Berapa jam kerja ekstra yang kamu lakukan bulan ini? Seberapa sering kamu mengecek email saat sedang makan? Atau pernahkah kamu mendengar ungkapan "Don't stop when you're tired. Stop when you're done"?
Dalam kebudayaan modern di mana bekerja dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, hustle culture tumbuh subur, setiap individu berlomba untuk tampil maksimal dengan mendedikasikan hampir seluruh waktu setiap harinya untuk pekerjaan demi janji kesuksesan yang akan diraih. Namun, benarkah hustle culture selalu sebanding dengan tingkat kesuksesan seorang individu?
Hustle culture.
Hustle culture merupakan sebuah gaya hidup di mana individu percaya bahwa aspek terpenting dalam hidup adalah mencapai kesuksesan dalam bidang pekerjaan, sehingga individu perlu bekerja keras tanpa henti dan hanya meluangkan sedikit waktu bagi aspek kehidupan lain. Hustle culture berkembang pertama kali bersamaan dengan fenomena gila kerja atau workaholismyang muncul pada tahun 1971.
Dalam hustle culture, pekerjaan dilakukan di mana saja dan kapan saja, di tempat tidur sesaat setelah bangun tidur, di kantor, hingga di kedai kopi saat berkumpul dengan teman-teman. Setiap hari merupakan daftar panjang tugas yang dilakukan untuk kemajuan karier.
Stigma kerja keras dan kesuksesan.
Kerja keras telah lama diyakini menjadi jalan pasti menuju kesuksesan. Generasi milenial bahkan cenderung merasa bangga jika selalu sibuk. Itulah mengapa perspektif hustle culture mengakar kuat di masyarakat. Beberapa tokoh populer dan sukses juga mengamini perspektif yang sama, misalnya CEO Tesla dan SpaceX Elon Musk. Dalam artikel di Business Insider, Musk pernah menyatakan bahwa tidak ada yang pernah mengubah dunia apabila hanya bekerja 40 jam seminggu.
Perspektif tersebut tidak sepenuhnya salah. Jika dilihat dari satu sisi, bekerja keras mungkin menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan kesuksesan seorang individu. Bekerja keras, tanpa henti, bahkan setelah mengalami kegagalan, pada akhirnya mungkin akan membuat kita mencapai tujuan yang diinginkan. Namun bekerja keras tanpa memedulikan aspek kehidupan lain seperti kehidupan sosial serta kesehatan baik fisik maupun mental tentu tidak dibenarkan. Karena pada akhirnya kita adalah tetap manusia, yang berarti kita memerlukan makan, tidur, interaksi sosial, hingga menemukan kepuasan dan makna dalam hidup kita.
Kesehatan fisik terganggu.
Bekerja keras tiada henti sudah dipastikan akan berdampak bagi kesehatan fisik seorang individu. Perubahan pada aspek kebutuhan tidur, nutrisi, dan kebiasaan hidup menjadi bahasan utama.
Dorongan untuk bekerja tanpa henti di mana pun dan kapan pun tentu akan memengaruhi durasi dan kualitas tidur individu. Menurut rekomendasi Kemenkes RI, individu dewasa disarankan tidur 7-9 jam setiap malamnya untuk memperoleh manfaat kesehatan yang optimal. Kurang tidur terus menerus dalam kurun waktu yang lama secara klinis terbukti berkaitan dengan peningkatan risiko diabetes, penurunan sistem kekebalan tubuh, dan peningkatan tekanan darah.
Dalam aspek nutrisi, pilihan junk food dan fast food tentu akan terlihat lebih efisien dalam perspektif hustle culture daripada repot-repot memasak sendiri, meskipun dengan memasak sendiri kita mengetahui dengan pasti apa yang terkadung dan bagaimana pengolahannya. Konsumsi junk food dan fast food dalam jangka panjang seperti yang kita tahu tentu akan memberikan konsekuensi buruk bagi kesehatan seperi peningkatan risiko mengalami penyakit degeneratif hingga malnutrisi dan kekurangan energi kronis.
Selanjutnya kurang akitivitas akibat duduk berjam-jam juga memberikan konsekuensi bagi kesehatan pekerja. Berdasarkan sebuah studi penelitian tahun 2017 yang diterbitkan dalam American Journal of Industrial Medicine mengungkapkan bahwa bekerja 61 hingga 70 jam seminggu meningkatkan risiko penyakit jantung koroner sebesar 42%, angka ini meningkat hingga 63% pada pekerja yang bekerja 71 hingga 80 jam. Meta-analisis lain dilakukan pada lebih dari 600.000 orang, yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet, menemukan efek serupa. Pekerja yang bekerja dengan jam kerja yang panjang (40-55 jam per minggu) memiliki risiko stroke yang lebih tinggi dibandingkan dengan jam kerja standar yang bekerja (35-40 jam per minggu).
