Beberapawaktu belakangan rangkaian kegiatan pernikahan pasangan artis masih menghiasi sejumlah pemberitaan media massa, bahkan juga viral di media sosial. Selain itu, berita tentang perceraian pasangan artis pun masih menghiasi sejumlah berita, di mana suami dikatakan lebih menyukai permainan elektronik ketimbang mengurus anak, hingga dianggap berzina. Ada juga artis yang dikenal sebagai "tukang kawin-cerai". Sejumlah orang awam mungkin berpikir "enak ya menikah!" atau malah mau ikut-ikutan cepat menikah seperti artis tersebut. Apakah iya keputusan untuk menikah bisa secepat seperti itu?
Menikah sendiri merupakan tujuan akhir dari menjalin hubungan berpacaran. Kesiapan menikah pun penting dilihat. Namun, sering kali dianggap siap menikah hanya urusan finansial. Individu yang sudah memiliki penghasilan yang lumayan, atau dapat mengadakan pesta pernikahan, sering kali menjadi indikator bahwa seseorang dianggap sudah siap menikah.
Selain itu, usia juga sering kali menjadi patokan bahwa seseorang dianggap telah siap menikah. Setelah lulus SLTA, atau bahkan apabila telah memiliki pekerjaan, keluarga ataupun orang di sekitar akan menanyakan kapan menikah. Padahal selain urusan finansial dan usia, ada hal yang yang lebih penting, yaitu kesiapan mental. Namun, sayangnya sering kali kesiapan mental ini tidak dianggap penting, bahkan tidak disadari keberadaannya.
Kesiapan mental sendiri merupakan kemampuan individu untuk mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, siap dalam mengantisipasi risiko yang ada, serta menyeimbangkan antara harapan dan kenyataan. Dengan demikian, dalam konteks pernikahan maka kesiapan mental terkait dengan sejauh mana kesiapan individu untuk mengantisipasi dan mempersiapkan diri guna menghadapi masalah-masalah yang timbul setelah menikah, apalagi ternyata kehidupan menikah tidak seperti yang dibayangkannya.
Ingat, menikah bukan hanya bersenang-senang saja dengan pasangan, tapi juga mengalami hal yang tidak menyenangkan. Bahkan bisa jadi hal yang dianggap sepele menjadi masalah dalam pernikahan, misalnya menaruh baju kotor di kasur yang menimbulkan pertengkaran dengan pasangan.
Bagaimana kita bisa mengidentifikasi bahwa diri kita siap secara mental untuk menikah?
Dalam artikel ini, penulis akan menyampaikan tiga hal yang dapat dilihat pada diri sendiri maupun pasangan guna mengetahui sejauh mana secara mental kamu sudah siap atau belum untuk menikah.
1. Siap menghadapi konflik.
Apakah kita sudah menghadapi konflik dengan pasangan? Lihat bagaimana komunikasi saat ini dengan pasangan: Sejauh mana kalian dapat menyampaikan pendapat dan perasaan secara terbuka. Apabila setiap individu dapat menyampaikan pendapat dan perasaan secara terbuka serta diterima dengan baik oleh pasangannya, artinya komunikasi pasangan sudah cukup baik.
Bagaimana kompromi dengan pasangan selama ini? Apakah ada yang mau menang sendiri? Kompromi diperlukan dalam setiap hubungan sosial apalagi kehidupan pernikahan. Kompromi tidak berarti selalu harus mengalah. Individu yang tidak menang sendiri serta memperhatikan keinginan pasangan dengan dapat menyampaikan keinginannya, berarti telah memiliki kemampuan kompromi dan siap menghadapi konflik.
Siap menghadapi konflik juga dapat dilihat sejauh mana selama ini dapat mengatur emosi. Emosi perlu diungkapkan secara wajar, tidak berlebihan. Marah, sedih, dan gembira merupakan emosi yang normal dialami setiap individu dan perlu diungkapkan. Ketika marah, perlu diungkapkan dengan baik, tanpa perlu berteriak, melempar barang, bahkan menyakiti diri sendiri maupun pasangan. Sedih pun perlu diungkapkan secara wajar, tanpa berlebihan. Begitu juga ketika sedang gembira.
