Brilio.net - Musik memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan David Binanary, alumnus Universitas Villanova. Sejak kecil dia sudah bermain biola. Bahkan di umur 12 tahun dia sudah tampil di Carnegie Hall, New York. Selang beberapa waktu, dia juga diundang untuk tampil di Gedung Putih. Setelah lulus kuliah, dia memutuskan untuk berwirausaha dengan mendirikan toko musik.
Ketika Binanary sakit, musik menyembuhkannya. Kisah ini berawal ketika dia mengalami pendarahan di dalam ususnya. Ketika dibawa ke sebuah rumah sakit, tangannya mulai bergetar dan pikirannya mulai kacau. Dia mendeskripsikan otaknya tiba-tiba lari dari kenyataan.
"Inilah pertama kali saya mulai sinting," kata David seperti dilansir brilio.net dari lifehack, Sabtu (29/8).
Setelah proses medis dari rumah sakit selesai, keanehan mulai muncul dari dirinya. Binanary mengaku mulai merasakan halusinasi dan takut terhadap semua hal. "Bahkan aku tidak mampu pergi ke supermarket karena takut," kenangnya.
Dia bahkan tidak tahu apa yang ditakutkan, dia hanya takut dengan kehidupannya. Itulah awal dia menderita penyakit kejiwaan bernama Schizophernia. Dia menderita penyakit ini selama 5 tahun. Meski jalan medis sudah ditempuh, dia tetap saja bermasalah dengan penyakitnya itu.
Angin segar mulai dirasakan Binanary ketika ayahnya mengajak bermain biola kembali. Aktivitas inilah yang membantunya bangkit dari Schizophernia. "Setiap saya menggesek biola, saya merasakan adanya perubahan," akunya.
Dia juga mulai mengurangi ketergantungannya dengan obat dan memilih memainkan biola sebagai terapi. Dia menghabiskan 10 jam per hari selama 5 tahun untuk melawan penyakitnya. Akhirnya dia sembuh dari Schizophernia berkat musik. Dia seperti terlahir kembali. Bahkan dia juga mulus menjalani pernikahan.
Hal yang senada juga dirasakan oleh seseorang yang menderita stroke. Cerita ini dituturkan oleh Elena Mannes, pengarang dari buku 'The Power of Music'. Dia menceritakan seorang pasien yang mengalami kesusahan bicara akibat stroke. Untuk mengatasi hal tersebut, sang pasien menjalankan terapi dengan menyanyikan kata-kata. Dia tidak hanya sekedar mengucapkan saja. Terapi ini dikenal dengan sebutan intonasi melodi yang mendorong otak kanan lebih aktif.
Selain kisah di atas, banyak sekali temuan yang mengungkap kemujaraban musik sebagai obat. Berikut ini daftarnya:
1. Penelitian di Klinik Cleveland menunjukkan bahwa pasien pasca operasi yang mendengarkan musik bisa meredakan rasa sakitnya sampai 4 kali lipat. Selain itu, musik juga bisa mengurangi dosis bius selama operasi berlangsung.
2. Musik juga bisa mengurangi stres dan kegelisahan bagi pasien. Studi menunjukkan bahwa musik bisa mengurangi ketegangan saat proses operasi bagi pasien jantung koroner.
3. Bukti lain juga menunjukkan bahwa mendengarkan musik bisa meningkatkan sistem imun tubuh. Hal ini disebabkan oleh menurunnya hormon stres dan meningkatnya hormon pertumbuhan. Meskipun studi ini butuh penelitian lebih lanjut.
4. Selain itu, banyak penelitian yang menghubungkan antara musik dan kebahagiaan. Hal ini dipercaya bahwa musik bisa menstimulasi bagian otak untuk memicu rasa senang. Meskipun banyak kajian ilmiah yang mengatakan bahwa rasa senang atau bahagia pada setiap orang sangat bervariasi. Bahkan temuan tersebut menunjukkan bahwa efek musik sama besarnya dengan kokain, makanan enak, dan humor dalam memicu kebahagiaan dalam otak.
Musik sebagai sarana pengobatan sebenarnya bukan hal yang baru. Hal ini sudah diujicobakan sebagai terapi bagi anak penyandang autis dan penderita Parkinson. Meskipun berdampak signifikan, tetapi banyak orang yang meragukan hal tersebut. Dugaan ini muncul karena sedikitnya penelitian yang mendukung. Apabila ada, hasilnya tidak bisa digeneralisasikan ke semua populasi, meski secara ilmiah sudah terbukti. Berikut adalah daftar 'kelemahan' dalam meneliti hubungan antara musik dan kesehatan selama ini beserta solusinya:
1. Studi yang sudah dilakukan tidak membedakan secara jelas aktivitas musik seperti apa yang bisa bermanfaat bagi pasien, apakah memainkan alat musik atau hanya mendengarkan saja. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk investigasi kegiatan bermusik seperti apa yang lebih menghasilkan efek lebih baik dalam proses penyembuhan.
2. Penelitian terdahulu juga luput untuk mengkategorikan efek dari berbagai jenis musik. Misalnya bagaimana musik yang bernuansa 'relaxing' mempengaruhi proses terapi. Seharusnya sang peneliti memberikan batasan musik dan jenis musik seperti apa dan bagaimana efeknya terhadap kasus penyakit tertentu.
3. Tidak ada kejelasan siapa yang memilih musik dalam sebuah terapi, apakah sang pasien atau sang terapis yang menentukan musik. Sang peneliti harus lebih jelas dalam mendeskripsikan dalam proses pemilihan lagu tersebut.
4. Studi terdahulu juga tidak memberikan batasan apakah terapi itu dilakukan secara kelompok atau individual. Seharusnya sang peneliti juga menjelaskan keadaan bagaimana terapi dilakukan.
5. Selama ini, penelitian hanya dilakukan seperti percobaan yang dilakukan secara acak. Seharusnya penelitian terkait musik dan kesehatan dilakukan dengan standar tinggi.
Meski banyak perbedaan pendapat apakah musik memang terbukti bisa menyembuhkan secara ilmiah atau tidak, lebih baik simak kutipan berikut ini. "Saya tidak bisa mengatakan bahwa musik merupakan sebuah pil yang bisa mengobati suatu penyakit, tapi banyak pil yang memiliki efek samping baik fisik maupun psikis. Tapi musik tidak mempunyai efek samping apapun," kata Stefan Koelsch, peneliti berpengalaman dari Universitas Sussex, Inggris.
Recommended By Editor
- Mengenal penyakit psoriasis, pasiennya berisiko mengalami depresi
- Jika tak benar memakainya, tisu basah malah bisa menyebarkan kuman!
- Berhati-hati dengan diagnosa dokter
- Asal minum antibiotik bisa bikin sakit kamu jadi tambah sakit, awas!
- Istilah 'mungkin kamu lelah' ternyata ada penjelasan ilmiahnya lho
- 6 Fakta yang perlu kamu tahu dari kemoterapi
- Ada benjolan di leher? Waspadai tujuh penyakit ini