1. Home
  2. ยป
  3. Creator
2 Februari 2020 14:33

Benarkah 'fast fashion' murah dan cepat? Ini faktanya

"Fast fashion is not free. Someone somewhere is paying?" -Lucy Siegle Rian Kusuma Dewi

Berapa banyak baju ataupun aksesori yang kamu beli dalam satu tahun ini? Seberapa sering kamu menggunakannya? Serta sudah efisienkah kamu menggunakan item fashion yang kamu miliki?

Pertanyaan tersebut mungkin tampak tak sering ditanyakan, namun sadarkah kamu bahwa ketidakmampuanmu menggunakan setiap item fashion yang dimiliki secara bijak ternyata mempunyai beberapa konsekuensi yang luas baik bagi lingkungan maupun manusia.


Yuk, simak lima fakta fast fashion yang perlu kamu ketahui.

Apa itu fast fashion?

Mulai dikenal pada awal tahun 2000-an, fast fashion didefinisikan sebagai sebuah pendekatan dalam pembuatan desain, kreasi, hingga pemasaran mode pakaian terkini yang cepat dengan biaya yang rendah. Sebagai contoh produsen retail fast fashionyang kita kenal adalah H&M, Zara, dan Uniqlo di mana brand ini mengambil inspirasi desain dan tampilan gaya dari rumah mode papan atas dan mereproduksinya secara cepat dan dengan harga yang lebih terjangkau.

Bila dulu produk fashion menjadi produk yang bersifat eksklusif bagi sebagian kalangan saja dan membutuhkan waktu produksi yang lebih lama, kini kehadiran fast fashion mungkin menjadi angin segar bagi para penggila fashion karena konsumen dapat memperoleh mode pakaian terkini tanpa harus merogoh kantong secara dalam. Namun begitukah faktanya?

Fast fashionsebanding dengan kerusakan lingkungandan fashion waste.

Nyatanya trend fast fashion bagai pisau bermata dua. Beberapa lembaga survei menunjukkan fast fashion menyebabkan dampak yang berbahaya bagi lingkungan. Menurut laporan Sustain Your Style, industri pakaian menjadi produsen limbah terbesar kedua setelah industri minyak dan gas alam. Di mana 10 persen emisi karbon global dan sekitar 20 persen air limbah global dihasilkan oleh industri pakaian saja, belum termasuk aksesori seperti perhiasan, tas atau sepatu.

Industri fast fashion pada tahun 2015 menggunakan 80 milliar meter kubik air tawar atau setara ukuran 32.000 kolam renang olimpiade, di mana diperkirakan untuk membuat 1 kaos katun saja diperlukan 2.700 liter air atau setara dengan air minum yang diperlukan seseorang selama 2,5 tahun.

Ditambah, industri fast fashion juga melepaskan setara 1,2 miliar ton CO2 per tahunnya. Poliester sebagai salah satu jenis kain yang sering digunakan dalam industri fashion juga memiliki dampak buruk bagi lingkungan karena merupakan jenis kain yang berasal dari bahan bakar fosil yang berkontribusi pada pemanasan global. Selain itu serat mikro dari poliester akan mencemari air yang berarti juga untuk mudah dikonsumsi oleh ikan dan aneka satwa air lainnya.

Selain menyebabkan limbah produksi yang berbahaya bagi lingkungan, fast fashion juga berbanding lurus dengan sampah fashion. Masih menurut Sustain Your Style, dibandingkan 20 tahun yang lalu, individu saat ini membeli pakaian lima kali lebih sering namun hanya memakainya setengah kali. Dimana pada tahun 2015, industri memproduksi sekitar 92 milliar ton sampah dan diprediksi akan meningkat drastis menjadi 148 juta ton pada tahun 2030.

Fast fashionbukan hanya tentang lingkungan.

Selain membahayakan lingkungan, fast fashion juga erat dihubungkan dengan kondisi kerja yang berbahaya. Untuk memotong biaya produksi, retailer fast fashion biasanya melakukan kerja sama dengan berbagai pabrik garmen di negara dengan gaji buruh yang murah seperti Bangladesh, Cina, hingga Indonesia. Selain hanya memperoleh upah kerja yang rendah, jam kerja yang panjang dan kondisi kerja yang tidak aman juga menghantui para perkerja, belum lagi beberapa kondisi yang memperlihatkan masih adanya pekerja di bawah umur.

