Brilio.net - Bung Hatta, Wakil Presiden RI pertama, dikisahkan pernah sampai tidak bisa membeli sepatu yang diidam-idamkan semasa hidupnya bahkan hingga dirinya meninggal dunia. Berbeda sekali dengan pemimpin zaman sekarang, yang hampir semua kebutuhannya terpenuhi dengan mudah. Zaman memang sudah berubah dan model kepemimpinan dari waktu ke waktu memang tidak akan sama. Namun setidaknya sikap sederhana seorang pemimpin, sudah diteladankan para pendiri negeri ini.
Begitulah cerita singkat Kepala Desa Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta, Wahyudi Anggoro saat mengawali pembicaraanya dalam kelas klinik Jambore Desa bertema 'Desa Antikorupsi', Selasa, (15/12). Desa yang dipimpin Wahyudi Anggoro adalah desa model yang dijadikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai desa yang transparan dan antikorupsi. Selain itu, Desa Panggungharjo juga berhasil meraih Juara 1 Lomba Desa Nasional dan meraih Piala Adikarya Bhakti Praja di tahun 2014.
foto: Wahyudi Anggoro saat Penyesuaian Jabatan di Pemerintah Desa Panggungharjo
"Ada tiga hal mendasar untuk membangun desa antikorupsi: Membangun akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi," tutur Wahyudi saat ditemui brilio.net, seusai mengisi kelas Desa Anti Korupsi, Selasa, (15/12).
1. Membangun Akuntabilitas
Akuntabilitas merupakan pengetahuan dan adanya pertanggungjawaban tehadap tiap tindakan, produk, keputusan dan kebijakan. Termasuk pula di dalamnya administrasi publik pemerintahan.
Salah satu tindakan yang mencerminkan akuntabilitas adalah pengelolaan aset desa. Baik aset bergerak ataupun aset tidak bergerak."Aset-aset tersebut harus didata dengan jelas, jika aset tersebut disewakan ke pihak lain biayanya berapa, masuk kemana, yang bertanggungjawab siapa. Semua itu berhak diketahui oleh warga desa," kata Wahyudi menjelaskan.
Wahyudi bilang, akuntabilitas juga bis aterkait dengan data keuangan desa yang bisa diakses warga. Seharusnya warga desa leluasa untuk memperoleh informasi, dimana, berapa untuk apa dan dari mana keuangan desa itu ada dan digunakan. Hal ini sebagai wujud bahwa pemerintah desa bersikap akuntabel dalam pengelolaannya. Sehingga tidak muncul anggapan negatif kepada pemerintah desa, tentang pengelolaan uang tersebut.
2. Membangun Transparansi
Adapun proses dalam membangun transaparansi, kepala desa berkacamata itu mencontohkan adanya kegiatan pelaporan program dan keuangan secara berkala, serta penyerapan-penyerapan ide melalui kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan.
Wahyudi mencontohkan, di desa yang dipimpinnya, keterbukaan informasi dilakukan melalui berbagai media, sebagai bukti bahwa ada itikad pemerintah desa untuk bersikap transparan dalam setiap tindakan dan kebijakannya.
"Wujud transaparansi itu kita sampaikan melalui portal desa,koran desa dan juga media-media komunikasi lain yang mengajak warga desa untuk mengevaluasi kebijakan publik yang sudah dibuat. Misalnyan dalam kegiatan Buka Bersama, pemerintah desa memaparkan keuangan yang masuk dan keluar. Agar masyarakat sama-sama mengetahui dan merasa memiliki dana desa yang ada," imbuhnya.
3. Membangun Partisipasi
Melibatkan partisipasi warga diyakini Wahyudi sebagai salah satu strategi untuk membangun kepercayaan warga desa dengan aparat desa. "Saat pemerintahannya jujur dan transparan, partisipasi warga pasti akan meningkat. Sehingga segala bentuk program positif desa bisa berjalan lancar dengan keikutsertaan warga," tegas Wahyudi.
Partisipasi berbeda dengan mobilisasi. Mobilisasi memerlukan adanya dorongan dari luar diri warga desa untuk melakukan suatu tindakan. Sedangkan partisipasi merupakan murni kesadaran warga serta menganggap tindakan tersebut memang bukan hanya tanggungjawab pemerintah desa, melainkan tanggungjawab warga desa secara bersama-sama.
Wahyudi menambahkan jauh sebelum Presiden Joko Widodo mengkampanyekan Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, warga desa Panggungharjo sudah memiliki Jasa Perlindungan Sosial (JPS) untuk bidang Pendidikan, Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Bukti nyata partisipasi ini terlihat, dimana banyak warga mampu yang mengasuransikan pendidikan anak tidak mampu. Premi asuransi ini murni dibayarkan dari warga tanpa adanya mobilisasi dari pemerintah desa," kata Wahyudi.
Lebih lanjut Wahyudi memaparkan indikasi tidak adanya partisipasi warga desa dengan pemerintah desa, dapat dilihat dari banyaknya proyek pembangunan yang mangkrak. Hal tersebut menjadi bukti kegagalan partisipasi masyarakat.
Wahyudi menambahkan, jangan sampai ada proyek pembangunan gedung desa yang hanya bertujuan menghabiskan dana desa saja. Harus benar-benar dihitung apakah warga membutuhkan gedung tersebut atau tidak. "Misal warga tidak pingin dibuatkan gedung kamtib kok dibangun, ya jelas bangunan tersebut akan mangkrak, itu artinya proyek pembangunan tersebut dipaksakan oleh pemerintah desa tanpa melihat betul apakah warga membutuhkannya," pungkas Wahyudi menutup pembicaraanya dengan brilio.net.
Nah sekarang kamu tahu kan bagaimana jika kamu ingin desa mu jadi desa yang bersih korupsi.