Brilio.net - Bulan Mei tidak terasa sudah memasuki penghujungnya. Setelah minggu kemarin sempat "libur" karena ada acara pelatihan bagi para relawan, maka minggu ini kami dari Jendela Jogja kembali lagi mengisinya dengan kegiatan mobile library dan pergi ke Desa Turgo. Namun ada yang sedikit berbeda, karena minggu ini kami akan menjelajah daerah baru. Bantul!. Jadi nanti para Jendelis akan terpisah menjadi dua kubu, satu ke utara (Turgo), dan yang lainnya ke selatan (Bantul). Jarak yang cukup ekstrim memang, hehe.
Jadi rencananya, tujuan kami ke Bantul kali ini adalah untuk mengadakan mobile library sekaligus survei untuk tempat kegiatan tetap kami yang baru. Paginya, setelah berkumpul di Boulevard UGM, sembilan Jendelis segera meluncur menuju Bantul, tepatnya ke Desa Deresan.
BACA JUGA :
True Story: Membuka jendela dunia dari bawah jembatan Lempuyangan
Keberangkatan yang agak ngaret, ditambah Anna sebagai penunjuk jalan yang sempat lupa gang masuk desanya, membuat kami tiba agak terlambat di Desa Deresan. Begitu sampai, cukup kaget juga melihat sekitar 20-an anak sudah duduk rapi menunggu kami. Wah luar biasa. Padahal biasanya kami yang harus berkeliling dulu mengumpulkan anak-anak untuk kegiatan. Hmm, mungkin karena baru pertama, begitu pikir kami. Tapi ada lagi yang aneh, kenapa semua yang berkumpul anak perempuan? Ke mana anak laki-lakinya?
Ternyata tak lama kemudian, beberapa anak laki-laki muncul. Tidak sebanyak anak perempuan, tapi lumayanlah. Nah yang lucu, saat kami menyuruh mereka bergabung dengan para anak perempuan yang sudah lebih dulu membentuk lingkaran, tidak ada satu pun yang mau. Sudah dibujuk berulang kali pun tetap tidak ada yang mau. Kami pun menyerah, jadilah kegiatan hari itu berlangsung sangat syari'ah (meminjam istilah Agustin), karena laki-laki dan perempuannya terpisah.
Meski berlangsung terpisah, kegiatan di Desa Deresan hari itu tetap seru. Selain membaca, kami juga menganyam dan membuat parakarya dari origami. Anak di Deresan bisa dikatakan cukup kreatif. Salsa anak yang pintar membuat sesuatu dengan origami, juga Inggit yang bisa membuat anyaman dengan pola rumit.
BACA JUGA :
True Story: Mamaku adalah 'papaku' juga
Selain kreatif, mereka juga sangat kooperatif. Kebetulan desa mereka memang pernah didatangi anak-anak KKN dari beberapa kampus, sehingga terlihat bahwa mereka sudah terbiasa dengan orang luar dan kegiatan semacam ini.
Secara keseluruhan, kami mendapat kesan yang cukup baik untuk kegiatan pertama kami di desa ini. Bukan bermaksud membandingkan, tapi dibandingkan dengan Turgo dan Sapen, mengajar anak-anak di Deresan hampir bisa dibilang tidak ada tantangan yang berarti. Anak-anak yang kooperatif, ditambah dengan lingkungan yang sepertinya cukup baik, membuat desa ini menurut kami sudah cukup kondusif.
Paling diperlukan di desa ini sebenarnya adalah fasilitas semacam perpustakaan tetap, sehingga minat baca mereka yang sudah cukup tinggi dapat tersalurkan. Meski masih belum tau pasti bagaimana kelanjutan kegiatan kami di desa ini, namun melihat antusiasme dari anak di sana membuat kami rasanya ingin kembali lagi ke Deresan! Dan tentunya sembari menjelajah daerah yang lain yang sekiranya juga membutuhkan fasilitas serta pembinaan. Terimakasih ya kepada adik-adik deresan yang sudah begitu antusias kemarin. Kalian luarrrr biasaaa.
Cerita ini dinarasikan berdasarkan pengalaman pribadi Raisa Nasyitha bersama Komunitas Jendela Jogja.