Kesehatan mental juga terganggu.
Bukan hanya kesehatan fisik yang dipertaruhkan dalam hustle culture, namun juga kesehatan mental. Kurang tidur secara kronis yang telah dijelaskan sebelumnya tidak hanya berpengaruh pada kesehatan fisik namun juga akan meningkatkan kadar kortisolhormon stres, yang dapat menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan mental. Faktor lain seperti mengesampingkan kehidupan pribadi dan kehiduapn sosial juga melatar belakangi permasalahan kesehatan mental.
Di Jepang bahkan terdapat kosakata karoshi yang diterjemahkan sebagai kematian akibat berbagai kondisi seperti serangan jantung, stroke, hingga bunuh diri karena kerja berlebihan.
Penelitian terbaru pada tahun 2020 yang berjudul The Negative Impact of Long Working Hours on Mental Health in Young Korean Workers menyimpulkan semakin lama jam kerja akan meningkatkan pravalensi stres, depresi, dan keinginan untuk bunuh diri pada pekerja berusia 20-35 tahun. Hasil yang hampir sama juga dalam penelitian berjudul Effect of Long Working Hours on Depression and Mental Well-Being among Employees in Shanghai, dalam penelitian tersebut, pekerja yang bekerja lebih dari 60 jam seminggu memiliki kemungkinan 1.4 kali mengalami depresi dan 1.6 kali memiliki status kesehatan mental yang buruk daripada pekerja yang bekerja maksimal 40 jam seminggu. Dampak hustle culture bagi kesehatan mental tak kalah serius dari kesehatan fisik, ya.
Hustle culture tak sebanding dengan produktivitas.
Dalam laporan terakhirnya, ILO memperkirakan satu dari lima pekerja di seluruh dunia atau sekitar 600 juta orang masih bekerja lebih dari 48 jam seminggu. Di Indonesia sendiri, berdasarkan UU No 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur durasi bekerja dalam seminggu adalah 40 jam, dan apabila lebih dari itu dihitung lembur atau mendapatkan insentif. Namun berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasionaltahun 2019, 60% pekerja di Jakarta bekerja lebih dari 40 jam per minggu.
Meskipun telah bekerja dalam waktu yang lama, faktor-faktor seperti stres, kelelahan, kurang tidur dan multitasking menyebabkan penurunan kualitas pekerjaan yang dilakukan sehingga menjadikan individu tidak produktif. Cukup banyak penelitian menunjukkan bekerja terus menerus dalam waktu yang cukup lama tidak berbanding lurus dengan tingkat produktivitas. Professor John Pencavel, seorang professor dari Stanford University, dalam penelitiannya berjudul The Productivity of Working Hours menemukan bahwa produktivitas per jam menurun tajam ketika seseorang individu bekerja lebih dari 50 jam seminggu. Individu yang bekerja hingga 70 jam seminggu bahkan hanya dapat menyelesaikan jumlah pekerjaan yang sama dengan individu yang bekerja hingga 55 jam.
Sebaliknya, sebuah perusahan yang berbasis di Selandia Baru, Perpetual Guardian, pernah melakukan percobaan penerapan empat hari kerja dalam seminggu, dan hasilnya pekerja tidak hanya dapat mempertahankan tingkat produktivitas yang sama, tetapi juga menunjukkan peningkatan dalam kepuasan kerja, kerja tim, keseimbangan kerja / hidup, dan loyalitas terhadap perusahaan. Stres pekerja juga berkurang dengan penurunan sebesar 45% menjadi 38%. Hasil dari studi ini relatif tidak mengejutkan mengingat bahwa beberapa negara paling produktif di dunia, seperti Norwegia, Denmark, Jerman, dan Belanda, memiliki rata-rata jam kerja 27 jam seminggu. Di sisi lain, Jepang, negara yang terkenal jam kerja yang panjang menempati peringkat ke-20 dari 35 negara untuk produktivitas kerja. Wah!
Tidak ada yang salah dengan bekerja keras. Tentu mengusahakan pekerjaan sebaik mungkin akan memberikan peluang keberhasilan yang lebih tinggi. Namun jangan sampai melupakan bahwa kita manusia yang memiliki aspek kehidupan pribadi dan kehidupan sosial selain kehidupan pekerjaan. Dan semuanya harus berjalan secara seimbang untuk kehidupan yang lebih bahagia.
Sometimes its okay to fail, its okay to be lost. Dont be harsh for your self. Love yourself.