membuktikan bahwa terjadi penurunan biomarker sirosis hepatis dan dapat memperbaiki sel-sel hati yang telah rusak.
"Proses pembuatan yang sangat rigit, teliti, dosis yang tepat, alat yang khusus serta perlu tenaga ahli yang baik membuat lama dalam proses pembuatan dan biaya yang diperlukan memang tidak murah," cerita Chamim.
Dengan melalui proses penelitian hingga 5 bulan, akhirnya empat mahasiswa ini mendapatkan hasil yang diinginkan. Tentu ini merupakan kabar baik bagi dunia kesehatan Indonesia. Saat ini memang baru sebatas penelitian dan pembuatan skala kecil, namun tidak menutup kemungkinan obat ini akan dipasarkan sehingga dapat digunakan oleh masyarakat penderita sirosis hepatis.
"Ke depannya semoga penelitian ini bisa dilanjutkan agar lebih baik lagi dalam proses pembuatan dan segala macamnya," harap Chamim dan rekannya.