Pada dasarnya, anxiety (kecemasan) merupakan suatu perasaan yang sifatnya umum, di mana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya. Kecemasan juga merupakan hal wajar yang pernah dialami oleh setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dan juga ada pada setiap orang. Namun yang akan kita bahas adalah kecemasan pada siswa.
Kecemasan adalah perasaan ketakutan (baik realistis maupun tidak realistis) yang disertai dengan keadaan peningkatan reaksi kejiwaan. Kecemasan merupakan bagian dari tiap pribadi manusia terutama jika individu dihadapkan pada situasi yang tidak jelas dan tidak menentu, sehingga kecemasan juga dapat meningkatkan kesiapan diri seseorang dalam menghadapi suatu tantangan (Zulkarnain, 2009).
Kecemasan dapat dialami oleh siswa manapun, baik yang mempunyai kemampuan akademis tinggi, sedang, maupun yang kemampuan akademisnya rendah. Hanya saja penyebab dan tingkatannya yang berbeda-beda antara siswa satu dengan yang lain. Kecemasan siswa dalam belajar ada yang tingkatannya, yaitu tinggi, sedang, dan ada yang rendah. Elliot dkk (1996. h.342) menyebutkan bahwa pada dasarnya kecemasan dalam tingkat yang rendah dan sedang berpengaruh positif terhadap penampilan belajar siswa, salah satunya dapat meningkatkan motivasi belajar. Sedangkan kecemasan siswa pada tingkat yang tinggi dapat mengganggu dan memperburuk perilaku belajar siswa. Kenyataan menunjukkan bahwa kecemasan siswa terhadap matematika tidak hanya dialami oleh siswa yang mempunyai kemampuan yang rendah dalam matematika. Berbagai faktor eksternal dari lingkungan sekitar siswa juga memberikan pengaruh terhadap kecemasan matematika siswa (Martin dalam Indiyani & Listiara, 2006).
Trujillo & Hadfield (Peker, 2009) menyatakan bahwa penyebab kecemasan matematika dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori sebagai berikut.
1. Faktor kepribadian (psikologis atau emosional).
Misalnya perasaan takut siswa akan kemampuan yang dimilikinya (self-efficacy belief), kepercayaan diri yang rendah yang menyebabkan rendahnya nilai harapan siswa (expectancy value), motivasi diri siswa yang rendah dan sejarah emosional seperti pengalaman tidak menyenangkan dimasa lalu yang berhubungan dengan matematika yang menimbulkan trauma.
2. Faktor lingkungan atau sosial.
Misalnya kondisi saat proses belajar mengajar matematika di kelas yang tegang diakibatkan oleh cara mengajar, model, dan metode mengajar guru matematika. Rasa takut dan cemas terhadap matematika dan kurangnya pemahaman yang dirasakan para guru matematika dapat terwariskan kepada para siswanya (Wahyudin, 2010:21). Faktor yang lain yaitu keluarga, terutama orang tua siswa yang terkadang memaksakan anak-anaknya untuk pandai dalam matematika karena matematika dipandang sebagai sebuah ilmu yang memiliki nilai prestise.
3. Faktor intelektual.
Faktor intelektual terdiri atas pengaruh yang bersifat kognitif, yaitu lebih mengarah pada bakat dan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ashcraft & Kirk (dalam Johnson, 2003) menunjukkan bahwa ada korelasi antara kecemasan matematika dan kemampuan verbal atau bakat serta Intelectual Quotion (IQ) (Anita, 2014).
Gejala kecemasan ada dalam bermacam-macam bentuk dan kompleksitasnya, namun biasanya cukup mudah dikenali. Seseorang yang mengalami kecemasan cenderung untuk terus menerus merasa khawatir akan keadaan yang buruk yang akan menimpa dirinya atau diri orang lain yang dikenalnya dengan baik. Biasanya seseorang yang mengalami kecemasan cenderung tidak sadar, mudah tersinggung, sering mengeluh, sulit berkonsentrasi dan mudah terganggu tidurnya atau mengalami kesulitan untuk tidur (Gunarsa dkk, dalam Saufi & Wicaksono, 2013).
Penderita kecemasan sering mengalami gejala-gejala seperti berkeringat berlebihan walaupun udara tidak panas dan bukan karena berolahraga, jantung berdegup ekstra cepat atau terlalu keras, dingin pada tangan atau kaki, mengalami gangguan pencernaan, merasa mulut kering, merasa tenggorokan kering, tampak pucat, sering buang air kecil melebihi batas kewajaran dan lain-lain. Mereka juga sering mengeluh pada persendian, kaku otot, cepat merasa lelah, tidak mampu rileks, sering terkejut, dan ada kalanya disertai gerakan-gerakan wajah atau anggota tubuh dengan intensitas dan frekuensi berlebihan, misalnya pada saat duduk terus menerus, menggoyang-goyangkan kaki, meregangkan leher, mengernyitkan dahi dan lain-lain (Gunarsa dkk, dalam Saufi & Wicaksono, 2013).
Siswi jurusan IPS SMA Negeri 1, Dini, mengatakan meski sedari semester satu ia sudah melakukan persiapan dan mengikuti bimbingan belajar, namun tetap saja menghadapi mata pelajaran matematika esok hari ada rasa cemas. Hal paling utama yaitu karena banyak rumus-rumus dari matematika yang harus diingatnya dan ia khawatir ketika sampai di dalam kelas nanti soal-soal yang keluar justri berasal dari rumus-rumus yang alpa diingatnya. Kecemasan juga dialami oleh Destianan, siswa jurusan IPA di sekolah RSBI tersebut. Dia menganggap mata pelajaran berhitung ibarat hantu yang menakuti para siswa (Nedabang, 2012).
Kesimpulan yang dapat diambil adalah semua siswi yang memiliki kecemasan dalam pelajaran matematika harus selalu yakin dengan apa yang sudah dipelajari, belajar dari jauh-jauh hari, dan perbanyak latihan soal-soal agar selalu ingat dengan rumus tersebut. Sebelum memulai ujian coba untuk mengulang dan mengingat rumus. Saat memulai ujian dan mulai cemas tarik napas dalam-dalam dan yakinkan diri bahwa saya dapat mengerjakan ujian ini dengan baik dan coba untuk mengerjakan semaksimal mungkin. Saat selesai ujian jangan menjadikan hal tersebut sebagai beban pikiran karena hal tersebut dapat membuat kecemasan berlanjut dan meningkat. Bermain dan berbahagialah dengan teman-teman sekeliling dan yang paling penting adalah optimis untuk mendapat hasil yang terbaik.