Saat ini isu kesetaraan gender semakin meruak. Tidak hanya terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, namun juga dalam kehidupan perkuliahan. Saat ini banyak juga perempuan yang menjabat sebagai ketua dalam organisasi mahasiswa. Namun dengan terpilihnya perempuan menjadi pemimpin, bagaimana persepsi laki-laki? Ketika kepemimpinan identik dengan laki-laki, dapatkan seorang perempuan mengambil peran ini?
Kenalan dulu yuk sama organisasi mahasiswa
Organisasi mahasiswa merupakan wadah bagi mahasiswa untuk mengembangkan kapasitas kemahasiswaannya yang berupa aspirasi, inisiasi atau gagasan-gagasan positif dan kreatif melalui berbagai kegiatan yang relevan dengan tujuan pendidikan nasional serta visi dan misi perguruan tinggi itu sendiri yang bekerja secara organisatoris (Bagian Kemahasiswaan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2018).
organisasi mahasiswa sering disebut dengan lembaga kemahasiswaan, dimana sampai saat ini telah terdapat beberapa lembaga kemahasiswaan yang terbentuk. Lembaga kemahasiswaan tersebut meliputi Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa (HIMA) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Setiap lembaga kemahasiswaan memiliki struktur organisasi yang menggambarkan peran anggotanya dalam mencapai tujuan lembaga atau organisasi. Peran tertinggi dari setiap organisasi ialah ketua atau pemimpin. Fazrien, Sumartono dan Domai (2014) menyatakan bahwa pemimpin memiliki beberapa peran yang penting dalam organisasi. Dengan adanya peran pemimpin tersebut, organisasi dapat lebih mudah mencapai tujuannya.
Peran pemimpin
Fazrien, Sumartono dan Domai (2014) menyebutkan bahwa terdapat empat peran pemimpin, yakni :
1. Peran sebagai pengawas,
Peran pengawas bagi pemimpin bertujuan untuk mengukur sejauh mana mekanisme dan prosedur kerja yang telah ditetapkan dapat berjalan dengan baik dan memberikan hasil yang memuskan. Dalam organisasi mahasiswa, ketua berperan dalam mengawasi setiap kegiatan atau aktivitas organisasi dengan mengukur apakah kegiatan tersebut dapat memberikan hasil yang baik dan memuaskan bagi organisasi dan kampus.
2. Peran pengarah
Peran pemimpin selanjutnya ialah sebagai pengarah. Peran tersebut bertujuan untuk memberikan petunjuk, instruksi atau perintah yang harus dikerjakan oleh anggota agar mereka memahami terkait tugas yang harus dikerjakan.
3. Peran komunikator
Peran komunikator bagi pemimpin menjelaskan bahwa pemimpin merupakan sosok yang perlu pandai berkomunikasi dengan anggotanya ataupun orang lain di luar organisasi. Komunikasi yang baik dapat mempermudah pemimpin untuk mencapai tujuan organisasi.
4. Peran motivator.
Peran pemimpin sebagai motivator bertujuan untuk memberikan dorongan yang positif bagi anggotanya untuk dapat menyelesaikan program kerja selama menjabat dengan baik.
Empat peran penting pemimpin yang telah dijelaskan sebelumnya belum tentu dimiliki sekaligus oleh seorang pemimpin. Oleh sebab itu, istilah pemimpin yang efektif dan berkualitas pun muncul. Pemimpin yang berkualitas, kompeten dan efektif ini kemudian diangggap oleh sebagian besar orang sebagai pemimpin yang mampu menjalankan perannya dengan baik. Untuk mengetahui apakah seseorang dapat disebut sebagai pemimpin yang baik, individu akan melalui proses persepsi.
Apa itu persepsi?
Walgito (dalam Ina, 2012) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses pengorganisasian dan penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti. Hasil proses persepsi dapat berupa penilaian, seperti seseorang mempersepsikan sesuatu dengan hal yang baik atau persepsi positif dan hal yang buruk atau persepsi negatif. Persepsi positif atau negatif ini kemudian dapat mempengaruhi manusia dalam bertindak (Ina, 2012). Dalam hal memilih pemimpin, persepsi baik atau buruk terhadap pemimpin tentu dapat mempengaruhi tindakan atau keputusan seseorang untuk memilih calon pemimpin.
Bagaimana memilih pemimpin?
Djasmoredjo (2004) menyatakan bahwa untuk memilih seorang pemimpin, masyarakat biasanya akan menghubungkan antara kemampuan individu memimpin dengan aspek biologis dari pemimpin tersebut, yakni jenis kelamin. Individu berjenis kelamin laki-laki biasanya lebih dinilai memiliki kemampuan dalam memimpin dibanding perempuan. Hal ini berkaitan dengan aspek budaya dan agama terkait perempuan (Mukhlisah, 2014).
Persepsi mengenai pemimpin perempuan
Secara kebudayaan, perempuan adalah sosok yang dianggap lebih banyak kelemahan dibanding kelebihan dan secara dogmatisme keagamaan, perempuan dianggap berada dibawah kendali atau kuasa laki-laki (Mukhlisah, 2014). Selain itu, karakter maskulin seperti ketegasan sering kali melekat pada karakter pemimpin, dibanding karakter emosional atau lemah lembut yang lebih banyak dimiliki oleh perempuan. Dengan kondisi seperti itu, persepsi akan pemimpin akan lebih baik apabila pemimpin tersebut adalah laki-laki. Akan tetapi, data kini mulai menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan yang memiliki peran posisi penting dalam suatu organisasi (Djasmoredjo, 2004). Kemunculan gerakan feminisme yang mendukung kesetaraan gender bagi perempuan pun semakin membuat perempuan dipandang layak menjadi pemimpin dalam organisasi.
Begini persepsi laki-laki terhadap kepemimpinan perempuan :
a. Pendidikan merupakan aspek yang terpenting ketika memilih perempuan sebagai pemimpin dalam organisasi.
b. Pengalaman merupakan faktor utama dalam memilih perempuan untuk memiliki posisi sebagai pemimpin dalam organisasi
c. Perempuan mampu memberikan kualitas yang baik saat menjadi pemimpin
d. Perempuan layak menjadi pemimpin meskipun sifatnya kurang maskulin
e. Pengalaman suksesnya berkaitan dengan pengalamannya dalam bekerja dengan pemimpin perempuan
f. Gender bukan menjadi faktor dalam memilih pemimpin
g. Laki-laki bersedia memilih pemimpin perempuan yang memiliki kualifikasi.
Namun, ada juga nih persepsi negatif terhadap kepemimpinan perempuan:
a. Masyarakat menganggap perempuan cenderung kurang karismatik dibanding pemimpin laki-laki.
b. Masyarakat menganggap perempuan cenderung kurang efektif dalam memimpin karena sifat perempuan yang emosional.
Oleh karena itu, selalu ada pro dan kontra ketika terpilihnya perempuan menjadi pemimpin. Pro dan kontra itu terjadi karena persepsi-persepsi yang berkembang di masyarakat.