Pada Mei 2015, pemerintah Indonesia berencana membangun sejumlah pembangkit listrik baru dengan kapasitas sebesar 35.000 megawatt (MW) untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri. Proyek raksasa ini diharapkan selesai dalam waktu lima tahun.
Namun, rencana pembangunan tersebut mendapat banyak kritikan, terutama dari para pegiat lingkungan hidup. Pasalnya, sekitar 60% dari total kapasitas listrik tersebut berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya.
Pembangunan PLTU ini ditentang oleh banyak pihak. Sebab emisi yang dihasilkan dari pembakaran batu bara merupakan penyumbang terbesar gas-gas rumah kaca yang jika jumlahnya terlalu banyak, dapat menyebabkan pemanasan global.
Berikut tiga alasan mengapa pemerintah Indonesia harus membatalkan rencana pembangunan megaproyek listrik 35.000 MW tersebut.
Kebutuhan listrik di Jawa sudah memadai
Dilansir dari detikFinance, sampai dengan bulan April 2018, dari proyek sebesar 35.000 MW, sebanyak 31.977 MW di antaranya telah ditandatangi. 17.192 MW masih dalam tahap pembangunan, sedangkan yang telah beroperasi sebesar 1.604 MW.
Dari semua rencana pembangunan pembangkit listrik, sembilan PLTU akan dibangun di Pulau Jawa, dengan rincian sebagai berikut:
PLTU Jawa 9 dan 10 di Banten
PLTU Jawa 5 di Banten
PLTU Jawa 6 di Cikarang
PLTU Cirebon 2 di Cirebon
PLTU Tanjung Jati B di Jawa Tengah
PLTU Celukan Bawang 2 di Madura
PLTU Indramayu di Jawa Barat
PLTU Tanjung Jati A di Jawa Barat
PLTU Jawa 8 di Cilacap
Namun, seperti dilansir dari bbc.com, para aktvis lingkungan menilai Pulau Jawa sudah tidak membutuhkan tambahan pasokan listrik karena masih punya margin cadangan 41%. Sedangkan jika sembilan PLTU batubara itu jadi dibangun, maka margin cadangan menjadi 71%, yang dinilai sebagai pemborosan.
Berpotensi merugikan
Juru Kampanye Iklim dan Energi, Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika, mengungkapkan bahwaproyek pembangunan listrik sebesar 35.000 MW tersebut merupakan proyek besar bernilai triliunan rupiah yang akan terbuang percuma.
Hal tersebut didasarkan pada Surat Menteri Keuangan, Sri Mulyani, tentang kondisi keuangan PLN yang bocor ke publik pada September 2017 lalu.
"Kalau kita dari koalisi organisasi lingkungan pasti akan menegaskan dampak-dampak lingkungannya, dampak polusi, kesehatan, dampak lingkungan, tapi tambah lagi faktor yang lebih kuat lagi, yaitueconomic loss(kerugian ekonomi)," ujar Hindun saat diwawancarai oleh BBC Indonesia.
"Dan ini membuktikan bahwa batu bara tidak murah, seperti yang selama ini selalu dijadikan argumentasi utama oleh pemerintah. Dengan kondisiovercapacityyang selama ini terjadi, sudah bukan waktunya lagi kita membangun PLTU-PLTU baru karena dampaknya akan semakin besar lagi, kita akan semakin rugi lagi," imbuhnya.
Hal tersebut juga diamini oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution. Darmin mengatakan bahwa ada potensi kesia-siaan dalam program 35.000 MW tersebut.
"Memang listrik itu jangan sampai lebih. Kalau lebih, enggak dipakai tetapi tetap (PLN) harus bayar ke investor (pembangkit listrik)," kata Darmin, akhir tahun lalu, seperti dikutip Kompas.
Darmin menambahkan bahwa permintaan listrik sekarang tidak lagi setinggi saat program tersebut pertama kali dicanangkan. Kebutuhan sebesar 35.000 MW dibuat berdasarkan perhitungan pertumbuhan ekonomi di atas 7%. Namun, sampai akhir 2017, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia 'hanya' sekitar 5%.
Laporan dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), juga menyebutkan potensi kerugian PLN akibat pembayaran kapasitas dapat mencapai US$ 3,16 miliar untuk setiap gigawatt yang tidak terpakai pada sistem pembangkit listrik di Jawa-Bali.
Terjadinya pencemaran lingkungan dan meningkatkan risiko pemanasan global
Kritik mengenai proyek sembilan PLTU tersebut juga datang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia - WALHI. Menurut Dwi Sawung, manajer kampanye energi WALHI, limbah dari PLTU tersebut dapat mengkibatkan terjadinya pencemaran lingkungan.
Pembangunan sembilan PLTU itu diprediksi akan meningkatkan emisi karbon sebesar 70 juta ton. Hal tersebut disampaikan oleh Irfan Toni, aktivis Digital di 350.org yang bergerak dalam bidang advokasi perubahan iklim.
Toni menambahkan bahwa pembangunan tersebut bertentangan dengan Kesepakatan Paris yang ditandatangani Indonesia sebagai tekad untuk mengurangi emisi karbon. "Indonesia sebenarnya tidak membutuhkan sembilan PLTU baru di Jawa."
Ia juga mendesak pemerintah membatalkan pembangunan PLTU guna menjaga komitmen Indonesia terhadap Kesepakatan Paris. "Banyak pulau kecil yang akan tenggelam dan bencana alam jika pemanasan global dibiarkan.".
Nah melihat seperti ini, bagaimana nih opini kalian?