Menstruasi merupakan proses biologis yang dialami 1,8 miliar wanita usia subur di seluruh dunia. Di mana setiap perempuan rata-rata menghabiskan 2.535 hari menstruasi seumur hidupnya. Seharusnya ini menjadikan akses ke produk terkait menstruasi selayaknya menjadi hak asasi manusia universal, bukan hak istimewa.Hal ini berarti terlepas dari bagaimana situasi keuangan, sosial, dan budayanya setiap perempuan harus mendapat akses yang cukup terhadap pembalut, tampon ataupun mentrual cup serta fasilitas sanitasi yang baik.Namun nyatanya hingga detik ini terdapat perempuan yang sedang menstruasi di beberapa belahan dunia masih terstigmatisasi dan tidak mampu memperoleh produk terkait menstruasi yang terjangkau dan higienis.
Yuk simak 6 fakta tentang period poverty berikut ini.
Apa itu period poverty?
Period poverty didefinisikan sebagai sebuah masalah global yang memengaruhi perempuan yang tidak memiliki akses memadai terhadap produk terkait menstruasi yang aman dan higienis serta tidak adanya pengetahuan yang memadai mengenai menstruasi.
Stigma terhadap menstruasi.
Menstruasi masih terus dianggap topik yang tabu dalam masyarakat luas. Dalam jurnal The Menstrual Taboo in Ancient Egyptkarya Paul John Frandsen mengungkapkan bahwa sejak zaman Mesir Kuno perempuan yang sedang menstruasi telah mengalami stigmatisasi yang mengharuskan mereka tidak bekerja dan keluar dari rumah hingga periode menstruasi berakhir. Hingga era modern perempuan tumbuh dewasa dengan ajaran bahwa menstruasi merupakan sebuah proses biologis yang memalukan dan harus disembuyikan. Perempuan harus menyembunyikan pembalut di lengan baju saat akan menuju kamar mandi. Perempuan juga perlu terus-menerus memeriksa pakaian untuk memeriksa adakah noda bocor.
Di beberapa tempat di belahan dunia wanita yang sedang menstruasi masih ada yang dikucilkan karena dianggap kotor sehingga tidak dapat mengikuti beberapa kegiatan sehari-hari, ritual keagamaan, dan ritual budaya. Salah satu tradisi pengasingan perempuan yang sedang menstruasi dilakukan di Nepal dan dikenal sebagai Chhaupadi, yaitu sebuah tradisi yang mengharuskan wanita yang sedang menstruasi keluar dari rumah untuk hidup di gubuk terpencil dan dilarang bersentuhan, beraktivitas, serta berkomunikasi dengan orang lain sampai siklus menstruasi berakhir.
Produk menstruasi belum terjangkau.
Permasalahan selanjutnya adalah setiap perempuan yang menstruasi perlu mengeluarkan biaya yang tidak murah setiap bulannya untuk produk terkait menstruasi mereka. Menurut survei representaif terhadap wanita usia 12-21 tahun oleh Plan International UK, 1 dari 10 perempuan di Inggris tidak mampu membeli produk terkait menstruasi. Hal ini menyebabkan 40% perempuan di Inggris menggunakan toilet roll sebagai ganti pembalut ataupun tampon. Sedangkan di Amerika Serikat, terdapat 35 negara bagian yang mengenakan Pink Tax ataupun Tampon Tax yaitu pajak yang diberlakukan pada produk terkait menstruasi karena dianggap sebagai produk yang tidak penting dan sebagai perbandingan produk perawatan pria dan obat disfungsi ereksi tidak dikenakan pajak.Sebuah analisa BBC juga membandingkan biaya produk terkait menstruasi di 21 negara di wilayah Asia dan hasilnya menunjukkan setiap perempuan di Indonesia perlu mengeluarkan 1,7% penghasilan bulanan mereka atau sekitar Rp 16,9 juta untuk membeli produk terkait menstruasi. Wah, cukup mahal ya!
Sebagian perempuan yang lain bahkan tidak dapat mengakses produk menstruasi.
Sementara wanita di negara maju dan berkembang harus melawan stigma dan mahalnya produk terkait menstruasi, di negara-negara miskin kondisinya bahkan lebih buruk. Di beberapa bagian dunia ketika produk terkait menstruasi yang tepat tidak tersedia atau terjangkau perempuan harus menggunakan produk alternatif untuk mengendalikan menstruasi mereka dengan menggunakan kaus kaki, tisu toilet, koran, bahkan beberapa benda yang tidak layak seperti kain kotor, pasir, ataupun kulit pohon.