Saat ini diprediksi sekitar 40 juta orang bekerja di industri fashion, di mana sekitar 85% adalah wanita. Kondisi kerja yang tidak aman kemudian dihubungan dengan adanya peningkatan kekerasan baik mental, fisik maupun seksual di masyarakat. Salah satu peristiwa yang menjadi perhatian dalam keamanan pekerja di industri fashion adalah peristiwa keruntuhan Rana Plaza pada tahun 2013 di Bangladesh. Di mana gedung yang terdiri dari beberapa pabrik pakaian dan sejumlah toko ini runtuh dan menyebabkan sekitar 1.100 pekerja meninggal dunia dan menjadi salah satu tragedi industri terburuk di dunia. Hal ini menunjukkan dampak fast fashion yang begitu luas tidak hanya bagi lingkungan namun juga bagi kesejahteraan umat manusia.

Fast fashion di Indonesia.

Seiring terciptanya dunia tanpa batas, Indonesia kini juga menjadi pasar bagi retailer industri fast fashion. Kini retailer brand fast fashion telah hadir di berbagai kota besar di Indonesia. Menurut Badan Ekonomi Kreatif, industri fashion di Indonesia menjadi penyumbang kedua untuk ekonomi kreatif yaitu sebesar 18.01%. Hal ini sebanding dengan konsumsi fashion masyarakat Indonesia.

Menurut survei Yougov pada tahun 2017 menunjukkan bahwa sekitar 41% generasi millenial di Indonesia membeli setidaknya setengah dari pakaian yang mereka miliki dalam 12 bulan terakhir. Sayangnya meningkatnya tingkat konsumsi fashion juga dibarengi dengan meningkatnya tren di kalangan millenial untuk membuang pakaian lebih cepat daripada generasi yang lebih tua. Masih menurut Yougov, tiga dari sepuluh individu dewasa di Indonesia atau sebesar 29% membuang satu item pakaian mereka yang baru dikenakan sekali saja. Di mana seperlima generasi millenial atau sebesar 21% mengaku membuang pakaian mereka karena telah merasa bosan mengenakannya. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat bagaimana sumber daya alam dan manusia yang telah diperas untuk menghasilkan produk tersebut, namun produk harus dibuang saat belum seluruh fungsinya dapat dimanfaatkan.

Sustainable fashion: Solusi fast fashion?

Dampak lingkungan dan kemanusian dari fast fashion telah menjadi perhatian banyak kalangan. Sehingga beberapa konsumen kini sudah mulai memiliki kesadaran untuk lebih memilih membeli ethical and sustainable brand dalam rangka mengurangi dampak masif fast fashion. Sayangnya solusi tersebut masih menjadi sebuah pilihan yang mahal bagi beberapa konsumen. Solusi menjual kembali, membeli produk fashion bekas ataupun menyewa fashion item yang hanya digunakan sesekali menjadi sebuah solusi yang lebih terjangkau dan paling sering dilakukan. Sedangkan jika tetap akan membeli pakaian baru disarankan bagi konsumen alangkah baiknya untuk membeli pakaian berdasarkan pertimbangan kualitas, fungsi, keserbagunaan, serta kesesuain dengan lifestyle kita dibanding mengikuti tren ataupun tertipu diskon.

Menurut Greenpeace dengan menggandakan usia pakaian kita dari satu tahun menjadi dua tahun akan mengurangi emisi selama satu tahun sebesar 24%. Sebuah langkah kecil yang ternyata memiliki dampak besar bagi lingkungan. Sedangkan menurut laporan Yougov tentang pelaksanaan suistainable fashion di Indonesia, sekitar 60% responden mengatakan biasanya memberikan pakaian yang sudah tidak diinginkan kepada teman/ keluarga ataupun badan amal umum. Sedangkan 12% generasi millenial memiliki cara lain yaitu dengan menjual pakaian yang sudah tidak diinginkan dan sekitar 18% generasi millenial lebih memilih untu mendaur ulang item fashion yang sudah tidak mereka ingginkan menjadi fashion item yang baru. Banyak cara yang dilakukan untuk melawan laju fast fashion, apa pun langkah yang dilakukan mari kita mulai dengan langkah kecil, saat ini dan dari kita sendiri.

Setelah mengetahui lima fakta fast fashion tadi, bagaimana pendapatmu? Masihkah akan rutin membeli baju baru ataukah akan mulai diet fashion? Yuk bersama menerapkan sustainable fashion untuk menciptakan bumi tempat hidup yang baik bagi manusia, hewan maupun tumbuhan.

(brl/red)

Source:

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
MOST POPULAR
Today Tags