Setiap perempuan memiliki peran dan kontribusi di tengah pandemi yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Sebagai contoh, beberapa pemimpin perempuan di berbagai negara yang dinilai berhasil mengendalikan pandemi Covid-19, di antaranya adalah Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, Presiden Taiwan Tsai Ing Wen, hingga Perdana Menteri Islandia Katrin Jakobsdottri. Ataupun jutaan perempuan lain di luar sana yang meskipun dalam lingkup yang kecil, juga berkontribusi dalam bidang keahlian masing-masing.
Namun jika kita dapat berkaca dari beberapa pandemi yang pernah terjadi sebelumnya, perempuan menjadi kelompok yang lebih banyak memperoleh tekanan dan kesulitan selama pandemi. Bagaimana kondisi perempuan di tengah pandemi Covid-19? Yuk simak beberapa faktanya berikut ini.
Anak perempuan dan pendidikan.
Dalam bidang pendidikan, UNESCO memperkirakan 89% atau 1,54 milliar anak usia sekolah terpaksa harus berhenti sekolah. Di mana dari jumlah tersebut 743 juta di antaranya merupakan anak perempuan. Dan lebih dari 111 juta anak perempuan tersebut merupakan perempuan yang hidup dalam lingkungan miskin serta lingkungan dengan masyarakat yang masih menstigmatisasi pendidikan berdasarkan gender, yang artinya memperoleh pendidikan saja sudah merupakan sebuah perjuangan bagi mereka.
Malala Fund, setelah melihat lebih lanjut konsekuensi epidemi Ebola 2014-2015 dan krisis keuangan global 2008, memproyeksikan sekitar 10 juta lebih anak perempuan usia sekolah menengah berkemungkinan putus sekolah setelah pandemi Covid-19 berlalu.
Dalam jurnal berjudul Gendered effects of school closures during the Covid-19 pandemic, anak perempuan berisiko lebih tinggi mengalami putus sekolah selama pandemi karena mereka menghabiskan 40% lebih banyak waktu melakukan pekerjaan rumah tangga daripada anak laki-laki yang tentu saja mengakibatkan mereka hanya memiliki lebih sedikit waktu untuk belajar. Masih menurut jurnal yang sama, kasus putus sekolah pada anak perempuan berbanding lurus dengan risiko eksploitasi seksual, pernikahan dan kehamilan di usia anak.
Perempuan, pandemi, dan ekonomi.
Kondisi lockdown yang diberlakukan hampir semua negara pada pandemi Covid-19 sudah tentu akan memengaruhi berbagai sektor, salah satunya sektor ekonomi.
Perempuan memilikikecenderungan lebih tinggi untuk mengalami pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan The Bureau of Labor Statistics, 55% dari 20,5 juta pekerja perempuan mengalami pemutusan hubungan kerja, dibandingkan pravalensi laki-laki yang hanya 13%.
Perempuan lebih berisiko mengalami pemutusan hubungan kerja karena sektor ekonomi di mana mayoritas pekerjanya adalah perempuan seperti perhotelan, travel, pendidikan, serta garmen menjadi sektor yang paling terdampak pandemi Covid-19. Padahal diperkirakan 59% perempuan di Amerika Tengah, 49% perempuan di ASEAN dan 45% perempuan di Amerika Selatan bekerja pada sektor ekonomi tersebut.
Di Indonesia sendiri, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, hingga Juni 2020 sudah terdapat 5,23 juta pemutusan hubungan kerja (PHK), yang menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 30 persen di antaranya adalah perempuan.
Ditambahkan, menurut Institute for Development of Economics and Finance, pandemi Covid-19 juga membuat calon tenaga kerja perempuan lebih sulit mencari pekerjaan dibandingkan laki-laki. Hal ini lantaran sebagian besar tenaga kerja perempuan bekerja pada sektor-sektor yang mengharuskan bertemu dengan banyak orang atau orang-orang baru.
Kekerasan terhadap perempuan di tengah pandemi.
Pemutusan hubungan kerja yang terjadi baik pada perempuan maupun laki-laki tentu saja memberikan tekanan terutama pada kondisi ekonomi rumah tangga. Stressor ini salah satunya dihubungkan dengan meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga pada perempuan secara global. Selain faktor ekonomi yang tidak stabil, kondisi pembatasan sosial serta kebijakan WFH menempatkan pelaku dan korban kekerasan dalam satu rumah selama 24 jam dalam 7 hari yang akan lebih meningkatkan kejadian kekerasan dalam rumah tangga.
