Istilah wakaf belum populer di telinga masyarakat. Apalagi jika melihat fakta bahwa literasi wakaf yang masih minim. Bagi sebagian masyarakat, wakaf diidentikkan sebagai ibadah orang kaya dan hanya bisa ditunaikan dalam jumlah yang besar. Namun, di sisi lain memiliki amal yang pahalanya mengalir abadi adalah harapan semua mukmin yang sadar akan pentingnya amal di akhirat. Hal ini karena pahala orang yang berwakaf akan selalu langgeng di sisi Allah. Jika harta wakaf terus dimanfaatkan umat, ganjaran pahala bagi orang yang melakukan wakaf akan terus mengalir kendati ia sudah meninggal dunia.
Berikut beberapa kisah wakaf para sahabat nabi yang bisa kita jadikan contoh untuk kehidupan saat ini.
1. Utsman Bin Affan.
Utsman bin Affan adalah salah satu sahabat Nabi yang bisa kita ambil pelajarannya. Diriwayatkan pada masa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, Kota Madinah pernah mengalami paceklik hingga kesulitan air bersih. Pada masa itu kaum Muhajirin sudah terbiasa minum dari air zamzam di Mekah, satu-satunya sumur yang tersisa hanyalah milik seorang Yahudi, yaitu sumur Raumah.
Memiliki rasa yang mirip dengan air zamzam di Mekah, kaum Muhajirin rela antre untuk membeli air bersih dari Yahudi tersebut. Kemudian Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam bersabda: "Wahai Sahabatku, siapa saja di antara kalian yang menyumbangkan hartanya untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka akan mendapatkan surga-Nya Taala." (HR. Muslim)
Lalu Utsman bin Affan Radhiyallahua'nhu yang kemudian segera bergerak untuk membebaskan sumur Raumah itu. Terjadilah peristiwa tawar menawar dengan Yahudi tersebut hingga disepakati Yahudi menjual setengah sumur miliknya kepada Utsman bin Affan Radhiyallahuanhu.
Kemudian Utsman bin Affan mewakafkan Sumur Raumah. Sejak saat itu sumur bisa dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk kaum Yahudi. Berkah wakaf milik Utsman bin Affan membuat sumur bertambah dan pohon kurma subur, berkembang hingga berjumlah 1550 pohon.
Hasil dari kebun kurma dikelola oleh Departemen Pertanian Saudi, hasil kebun kurma dijual ke pasar-pasar, setengah dari keuntungan itu disalurkan untuk anak-anak yatim dan fakir miskin, sedangkan setengahnya lagi disimpan dalam bentuk rekening khusus miliknya. Itulah amalan yang pundi-pundi pahalanya mengalir hingga saat ini.
2. Umar bin Khatab.
Sahabat Rasulullah selanjutnya yang berwakaf adalah Umar Bin Khatab. Peristiwa wakaf Umar tersebut terjadi setelah pembebasan tanah Khaibar pada tahun ke-7 Hijriyah. Pada masa itu,ia menerima tanah yang diperoleh di Khaibar, lalu Umar bin Khattab mendatangi Rasulullah untuk mendapatkan petunjuk terkait dengan tanah yang ia dapat tersebut, Rasulullah pun memerintah untuk mewakafkannya.
Tanah yang ditumbuhi kurma tersebut sangat disukai oleh Umar bin Khattab karena subur dan banyak hasilnya. Tanpa berat hati Umar mewakafkan tanahnya dan menyedekahkan hasil dari tanah tersebut untuk orang-orang fakir, hamba sahaya, sabilillah, dan tamu.
Praktik yang dilakukan oleh Umar bin Khattab merupakan salah satu bukti bagaimaan para sahabat mempraktikkan wakaf produktif. Wakaf yang memberdayakan masyarakat, dengan pokoknya tetap terpelihara dan terkelola, sedangkan hasilnya diberikan untuk kepentingan umat. Umar pun memberikan contoh kepada kita semua bahwa sebaiknya harta yang diwakafkan adalah harta terbaik dan yang paling dicintai.
3. Abu Thalhah.
Selanjutnya, sahabat nabi yang juga mewakafkan hartanya ialah Abu Thalhah. Ia memiliki sebidang kebun yang sangat ia sukai, kebun yang berlokasi di depan masjid Nabawi. Di masa itu, kebun ini bernilai sangat mahal dan diwakafkan Abu Thalhah sebagai sedekah kesayangannya untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya untut kepentingan umat.
Suatu ketika ia mendengar sebuah ayat Al-Quran, "Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai." (QS. Ali Imran: 92)
Dengan penuh keyakinan ia mewakafkan kebun Bairuha tersebut, demi mendapatkan cinta dari Allah dan Rasulnya.
Pemahaman tentang wakaf sedikit demi sedikit berkembang dan telah mencakup beberapa benda, seperti tanah dan perkebunan yang hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan tempat peribadatan dan kegiatan keagamaan serta diberikan kepada fakir miskin. Perkembangan ini terus berlanjut hingga masa-masa berikutnya.
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun, setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah kebijakan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.