Perceraian adalah hal yang paling dihindari oleh pasangan. Tapi kenyataannya, telah banyak kasus perceraian yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia bahkan dunia dan bisa dibilang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Yang bikin suasana semakin tak mudah, ketika pasangan suami istri sudah punya anak dari hasil pernikahan mereka.
Tentunya, bercerai tak hanya berdampak pada pasangan suami istri tersebut, mau tak mau anak pun kena getahnya. Anak yang masih tak mengerti apa-apa, harus ikut merasakan kesedihan akibat kedua orang tuanya berpisah. Di sini, kita akan bahas dampak perceraian orang tua ke anak dan cara mengatasi kesedihan yang mereka rasakan karena kejadian itu.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Statistik Indonesia 2018 (sebuah publikasi kompilasi data statistik tahunan di Indonesia) yang dilansir dari smartlegal.id, menunjukkan sebanyak 374.516 kasus perceraian terjadi di Indonesia pada tahun 2017. Tahun 2016 terjadi sebanyak 365.654 kasus, dan tahun 2015 sebanyak 353.843 kasus perceraian. Dalam presentase laju kenaikannya dari tahun 2015 ke 2016 adalah sebesar 3.33% dan dari tahun 2016 ke 2017 sebesar 2.42%. Wilayah yang paling banyak terjadi kasus perceraian di Indonesia selama tahun 20152017 adalah Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa tengah.
Perpisahan tidak hanya menyakitkan bagi pasangan suami istri tapi juga berdampak pada anak-anak mereka (foto: pixabay/pixel2013)
Dilansir dari HaiBunda.com, psikologis klinis Christina Tedja MPsi menjelaskan bahwa banyak sebab ketika pasangan harus memilih bercerai, terutama di masa sekarang yang lamanya usia pernikahan tidak menjadi jaminan langgengnya sebuah ikatan pernikahan. Menurutnya, tidaklah mudah untuk mempertahankan sebuah hubungan yang bermasalah, perlu ekstra usaha.
Terutama untuk hal-hal buruk dalam rumah tangga yang tak bisa ditolerir lagi. Masalah itu seperti adanya perselingkuhan antara salah satu pihak atau keduanya, kebiasaan mengonsumsi alkohol bahkan narkoba, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), gangguan kepribadian pada suami atau sang istri, dan sebagainya.
Jika kondisi tetap seperti itu tentu akan sulit mempertahankan pernikahan, bahkan bisa saja kondisi menjadi semakin buruk. Akhirnya, sampailah di keputusan terbaik dan jalan satu-satunya bagi pasangan tersebut adalah perceraian.
Sayangnya, perceraian berdampak langsung terhadap buah hati dari pasangan yang harus berpisah. Sang anak otomatis harus menerima risiko kehilangan apa yang selama ini normalnya dia terima sebagai haknya. Dampak perceraian orang tua ke anak antara lain sebagi berikut.
1.Mengganggu mental.
Anak dengan orang tua yang bercerai berisiko mengalami gangguan emosional dan mental seperti kecemasan bahkan mengarah ke depresi. Parahnya, hal itu bisa saja berjangka panjang. Karena masih tak mengerti atas apa yang terjadi, anak bisa menyalahkan diri sendiri atas perceraian kedua orang tuanya.
Bisa juga, dia merasa kebingungan dan tertekan saat menerka siapa yang salah di antara ayah atau ibunya. Anak dengan orang tua yang bercerai bisa mengalami hal-hal seperti kesulitan beraktivitas normal di sekolah, nilai di sekolah anjlok karena tidak bisa fokus belajar, mengalami gangguan tidur, mengonsumsi alkohol dan narkoba, susah makan, menyakiti dirinya sendiri, menarik diri dari pergaulan atau tak mau bersosialisasi dan memilih menyendiri, kesepian, dan bisa menjadi pribadi yang kasar.
Anak bisa stres dan tertekan karena mendengar kedua orangtuanya bertengkar tanpa henti (foto: pixabay/Counselling)
2. Berdampak saat dewasa.
Ketika sang anak sudah dewasa dan mulai bisa menjalin hubungan dengan lawan jenis, perceraian orang tua di masa lalu bisa berdampak. Perasaan seperti takut kehilangan, ditinggalkan dan gagal mempertahankan hubungan seperti orang tuanya di masa lalu akan menghantui pikirannya. Akibatnya, dia takut untuk berkomitmen dengan pasangan atau tak mampu mengatasi masalah dalam hubungan.
Penelitian selama 20 tahun dari National Opinion Research Council yang dilansir dari HaiBunda.com, menemukan bahwa anak yang telah dewasa dari orang tua yang dulunya bercerai, juga cenderung akan melakukan hal yang sama setelah menikah.
Perceraian orangtua di masa lalu bisa menyebabkan trauma pada anak setelah dia dewasa (foto: pixabay/ArmOrozco)
Tapi, bukan berarti harus pesimis ya bagi kalian yang orang tuanya bercerai. Karena bagaimanapun, banyak faktor yang memengaruhi adanya perceraian, bukan? Tergantung dari masing-masing orangnya juga. Selama niatnya kuat untuk memperbaiki hubungan dan saling introspeksi diri, tentu akan meminimalisir risiko terjadinya mimpi buruk bagi semua pasangan yang bernama perceraian itu.
