Salah satu pendekatan yang paling umum dalam penelitian yang melibatkan anak adalah dengan memusatkan penelitian pada kekhawatiran dan pengalaman hidup anak-anak, atau disebut dengan penelitian yang berpusat pada anak. Metode yang berpusat pada anak tidak mengacu pada metode atau instrumen tertentu, tetapi merujuk pada pendekatan yang digunakan oleh peneliti.
Christensen & James pun menegaskan bahwa seperti halnya orang dewasa, anak-anak dapat dilibatkan dalam semua jenis metode, mulai dari kuesioner hingga metode berbasis aksi. Saat memutuskan metode apa yang akan diterapkan, peneliti perlu mempertimbangkan karakteristik anak yang ingin diajak bekerja sama, termasuk mempertimbangkan identitas mereka.
Yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa metode apa pun yang dipilih, anak-anak akan terlindungi dan dapat menikmati prosesnya dengan tetap menjunjung validitas dan ketelitian data. Tulisan berikut merangkum berbagai metode penelitian yang dapat digunakan bila melibatkan anak-anak. Metode-metode tersebut bertujuan menggali perspektif anak lewat berbagai stimulus. Anak dapat didorong dengan menggambar, mengambil foto atau merekam cerita dalam video, membuat skenario, dan memerankan berbagai peran atau adegan. Terkadang alat peraga bisa membantu menciptakan stimulus bagi anak-anak prasekolah.
Dalam pendekatan tradisional yang berpusat pada anak, metode-metode yang diuraikan berikut ini telah dilakukan melalui konsultasi tatap muka. Dalam pelaksanaannya bahkan berbagai metode dapat digabungkan dan jenis kegiatan dapat dirancang sesuai dengan kebutuhan penelitian dan situasi anak.
Berikut ragam metode penelitian yang umum digunakan ketika melakukan penelitian dengan melibatkan anak-anak.
1. Percakapan atau wawancara semi-terstruktur.
Metode ini memungkinkan adanya diskusi terbuka seputar tema atau topik secara umum yang dipandu oleh pertanyaan-pertanyaan terbuka. Kegiatan ini biasanya menggunakan rangsangan seperti gambar atau permainan. Dapat diterapkan dalam situasi berkelompok atau dengan anak secara individual. Peneliti dapat memulai ketika anak-anak merasa lebih nyaman dengan peneliti.
Beberapa contoh studi yang pernah dilakukan dengan menerapkan metode ini antara lain studi tentang kemiskinan anak di Ethiopia (Tekola, Griffin, dan Camfield 2009), anak jalanan di Ethiopia (Fikre2016), dan pekerja rumah tangga anak di Indonesia (Patunru dkk. 2013), penelitian tentang Narasi Identitas pada 12 Remaja Muslim Usia 14-17 tahun di Australia (Zulfikar 2017).
2. Menggambar.
Metode ini berguna sebagai ice breaker untuk membangun hubungan dengan anak. Sehingga peneliti mudah mengajak anak untuk berbagi atau mengingat topik/tema yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian. Contoh gambar yang dapat dibuat antara lain dalam bentuk peta, untuk memahami persepsi anak tentang tempat atau ruang. Atau dalam bentuk peta mobilitas, untuk memahami mobilitas anak sehari-hari (menunjukkan di mana mereka tinggal, bepergian, dan bagaimana mereka menempatkan diri dalam masyarakat). Di samping juga merupakan alat yang berguna untuk mengungkap masalah akses dan mendapatkan sudut pandang anak dan remaja tentang geografi mereka (Ennew dan Plateau 2004).
Serta gambar dalam bentuk peta konsep, di mana anak dapat diminta untuk mengembangkan peta pikiran atau gambar tertentu seperti pohon dengan cabang dan akar untuk membantu anak menjelaskan pandangan mereka tentang suatu masalah, kondisi terkait, dan penyebab masalah tersebut. Atau bisa juga gambar dalam bentuk peta tubuh, yakni menggunakan gambar tubuh untuk menarasikan sebuah cerita. Misalnya, anak dapat diminta untuk memindai gambar tubuh mereka dan menunjukkan area yang menimbulkan rasa senang dan rasa sakit (Ennew dan Hastadewi 2004).
Contoh studi yang pernah dilakukan dengan menerapkan metode ini antara lain Bima dkk., (2017) menggunakan metode menggambar untuk mendorong anak menjelaskan lebih lanjut tentang bagaimana mereka memandang kemiskinan, kesejahteraan, dan perjuangan hidup sehari-hari.
3. Fotografi.
Metode ini digunakan peneliti dengan cara meminta anak untuk memotret foto yang nantinya digunakan sebagai stimulus wawancara. Foto-foto yang diambil oleh anak dapat digunakan untuk menanyakan lebih lanjut tentang latar belakang anak dan membantu anak untuk mengembangkan jawaban mereka. Anak dapat memotret secara individu, berkelompok dengan anak lain, atau bekerja sama dengan peneliti.
