Sebagian besar masyarakat kita mengganggap pacaran sebagai sesuatu yang biasa sebelum memasuki jenjang pernikahan. Namun, apa jadinya jika pacaran dilakukan oleh anak SD? Perubahan zaman memang telah membawa perubahan pada perilaku anak-anak zaman sekarang. Kalau dulu masih malu-malu dengan lawan jenis, namun sekarang anak di bawah umur saja sudah berpacaran.
Kini banyak anak SD sudah mengaku-ngaku punya pacar. Mereka juga tidak malu-malu menunjukkan kedekatan di ruang publik. Dimulai dari sekadar pacaran di tempat-tempat umum, seperti di tempat bermain, di jalan, maupun di taman sambil berpegangan tangan. Selain itu, ada juga anak SD yang menyatakan cinta pada lawan jenis dengan memberikan kejutan bunga dan membuat susunan bunga berbentuk cinta hingga ada pula yang sudah berani main peluk-pelukan ditempat umum (Utomo, 2019).
Tidak hanya itu, kelakuan anak SD juga semakin miris dan kelewat batas. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kejadian anak SD ciuman di muka umum sampai guling-guling. Anak tersebut tanpa malu-malu berciuman hingga guling-guling di lantai meskipun banyak temannya yang menyaksikan perilakunya (Agrina, 2018). Hal tersebut tidak akan ditemukan pada zaman dahulu, karena dulu anak-anak bermain dan berpikir sesuai dengan usianya. Anak-anak zaman dulu juga tidak ada pikiran mengenai cinta-cintaan, namun yang mereka tau adalah kasih sayang (Utomo, 2019). Karena itu, pacaran merupakan suatu hal yang asing bagi anak-anak zaman dulu. Dengan kata lain, anak-anak SD zaman sekarang memperoleh respons yang belum pernah dilakukan.
Apa penyebab anak SD bisa mengenal pacaran?
Pacaran merupakan hal baru yang tidak dilakukan anak-anak SD zaman dahulu. Mempelajari respons baru dapat dilakukan dengan mengamati perilaku orang lain. Hal ini dinamakan dengan observational learning yang dikemukakan oleh Bandura. Ide dasar Bandura adalah bahwa pembelajaran dapat terjadi melalui observasi yang menunjukkan bahwa pentingnya proses belajar adalah dengan mengamati perilaku orang lain. Inti dari pembelajaran melalui proses observasi adalah pemodelan atau modeling. Melalui pemodelan, dengan mengamati perilaku model dan mengulangi perilaku itu sendiri, dipungkinkan untuk memperoleh respons yang belum pernah dilakukan (Schultz, 2009).
Berawal dari nonton sinetron favorit.
Seorang anak dapat mengamati perilaku yang sering ia lihat, baik itu di lingkungan sekitarnya maupun melalui televisi. Melalui televisi, saat ini banyak anak-anak yang lebih memilih menonton acara sinetron daripada menonton kartun. Hal ini ditemukan dari pernyataan anak SD, dimana mereka lebih senang menonton sinetron yang biasa di tonton oleh orang tuanya. Bahkan mereka hafal jam tayang hingga tokoh sampai cerita sinetron tersebut (Ashari, 2016).
Anak SD yang masih berusia 6-13 tahun terlalu dini untuk menonton acara sinetron. Semestinya di usia-usia tersebut dimanfaatkan untuk membentuk karakter anak dengan memperlihatkan tontonan yang edukatif. Namun, semua itu hampir tidak relevan dengan acara sinetron yang ada di televisi (Ashari, 2016). Banyak sinetron ditelevisi yang mengangkat sisi kehidupan percintaan remaja masa kini. Selain itu, dalam sinetron juga sering mempertontonkan adegan-adegan syur dengan membawa pesan-pesan gaya pacaran yang sangat berani dan secara terang-terangan melanggar norma sosial kemasyarakatan dan juga norma agama (Amalia, Afdila & Andriani, 2018). Hal tersebut bisa memicu pendewasaan dini pada anak yang menontonnya sehingga menjadikan anak dewasa sebelum waktunya.
Hati-hati, ternyata mereka mencontoh apa yang mereka lihat!
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amalia dan rekan-rekannya bahwa perilaku berpacaran yang dilakukan anak pada usia sekolah dasar cenderung ditunjukkan melalui kebiasaan mereka dalam meniru atau mencontoh orang lain yang lebih dewasa atau mencontoh aktor-aktor yang mereka sukai melalui televisi atau film (Amalia, Afdila & Andriani, 2018). Dengan meniru aktor-aktor tersebut, maka karakteristik model juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi perilaku modeling (Schultz, 2009).
Karakteristik model mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk meniru mereka. Dalam kehidupan nyata, seseorang mungkin lebih dipengaruhi oleh orang lain yang tampaknya mirip dengannya daripada oleh seseorang yang berbeda darinya secara signifikan. Melalui penelitiannya di laboratorium, Bandura menemukan bahwa meskipun anak-anak meniru perilaku model anak di ruangan yang sama, anak di film, dan karakter kartun yang difilmkan. Namun, anak-anak menunjukkan peniruan yang lebih besar dari model hidup daripada karakter animasi. Bahkan perilaku model secara signifikan lebih besar dalam mempengaruhi perilaku anak daripada kelompok anak-anak yang tidak mengamati model (Schultz, 2009).
Karakteristik lain dari model yang mempengaruhi peniruan adalah usia, jenis kelamin, dan status. Anak-anak cenderung meniru perilaku model orang dewasa dengan jenis kelamin yang sama yang dianggap berstatus tinggi (Schultz, 2009). Ketika anak menonton sinetron, anak akan memiliki kemungkinan untuk meniru perilaku yang ditampilkan oleh aktor atau aktris tersebut karena mereka dianggap memiliki status yang tinggi.
Lalu apa yang harus kita lakukan?
Oleh karena itu, dalam menyikapi fenomena anak-anak SD yang sudah mengenal pacaran sebaiknya orang tua lebih memperhatikan perkembangan si kecil. Upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisir dampak tersebut dengan memilih tontonan pada tayangan TV yang cocok dan sesuai dengan usia anak. Orang tua dapat mengarahkan ke tontonan anak-anak, seperti kartun atau acara petualangan anak-anak dan acara edukasi lainnya. Selain itu, orang tua juga tidak perlu mengajak anak-anak ketika menonton tayangan yang seharusnya tidak di tonton oleh anak-anak tersebut, seperti sinetron maupun film-film yang terdapat unsur konten dewasa. Dan terakhir, orang tua juga harus selalu mengawasi ketika si kecil menonton televisi maupun menonton film-film kesukaannya serta memberikan pengertian kepada anak saat melihat adegan yang tidak boleh anak tiru.