3. Pelajaran berharga.
Tidak selalu buruk, perceraian kedua orang tua bisa saja membuat sang anak lebih menghargai arti kebersamaan dalam sebuah pernikahan terutama setelah dia dewasa nanti.Saat dia telah menemukan pasangan hidup yang tepat, dia pun akan berusaha untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangganya supaya tidak mengalami kejadian pahit seperti yang dialami oleh kedua orang tuanya dulu. Dia akan bersikap lebih dewasa dan berhati-hati dalam setiap keputusan dan tindakan untuk mempertahankan pernikahan, perceraian kedua orangtua di masa lalu cukup menjadi pelajaran berharga dalam hidupnya.
Psikolog dari RaQQi Human Development and Learning Centre, Ratih Zulhaqqi yang dilansir dari HaiBunda.com, mengatakan bahwa orang tua yang bercerai harus membuat sang anak tetap merasa aman dengan kondisinya, dan mendorongnya tetap bangga memiliki mereka walau hidup terpisah.
Iamenjelaskan, anak broken home beda dengan anak yang orang tuanya bercerai. Anak broken home adalah mereka yang merasakan rumah tempatnya tinggal seperti neraka karena tidak ada cinta di dalamnya. Entah itu pertengkaran antara kedua orang tua, ayah dengan anak atau ibu dengan anak. Kalau perceraian, hubungan suami istri yang putus tapi hubungan kedua orang tua dengan anak tetap baik. Jadi, tidak selalu perceraian kedua orang tua menghasilkan anak broken home.
Iajuga mengatakan bahwa sebenarnya bukan perceraiannya yang lebih berdampak pada anak, tapi pertengkaran yang terus-menerus, berteriak atau saling memaki di depan anaklah yang lebih mengena.
Untuk mengurangi dampak buruk tersebut, ada 5 cara membantu mengatasi kesedihan anak saat orang tua memilih bercerai.
1. Bicarakan.
Anak akan kebingungan dan memendam kesedihan sekaligus kecewa ketika orang tua mereka bercerai. Untuk mengurangi rasa perih di hatinya, bicarakan dan beri penjelasan dengan bahasa yang tepat. Sampaikan bahwa dia akan tetap mendapatkan perhatian dan kasih sayang walau ibu dan ayah harus berpisah.
Dengarkan saat anak bicara dan beri jawaban bijak jika ia bertanya, bukan justru mengeluarkan kalimat yang semakin membuatnya bersedih. Tidak pula mengeluh ke anak, tempat pelampiasan dan bahkan saling menyalahkan satu sama lain yang bikin dia bisa membenci salah satu di antara orang tuanya. Atau, bisa membuat dia membenci kedua orang tuanya atas sikap dan tindakan mereka.
Menurut psikolog klinis Christina Tedja MPsi yang dilansir dari HaiBunda.com, beda usia anak tentu beda cara menyampaikan hal perceraian. Anak yang di bawah usia 5 tahun masih belum terlalu mengerti sebabakibat, jelaskanlah perceraian dengan mengatakan bahwa ayah dan ibu tinggalnya akan terpisah, tapi mereka tetaplah kedua orang tua yang selalu menyayangi dia. Jelaskan juga bahwa mereka akan selalu ada untuk sang buah hati.
2. Tidak bertengkar.
Ketika anak tahu bahwa orang tua mereka akan bercerai, tentu perasaannya menjadi hancur. Jangan malah menambah kepedihan dengan bertengkar di depan anak. Hal itu akan semakin membuatnya stres dan bisa saja berpikir untuk melakukan hal-hal buruk yang tidak pernah diduga sebelumnya.
3. Minta maaf.
Bagaimanapun, perceraian kedua orang tua membuat anak merasa terluka dan mungkin ikut merasa bersalah atas apa yang bukan menjadi salahnya. Sebagai orang tua, meminta maaflah kepada anak atas semua yang terjadi. Yakinkan juga bahwa kehidupan sang anak tidak akan banyak berubah, tetap mendapatkan perhatian dan kasih sayang walau orang tuanya tak lagi tinggal satu atap.
4. Luangkan waktu.
Ayah dan ibu yang bercerai sebisa mungkin luangkan waktu bersama sang anak. Karena tinggal terpisah, ayah dan ibu bisa bergantian memiliki jadwal bersama anak di rumah atau sekadar mengajak bermain dan jalan-jalan.
Misal, ibu di rumah bersama anak selama Senin sampai Kamis, sedangkan ayahnya punya giliran Jumat sampai Minggu. Atau saat hari Minggu, kedua orang tuanya meluangkan waktu mengajak anak jalan-jalan bersama (ayah, ibu, anak).
5. Tidak ganggu aktivitas.
Jangan mengganggu aktivitas anak dengan perceraian orang tuanya. Contohnya bersekolah. Biarkan anak dengan tenang menjalankan rutinitas di sekolahnya. Tidak sering berpindah-pindah rumah yang bikin anak harus ikut berganti-ganti lokasi sekolah. Tentu hal itu cukup mengganggu pikiran sang anak.