Pada April 2020, Antnio Guterres, secretary-general PBB, mengatakan terdapat lonjakan kasus kekerasan dalam rumah tangga sejak diberlakukannya lockdown sebagai respon pandemi Covid-19. Di Indonesia, berdasarkan survei Komnas Perempuan pada periode April-Mei 2020, dari 2.285 responden perempuan dan laki-laki, 80 persen responden perempuan menyatakan telah terjadi peningkatan kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan selama pandemi Covid-19.
Kesulitan akses kontrasepsi saat pandemi.
Jika belajar dari pandemi sebelumnya, setelah wabah Ebola di Sierra Leone pada 2014, beberapa studi menunjukkan kehamilan remaja meningkat hingga 23% dibandingkan tahun sebelumnya. Permasalahan peningkatan kehamilan tidak direncanakan ini juga mungkin akan kita hadapi selama pandemi Covid-19 ini. Namun sayangnya hingga Juni 2020, WHO melalui Covid-19 Strategic Preparedness and Response Plan belum memberikan rekomendasi terkait beberapa layanan kesehatan reproduksi yang terganggu akibat pandemi terutama terkait akses terhadap kontrasepsi.
Situasi pandemi mengganggu dan membatasi berbagai layanan kesehatan reproduksi salah satunya akses terhadap kontrasepsi. Hal ini karena fasilitas layanan kesehatan lebih memfokuskan terhadap penanganan pasien Covid-19, sehingga perempuan yang ingin memperoleh layanan kesehatan reproduksi cenderung menunda kunjungannya jika tidak dalam keadaan darurat.
Padahal akses layanan kontrasepsi menjadi sangat vital di tengah pandemi. Menurut data U.N. Population Fund (UNFPA) diperkirakan 2 juta perempuan tidak dapat memperoleh akses kontrasepsi yang akan menyebabkan lebih dari 7 juta kehamilan tidak direncanakan di negara miskin dan berkembang. Kehamilan tidak diinginkan bukan tanpa akibat. Menurut BKKBN, kehamilan tidak direncanakan memiliki dampak luas seperti meningkatkan kasus aborsi, meningkatkan risiko kematian ibu dan anak, anemia pada ibu hamil, malnutrisi pada ibu hamil dan janin, bayi lahir prematur, Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan kurangnya kasih sayangserta pengasuhan karena anak tidak diinginkan.
Kesehatan mental terganggu.
Permasalahan pendidikan, ekonomi dan kesehatan reproduksi di atas tentu menjadi tekanan psikologis bagi perempuan. Bagi perempuan yang harus berjuang untuk memperoleh akses pendidikan dengan impian agar dapat keluar dari lingkaran kemiskinan dan kebodohan, pandemi menempatkan mereka pada kondisi di mana kesempatan memperoleh pendidikan mungkin sudah tidak tersedia lagi.
Kondisi lain yang menjadi beban bagi perempuan selama pandemi adalah meningkatnya beban kerja rumah tangga. Perempuan, selain melakukan pekerjaan rumah tangga sehari-hari, selama pandemi Covid-19 juga dituntut untuk bertanggung jawab membimbing anak belajar di rumah hingga mengurus anggota keluarga yang sakit.
Menurut hasil penelitian dari University of Essex, Inggris, perempuan lebih berisiko mengalami masalahkesehatan mental terutama kesepian dibandingkan laki-laki selama pandemi. Menurut penelitian tersebut perempuan yang melaporkan mengalami kesepian selama pandemi meningkat dari 11 persen menjadi 27 persen.
Di Indonesia sendiri, dalam survei Komnas Perempuan pada periode April-Mei 2020, sebanyak 96 persen dari 2.285 responden baik laki-laki maupun perempuan menyatakan adanya peningkatan beban kerja rumah tangga. Ditambahkan, responden perempuan dengan pekerjaan rumah tangga berdurasi lebih dari 3 jam berjumlah dua kalilipat dibanding responden laki-laki. Peningkatan beban kerja rumah tangga ini mengakibatkan 1 dari 3 responden perempuan melaporkan dirinya mengalami stres.
Pandemi telah mengubah banyak aspek dalam kehidupan umat manusia. Mari saling bekerja sama menyelesaikan pandemi ini sesuai dengan bidang keahlian kita masing-masing. Dan jangan lupa untuk tetap saling mendukung satu sama lain. Karena kita bisa saat kita lakukan secara bersama.