Istilah lain dari metode ini adalah photovoice, di mana anak diminta memotret kemudian menuliskan makna dari foto-foto yang mereka ambil, atau menggunakan foto-foto tersebut untuk mengembangkan narasi dalam wawancara atau diskusi kelompok terarah. Penting untuk selalu meminta partisipan anak atau remaja untuk menafsirkan foto mereka agar kita dapat mendengarkan perspektif mereka (Vakaoti 2009; Chakraborty 2009).
Beberapa contoh studi yang pernah dilakukan dengan menerapkan metode ini antara lain dunia sosial dan masa kecil para anak-anak migran di Irlandia dieksplorasi melalui metode penelitian visual yang berpusat pada anak, terutama melalui karya seni dan fotografi, di sekolah-sekolah dasar di Irlandia (White dkk. 2010).
Adams dkk. (2012) juga menggunakan photovoice untuk mendukung anak-anak Aborigin berusia 6-12 tahun dalam mempelajari kebiasaan makan sehat orang tua mereka.
Ruiz-Casares dkk. (2013) meneliti perlindungan anak di Liberia dan menggunakan foto-foto yang menggambarkan kebutuhan dasar, hubungan keluarga dan teman sebaya, lingkungan sekolah, kegiatan olahraga dan rekreasi, praktik keagamaan, dan kondisi kerja yang dapat dengan mudah dikenali oleh anak (baik secara negatif maupun positif).
4. Penilaian peringkat partisipatif.
Metode ini umumnya digunakan peneliti dengan melibatkan anak secara berkelompok. Umumnya, anak diminta untuk mengurutkan gambar, masalah, atau jenis kegiatan berdasarkan tingkat kepentingannya. Peringkat adalah alat yang sangat baik untuk mengidentifikasi preferensi dan prioritas serta membangun perspektif bersama. Anak juga dapat dibantu menyusun linimasa (timeline) atau grafik menggunakan metode ini.
5. Buku harian atau narasi kehidupan.
Metode ini biasanya digunakan agar anak menceritakan kisah hidup mereka. Bisa dalam bentuk jadwal harian, yang digunakan untuk mengidentifikasi kegiatan anak beserta alokasi waktu mereka. Atau bentuk lain seperti buku cerita hidup, buku memori, buku harian, peta kehidupan, dan permainan cerita. Permainan cerita memungkinkan anak-anak membuat cerita; setiap anak diminta menyusun satubaris cerita, yang kemudian diteruskan ke anak berikutnya.
Sejumlah contoh studi yang pernah dilakukan dengan menerapkan metode ini antara lain buku cerita kehidupan digunakan dalam sebuah penelitian yang melibatkan anak asuh dan anak adopsi (Watson, Latter, dan Bellew 2015). Permainan cerita telah digunakan dalam penelitian dengan anak-anak yang mengalami peristiwa traumatis seperti konflik (Veale 2005).
6. Observasi (partisipan).
Metode ini melibatkan anak-anak yang ikut dalam percakapan selama observasi. Peneliti tidak hanya sebatas menonton, tetapi juga dapat berpartisipasi dalam kegiatan yang berlangsung selama observasi. Sejumlah contoh studi yang pernah dilakukan dengan menerapkan metode ini antara lain Purwaningrum dkk. menggunakan observasi untuk menilai metode perkembangan motorik anak di sekolah dasar (2017). Observasi partisipan dicampur dengan wawancara bersama dan pemetaan tokoh yang digunakan untuk memahami aktivitas fisik anak-anak (Gunson dkk. 2016). Spitzer menggunakan observasi partisipan dengan anak-anak dengan autisme dan mendiskusikan ide, wawasan, dan tantangan dalam proses pengumpulan dan analisis data (2003).
7. Penggunaan materi dan alat petunjuk stimulus.
Metode ini bisa menggunakan stimulus tertulis (menyelesaikan kalimat, pilihan kata, cerita pendek/studi kasus). Atau menggunakan stimulus verbal (kartu bergambar, kartu perasaan, gambaran wajahmenunjukkan perasaan seperti senang/sedih). Bisa juga dengan menggunakan benda-benda fisik (boneka, wayang, model atau benda-benda yang dapat disentuh anak). Umumnya, peneliti mengumpulkan gambar dari berbagai laman yang berkaitan dengan tema dan konteks penelitian untuk digunakan dalam diskusi kelompok dengan anak (Ruiz-Casares dkk. 2013).