2. Mau membicarakan isu yang sensitif dalam pernikahan.
Ada sejumlah isu sensitif yang perlu dibahas dengan pasangan sebelum menikah agar nantinya ketika berumah tangga tidak menimbulkan konflik. Sejumlah isu sensitif dalam pernikahan antara lain agama, penghasilan, pekerjaan, anak, keluarga. Agama menjadi isu yang sensitif dalam pernikahan, terlebih kalau pasangan memiliki agama yang berbeda.
Untuk isu penghasilan, sejumlah pertanyaan yang dapat dibahas bersama, antara lain: Bagaimana alokasi penghasilan dari masing-masing pasangan? Adakah dan seberapa besar penghasilan pasangan yang diberikan kepada orang tua? Bagaimana bila istri memiliki penghasilan lebih tinggi? Seberapa besar penghasilan yang tidak diserahkan kepada pasangan dan dipegang oleh masing-masing?
Isu pekerjaan juga perlu dibahas bersama, misalnya: Bagaimana bila ada lembur atau ditugaskan ke luar kota? Apakah istri boleh bekerja? Bagaimana bila istri memiliki jabatan yang lebih tinggi? Bagaimana bila ada panggilan tugas namun masih ada urusan keluarga?
Isu anak pun sering kali menjadi pangkal konflik antar pasangan. Oleh karena itu perlu dibahas: Berapa jumlah anak? Bagaimana pengasuhan anak? Bagaimana perencanaan pendidikan bagi anak? Bila pasangan berbeda agama, anak akan ikut agama siapa?
Terakhir, adalah mengenai keluarga atau orang tua. Tinggal bersama orang tua, ataukah memilih tinggal terpisah dari orang tua? Bila tinggal bersama orang tua, bagaimana pembagian penghasilan, pengasuhan anak? Bila tinggal terpisah, apakah ada jadwal untuk mengunjungi orang tua; misal hari raya pertama mengunjungi orang tua siapa dahulu? Beberapa individu yang menikah juga sering kali masih harus memberikan sekian persen penghasilannya untuk orang tua atau membiayai pendidikan saudaranya. Hal ini juga penting untuk dibahas bersama.
3. Mampu bekerja sama dan berbagi tugas.
Ketika memasuki kehidupan pernikahan, bukan berarti suami mendapatkan pengurus keluarga dan istri mendapatkan sumber penghasilan. Perlu ada kerja sama antara keduanya, terutama apabila pada bagian tidak enak dari urusan rumah tangga. Pernikahan tidak dapat berjalan dengan baik kalau hanya satu pihak saja yang mengusahakan.
Selama ini, apakah pasangan sudah membahas dan mampu bekerja sama? Dalam kehidupan pernikahan bekerja sama menjadi hal yang penting, seperti pengasuhan anak. Pengasuhan anak tidak hanya urusan istri, tapi juga urusan suami. Apakah hal ini sudah dibahas bersama? Bagaimana dengan tugas domestik, seperti membersihkan rumah; Apakah hanya urusan istri atau sepenuhnya diserahkan kepada asisten rumah tangga? Ada baiknya ada pembagian tugas domestik terutama bila tidak memiliki asisten rumah tangga, misalnya istri memasak, suami membersihkan peralatan memasak; istri menyapu lantai, suami mengepel. Dengan adanya bekerja sama dan pembagian tugas dalam kehidupan pernikahan, potensi konflik dalam pernikahan dapat dihindari.
Sebetulnya masih banyak hal lagi yang menjadi indikator kesiapan mental untuk menikah. Namun, tiga hal di atas, dapat menjadi indikasi awal apakah kita ataupun pasangan telah siap untuk menikah.
Jadi, kamu sudah siap belum?