Brilio.net - Menjadi pelajar di luar negeri memang bukan hal yang mudah. Selain harus beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda, para mahasiswa tersebut juga diharuskan mempelajari bahasa baru apalagi jika negara yang dituju bukanlah negara yang memiliki bahasa utama Bahasa Inggris.
Lalu bagaimana jika menuntut ilmu di negara yang tengah konflik? Tentu tantangannya lebih besar, bahkan nyawa bisa menjadi taruhannya. Setidaknya begitulah yang dirasakan oleh sebagian besar mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Damaskus, Suriah.
"Sejak gelombang Arab Spring melanda Timur Tengah pada tahun 2011 yang lalu, tahun ini berarti sudah lima tahun terjadi krisis yang memporak porandakan Suriah. Hal itu juga kami rasakan, kami tidak bisa sebebas dulu," jelas Fauzi Fuadi, salah satu anggota PPI Damaskus kepada brilio.net Selasa (2/9).
Perbandingan dulu dan sekarang pun diungkapkan oleh Fauzi, sebelum krisis melanda mereka masih bisa keluar malam mencari makan atau hanya sekedar silaturahmi ke masjid-masjid yang sering menyediakan snack gratis bagi para pelajar.
"Orang Damaskus itu sebenarnya sangat dermawan kepada mahasiswa asing. Kami bahkan sering diberi uang saku. Namun sejak krisis kami sudah jarang berani keluar sembarangan," lanjut Fauzi
Namun kini kondisi itu jarang ditemukan. Kesulitan ekonomi menjadi faktor utamanya. Bahkan, beberapa masjid yang biasa jadi langganan pelajar berburu makanan, sudah dikuasai pemberontak, baik dari kelompok Free Syrian Army, ISIS, Jabhat al-Nushra atau pun kelompok lain. Selain itu, faktor keamanan yang rawan juga tidak memungkinkan mahasiswa bepergian terlalu malam.
"Sebelum krisis, kita bebas bepergian jam berapapun dan kemanapun. Bahkan anak-anak bermain bola di lapangan hingga larut malam pada musim panas ini. Tidak ada orang yang bertanya, siapa dan maksud kita apa," kenang Ahsin Mahrus rekan Fauzi, mahasiswa pascasarjana di Universitas Kuftaro. "Kalau sekarang ngeri. Keluar malam, kita dicurigai. Ditanyai macam-macam oleh tentara di check point," katanya lagi
Fauzi juga membawa memorinya kembali pada tahun-tahun awal konflik. Mendengar suara roket berdesing dan ledakan bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Dalam sehari bisa puluhan roket dijatuhkan, namun targetnya bisa diprediksi. Roket biasanya jatuh di kantor-kantor pemerintah, markas polisi dan tentara, serta daerah-daerah yang dihuni kaum minoritas.
Walau begitu tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus menuntut ilmu di Negeri Syam tersebut. Walaupun sudah banyak WNI dan mahasiswa yang dipulangkan, mereka memutuskan bertahan untuk menyelesaikan studi mereka.
Recommended By Editor
- 6 Barang yang sering digadai mahasiswa saat 'kiriman terlambat'
- Saatnya anak muda lestarikan warisan budaya, mahasiswa ini contohnya
- Aturan tata cara SMS ke dosen undang keprihatinan, mahasiswa kok gitu?
- Kesulitan makan kaum difabel teratasi dengan alat bantu makan ini
- 6 Tipe pengunjung perpustakaan, kamu termasuk yang mana?
- Komunitas GBN, gerakan mahasiswa mengabdi di perbatasan
- 15 Komentar menjengkelkan yang sering didengar mahasiswa psikologi
- Aktivis kampus ini raih IPK sempurna
- Kamu mahasiswa baru? Ini 7 hal yang perlu kamu perhatikan
- Peringati kemerdekaan, mahasiswa di daerah ini kumpulkan 4 kg paku
- Perkenalkan, Aldo, mahasiswa termuda UGM, usianya baru 14 tahun!