Brilio.net - Anak muda Belanda kelahiran 1926 mungkin menjadi generasi paling tidak beruntung di zamannya. Betapa tidak, selain harus melawan hati nurani, terpaksa berperang melawan Indonesia, mereka kemudian menikmati masa-masa tak mengenakkan seusai perang.
Hal tersebut terungkap dalam buku karya sejarawan Belanda Hylke Speerstra berjudul Op Klompen Door de Dessa. Buku ini merupakan lanjutan dari buku pertama, Op Klompen Troch de Dessa. Buku ini dirilis pada April silam.
Melalui wawancara dengan sejumlah veteran saat penyusunan buku, Speerstra dalam tulisannya mengungkap, banyak veteran merasa terbebani dengan masa lalu mereka.
Salah satunya adalah Klaas Schoorstra, seorang veteran yang tinggal di peternakan di Friesland. Schoorstra merasa hidupnya berada dalam stigma bahwa veteran itu pembunuh.
Dia berkata begini: Saya selalu membuat hal-hal untuk diriku sendiri. Saya seolah-olah memasang dinding di sekitar diri saya. Tapi pada akhirnya, dinding itu akan runtuh. Kadang-kadang, jika kata Hindia disebutkan, saya merasa ada yang salah dalam diri saya.
Banyak dari para veteran yang saat ini rata-rata berusia 90-an tahun tidak pernah berani membuka mulut tentang apa saja yang dilakukan tentara Belanda di Indonesia ketika itu.
Veteran lainnya, berusia 87 tahun yang kini bekerja sebagai tukang cukur, Kees Houtman asal Harlingen juga berhasil ditemui Speerstra. Pada tahun 1947 hingga 1949 Houtman awalnya bertugas sebagai sopir kemudian dia menjadi tukang cukur di bidang pelayanan di Aceh. Dalam kisahnya, Houtman pun mengalami trauma masa lalu.
Ketika perang usai, tidak jarang dari para tentara yang akhirnya memilih paket untuk memilih Australia dan Selandia Baru sebagai rumah mereka. Alasannya karena lebih dekat ketimbang harus kembali ke Belanda. Namun, bagi mereka yang memilih kedua negara tersebut, tidak mendapat jaminan dari pemerintah, Tapi harus menggunakan biaya sendiri dari gaji mereka sebagai tentara rendahan.