Beberapa contoh studi yang pernah dilakukan dengan menerapkan metode ini antara lain kartu perasaan/gambaran wajah sering digunakan untuk menanyakan kepada anak-anak bagaimana perasaan mereka tentang suatu situasi, umumnya digunakan dalam wawancara atau kuesioner. Kartu bergambar digunakan dalam penelitian dengan anak yang diadopsi untuk memahami pengalaman adopsi mereka. Objek fisik paling efektif untuk anak-anak di bawah usia lima tahun untuk menyampaikan informasi yang kompleks atau sulit diungkapkan secara emosional, informasi yang melampaui tingkat kefasihan atau kecakapan verbal anak (Alison Clark 2011, 137). Faller (2005) dan Bruck, Ceci, dan Francouer (2000) menggunakan boneka anatomi dalam penelitian pada anak-anak berusia 3-4 tahun yang mungkin telah mengalami pelecehan seksual.
8. Permainan peran.
Pada metode permainan peran ini, peneliti dapat mengembangkan beberapa skenario sebagai panduan atau contoh bagi anak untuk mengembangkan skenario dari pengalamannya sendiri. Anak juga dapat mengembangkan skenario mereka sendiri. Skenario harus dikumpulkan dan dipresentasikan secara anonim.
Misalnya, anak dapat diminta menuliskan ide-ide mereka di selembar kertas, menyerahkannya, kemudian mendapatkan lagi kertas itu setelah diacak. Ketika ide-ide dibagikan secara anonim, anak mungkin mulai menyadari bahwa orang lain juga punya pengalaman yang sama.
Permainan peran menyediakan lingkungan yang aman bagi anak untuk memainkan peran tertentu dan secara spontan "mengalami" kisah dari awal hingga akhir. Memainkan peran yang berbeda-beda secara bergantian memungkinkan anak untuk menghayati dan karena itu memahami pengalaman masing-masing peran.
Debriefing atau diskusi setelah melakukan permainan peran adalah bagian penting dari metode ini. Sesi diskusi dapat digunakan untuk lebih mengeksplorasi perasaan anak, berbagi pengalaman, masalah, solusi, dan hambatan. Beberapa contoh studi yang pernah dilakukan dengan menerapkan metode ini antara lain permainan peran membantu peneliti dengan meningkatkan kecerdasan personal anak-anak usia lima tahun dalam konteks pendidikan anak usia dini (Wee, Shin, dan Kim 2013). Mavroudis & Bournelli (2016) menggunakan drama dan permainan peran sebagai eksperimen untuk menangkal fenomena perundungan di 190 sekolah dasar di wilayah selatan Finlandia.
9. Kuesioner (yang diisi sendiri).
Metode ini mengunakan kuesioner, khususnya yang diisi sendiri oleh anak-anak. Kuesioner yang diisi sendiri dapat dirancang khusus untuk anak-anak melalui berbagai teknik seperti menggunakan gambar atau kalimat-kalimat yang pendek dan sederhana. Kuesioner audio/rekaman adalah jenis kuesioner lain di mana anak-anak dapat mendengarkan kuesioner sesuai kecepatan mereka sendiri. Anak dapat diminta untuk menuliskan jawaban mereka dalam buklet terpisah. Atau kuesioner dapat dilakukan dengan menggunakan aplikasi CAPI (Computer Assisted Personal Interviewing, aplikasi wawancara dengan bantuan komputer) atau wawancara telepon. Kuesioner dapat dibuat fleksibel untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk memilih bagian-bagian yang sesuai dengan mereka.
Contoh studi yang pernah dilakukan dengan menerapkan metode ini antara lain kuesioner telah digunakan dalam survei rumah tangga dan survei berbasis sekolah, seperti penelitian tentang kehidupan anak muda (Roelen dan Camfield 2013).
10. Aplikasi komputer.
Metode ini berbentuk survei yang pelaksanaannya secara daring. Survei daring dapat dilakukan secara individual kepada anak-anak atau disebarkan sendiri menggunakan paket perangkat lunak untuk survei melalui laman atau layanan survei daring. Aplikasi komputer secara real-time juga dapat digunakan untuk memasilitasi pengumpulan data dengan menggunakan metode diskusi kelompok terarah (Andrews, Nonnecke, dan Preece 2003).
Audio-Computer Assisted Self-Interview (ACASI, wawancara dengan bantuan audio komputer dan tanpa didampingi pewawancara) adalah metode pengumpulan data yang juga dapat digunakan dalam mengelola penelitian dengan topik sensitif seperti kekerasan (Falb dkk. 2016).
Beberapa contoh studi yang pernah dilakukan dengan menerapkan metode ini antara lain U-Report oleh UNICEF yang melibatkan sekitar 4.000 anak dan remaja dalam survei daring melalui Twitter (UNICEF 2015). Livingstone dkk., (2011) meneliti hubungan antara usia anak dan risiko serta keamanan penggunaan internet. Survei dilakukan secara daring di 25 negara melalui EU Kids Online.