Di Kenya, sebesar 65% anak perempuan dan wanita tidak mampu membeli produk terkait menstruasi, beberapa dari mereka bahkan menjadi pekerja seks agar mendapatkan akses pada pembalut dan tampon. Sedangkan di India sekitar 12% dari 355 juta wanita menstruasi tidak mampu membeli produk terkait menstruasi.Gabby Edlin dalam bukunya Its Only Bloodjuga mengambarkan bagaimana terdapat jutaan pekerja tekstil yang sedang menstruasi di Bangladesh terpaksa menggunakan segenggam potongan kecil kain sisa tekstil yang telah jatuh dilantai dan terinjak-injak dengan sepatu mereka yang hanya dicuci dengan air kotor tanpa sabun sebagai ganti pembalut ataupun tampon. Sedih, ya.
Period poverty, pendidikan dan kesehatan.
Period poverty memiliki spektrum dampak yang luas terutama pada pendidikan dan kesehatan anak perempuan. UNICEF memperkirakan di Afrika terdapat 1 dari 10 anak perempuan bolos sekolah karena tidak memiliki akses terhadap produk terkait menstruasi atau karena tidak ada fasilitas toilet yang aman untuk digunakan di sekolah.
Masih menurut UNICEF, sepertiga anak perempuan di Asia Selatan juga bolos sekolah selama periode menstruasi mereka. Jika seorang anak perempuan bolos sekolah setiap kali menstruasi, mereka akan tertinggal 145 hari dibanding anak laki-laki. Bahkan di Sub-Sahara Afrika, beberapa anak perempuan kehilangan 20% dari masa sekolahnya, beberapa mungkin juga putus sekolah. Dan seperti yang kita ketahui putus sekolah diasosiasikan dengan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kesejahteraan masa depan perempuan seperti pernikahan pada usia anak, kehamilan pada usia anak, komplikasi kehamilan hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Selain pendidikan, period poverty juga berdampak serius pada kesehatan perempuan. Menurut UNICEF, kebersihan menstruasi yang buruk juga dapat meningkatkan risiko gangguan reproduksi, infeksi saluran kemih, dan penyakit urogenital bahkan pada level yang serius dapat berdampak pada Toxic Shock Syndrome yang memiliki komplikasi terburuk hingga kematian. Di Bangladesh, India dan beberapa negara lain, infeksi dan angka kejadian kanker serviks juga dihubungan dengan kebersihan yang buruk selama periode menstruasi.
Apa yang dapat kita lakukan?
Lalu apa yang dapat kita lakukan terhadap isu ini? Dua hal penting yang dapat kita lakukan di antaranya adalah melalui pendidikan dan advokasi. Salah satu penyebab penting period poverty adalah stigma terhadap menstruasi. Masyarakat masih melihat menstruasi sebagi sebuah peristiwa yang kotor dan memalukan. Sehingga jika ingin mengatasi permasalahan period poverty sudah saatnya kita membuang stigma tersebut dan mulai berbicara tentang menstruasi. Karena tanpa ada yang berbicara, masyarakat mungkin menganggap tidak terdapat masalah.
Diperlukan pendidikan kesehatan seputar menstruasi hingga bagaimana pencegahan infeksi akibat menstruasi pada usia dini yang tidak hanya diberikan pada anak perempuan namun juga anak laki-laki untuk mematahkan stigma tersebut sehingga menstruasi tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Perempuan juga perlu diberikan sebuah pandangan baru bahwa menstruasi merupakan sebuah proses biologis yang normal terjadi sehingga tidak perlu menjalaninya dengan beban rasa malu.
Sedangkan langkah advokasi dilakukan dengan mendorong pemerintah dan para pemangku kebijakan untuk memberikan kesetaraan akses terhadap produk terkait menstruasi, fasilitas toilet yang layak, obat pereda nyeri menstruasi, serta pendidikan tentang kebersihan dan menstruasi. Di mana mungkin kita dapat mencontoh Skotlandia yang pada tahun 2018 telah menjadi negara pertama di dunia yang memberikan produk terkait menstruasi gartis bagi siswa sekolah, perguruan tinggi, dan universitas serta perempuan dari keluarga berpenghasilan rendah.
Semoga setiap perempuan dapat memperoleh haknya mendapatkan produk dan fasilitas yang layak dan higienis selama mentruasi. Yuk, stop stigma terhadap menstruasi!