Mungkin masih banyak yang merasa ragu jika Nusantara merupakan peradaban yang besar di masa lalu. Hal tersebut memang perlu ditelusuri terlebih dahulu lewat peninggalan-peninggalan bersejarah yang ada. Dalam bidang kesenian, para leluhur kita meninggalkan sebuah alat musik yang bernama gamelan.Bangsa Arab pada masa jayanya menemukan Rebana sebagai sebuah alat musik yang berbahan kulit. Bangsa Eropa menemukan gitar yang terbuat dari kayu. Sedangkan leluhur kita, mampu menciptakan gamelan yang terbuat dari logam sejak ratusan tahun yang lalu. Bagaimana mungkin hal tersebut terjadi jika nenek moyang kita bukan orang yang cerdas serta mempunyai peradaban yang maju?
Nenek moyang kita memang meninggalkan warisan kekayaan yang melimpah dalam segi budaya dan seni. Di era Walisongo sendiri, kesenian digunakan sebagai alat dakwah. Mereka menciptakan lagu-lagu yang menyenangkan sekaligus sebagai sarana belajar. Salah satu karya monumental yang masih lestari hingga kini adalah lagu anak-anak berjudul Gundul-Gundul Pacul. Siapa sangka, di dalam lagu yang terkesan sederhana terselip segudang makna. Dalam tiga baris lagu tersebut kita bisa belajar tentang filosofi kepemimpinan sekaligus menerima ajaran dari para Walisongo. Berikut adalah makna tersirat dari lagu Gundul-Gundul Pacul.
1. "Gundul-gundul pacul-cul gembelengan."
"Gundul" adalah kepala yang rambutnya dicukur habis. Rambut sendiri merupakan lambang dari mahkota, diletakkan di kepala yang merupakan simbol kehormatan. Maka, gundul merupakan sebuah kehormatan tanpa mahkota.
Filosofi kejawen mengartikan "pacul" sebagai "papat kang ucul", atau empat yang lepas. Empat hal tersebut adalah mata, telinga, hidung, dan mulut yang semuanya harus didedikasikan kepada rakyat. Jika ucul atau lepas maka lepas pula kehormatan seorang pemimpin.
"Gembelengan" merupakan sikap sombong, berlagak, serta berlaku seenaknya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa kekuasaannya merupakan amanah dari rakyat sehingga berlaku seenaknya atas amanahnya, memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Sikap semacam itu bisa diartikan sebagai gembelengan.
2. "Nyunggi-nyunggi wakul gembelengan."
"Nyunggi" dalam bahasa Jawa berarti cara membawa sesuatu dengan meletakkannya di atas kepala. "Wakul" merupakan wadah nasi. Nasi adalah simbol dari kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang terkumpul dalam wakul sebagai legitimasi seorang pemimpin yang diberikan oleh rakyat. Wakul tersebut diletakkan di atas kepala yang menyimbolkan kehormatan. Artinya, amanah tersebut merupakan hal yang sangat sakral, mulia, dan lebih terhormat dari kepentingan diri sendiri. "Nyunggi wakul" merupakan pekerjaan yang sangat mulia.
3. "Wakul ngglimpang segane dadi saklatar."
Apabila dalam pekerjaan nyunggi wakul itu bertingkah gembelengan, amanah itu disepelekan, politik dijadikan permainan, isi bakul dimakan sendiri maka akibatnya adalah "wakul ngglimpang", atau tempat nasi itu jatuh dari kepala dan nasinya tumpah berceceran sia-sia. Pemimpin gagal memberi kesejahteraan serta kemakmuran bagi rakyatnya. Kehormantannya sebagai pemimpin pun hilang. Dan pemimpin yang seperti itu bukanlah pemimpin yang baik.
Demikian pemaknaan lagu Gundul-Gundul Pacul yang diulas secara singkat. Masih luas makna yang belum terungkap dan perlu untuk dipelajari lebih dalam sehingga melahirkan pemahaman yang lebih komprehensif.
Masih banyak pula peninggalan budaya yang harus digali kemudian diolah menjadi pengetahuan yang mengajarkan kebijaksanaan, seperti yang leluhur kita inginkan. Itulah mengapa Ir. Soekarno selalu mewanti-wanti untuk "Jas Merah", jangan sekali-kali melupakan sejarah.