Jika kita kilas balik, ingatkah kita pada bulan lalu, kita memperingati Hari Anak Nasional (HAN) dan rubrik-rubrik opini di berbagai media banyak mencetuskan harapan-harapan agar Indonesia lebih ramah terhadap anak dari berbagai sisi kehidupan. Namun berita memilukan datang dari dari Jawa Barat pada hari Sabtu, 21 Juli 2018 atau dua hari tepat sebelum peringatan HAN.
Perkelahian dua pelajar kelas VI SDN Cikandang 1 Cikanjang, Garut harus berakhir tragis karena salah satu pelajar yang terlibat dalam perkelahian itu pada akhirnya harus meninggal dunia akibat luka tusuk di beberapa bagian tubuhnya. Pelaku menggunakan gunting yang sebelumnya dipakai pada pelajaran prakarya untuk menghabisi nyawa rekannya tersebut hanya karena persoalan sepele yaitu kehilangan buku.
Hati kita tentu merasa miris dan sedih membayangkan bagaimana dua orang anak bisa sebegitu larutnya dalam amarah dan emosi yang tak terkendali sehingga harus berkelahi dengan nyawa sebagai taruhannya. Tak dapat pula dijelaskan dengan kata-kata betapa sedih dan hancur hati kedua orangtua korban menyaksikan buah hatinya kini telah pergi di usia yang sangat belia. Dunia anak yang seharusnya diisi oleh kegembiraan, tawa canda dan kepolosan belakangan berubah menakutkan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menelurkan sebuah visi : Terwujudnya Indonesia Ramah Anak. Sayangnya, masih terjadi kesenjangan yang lebar antara harapan dan kenyataan. Indonesia saat ini bukan cuma tidak ramah anak, tapi seolah menjadi momok menakutkan bagi dunia anak. Di berbagai daerah terdapat banyak anak putus sekolah karena faktor ekonomi. Alih-alih belajar di sekolah mereka harus membantu orangtua dengan cara berjualan, mengamen atau meminta-minta di jalan raya yang rentan bahaya baik yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas atau tindakan kejahatan.
Perundungan (bullying), tawuran antar pelajar, pembunuhan, pernikahan dini, aborsi dan kekerasan seksual adalah contoh-contoh persoalan mendasar dalam kehidupan anak yang belum tersesaikan dengan baik di negara ini. Ironisnya peristiwa kekerasan tak hanya melibatkan pihak luar atau orang asing, bahkan lingkungan pendidikan dan keluarga juga belum bisa menjamin rasa aman yang sepenuhnya bagi seorang anak. Pelaku kekerasan terkadang justru hadir dari orang-orang terdekat termasuk orangtua dan saudara kandung.
Zaman Sudah Berubah
Pola dan perilaku anak-anak sekarang sudah tidak sepolos masa-masa dulu. Berbagai faktor bermunculan yang bisa memicu seorang anak terjerumus dalam perilaku melanggar hukum. Dulu ketika teknologi belum secanggih sekarang, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan permainan-permainan tradisional. Sekarang pemandangan seperti itu mulai langka. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu beraktifitas di dunia maya melalui media sosial maupun game-game online. Tanpa adanya pengawasan yang ketat terutama oleh orangtua, maka anak-anak tersebut akan secara luasa mengakses konten-konten informasi yang tidak sesuai usia. Banyak anak-anak yang kini dewasa sebelum waktunya. Ini dapat terlihat dari gaya berpacaran dewasa yang bahkan mulai merasuki anak-anak SD, merokok, berpakaian dengan gaya orang dewasa dan masih banyak lagi.
Anak adalah peniru yang hebat (great imitators). Dewasa ini begitu banyak perilaku masyarakat kita yang tidak mendidik seperti begal, pembunuhan dan tindakan kekerasan lainnya. Tak hanya itu, konten-konten acara di televisi juga banyak yang tidak edukatif. Di stasiun televisi kita berjamur tayangan-tayangan seperti FTV dan sinetron yang menyuguhkan kisah-kisah percintaan remaja. Di dalamnya banyak unsur-unsur konflik yang diakibatkan oleh cinta dan tak jarang memicu pertengkaran dan adu fisik. Bisa jadi pemandangan-pemandangan negatif ini yang justru terekam jelas di benak anak-anak sehingga berpotensi untuk ditiru dalam kehidupan sehari-hari. .
Perlu Langkah Preventif
Kehadiran lembaga-lembaga seperti KPAI yang diketuai oleh Dr. Susanto, M.A. menggantikan Arist Merdeka Sirait saat masih bernama Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) dan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) pimpinan Kak Seto memang berperan sebagai pendamping dalam perlindungan hukum pada anak. Akan tetapi, seharusnya kedua lembaga ini lebih banyak bergerak melalui tindakan-tindakan yang sifatnya preventif yaitu melakukan pencegahan terjadinya pelanggaran hukum yang melibatkan anak-anak.
Tanpa bermaksud mendiskreditkan peran KPAI dan LPAI selama ini, faktanya justru ketika sudah terjadi peristiwa pelanggaran hukum yang melibatkan anak baik sebagai korban maupun pelaku, kedua lembaga ini baru mulai tampak muncul di media. Perlindungan hukum terhadap korban memang hal yang sangat penting, namun akan jauh lebih bermanfaat jika ada terobosan-terobosan yang dilakukan sehingga jatuhnya korban seperti dalam kasus perkelahian pelajar ini bisa dicegah.
KPAI maupun LPAI harus lebih intens terjun ke masyarakat dan keluarga melalui lembaga-lembaga pendidikan formal, lembaga swadaya masyarakat dan kegiatan-kegiatan keagamaan melakukan sosialisasi nyata bagaimana mewujudkan Indonesia sebagai negara yang ramah anak. Selain memastikan informasi yang tepat sampai ke telinga publik secara luas, masyarakat terutama keluarga juga mendapatkan edukasi tentang betapa pentingnya perlindungan terhadap anak dari usia sedini mungkin. Bila hal ini tidak dilakukan dengan serius, bukan mustahil jika pelanggaran-pelanggaran hukum terhadap anak akan terus terjadi.
Usut Tuntas
Pihak keluarga korban menurut laporan awak media telah mengikhlaskan kepergian sang anak dan tidak berniat untuk menempuh jalur hukum. Akan tetapi, demi efek jera, tindakan hukum yang tegas perlu ditempuh terhadap pelaku. Dilansir dari www.antvklik.com, Kak Seto malah sempat berujar bahwa ini merupakan kecelakaan dan bukan merupakan unsur kesengajaaan sehingga pelaku harus dibimbing agar bisa kembali menjadi anak yang normal.
Satu yang jelas adalah pelaku meski masih merupakan anak-anak telah mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Yang bersangkutan tetap harus diproses secara hukum agar menimbulkan efek jera baik bagi dirinya sendiri maupun anak-anak lainnya dengan tetap memberlakukan bimbingan dan memperhatikan hak-hak seperti untuk tetap bisa memperoleh pendidikan.
Selama ini bila pelaku kejahatan berusia di bawah 18 tahun maka masih dianggap berstatus sebagai anak-anak dan proses hukum yang berjalan adalah melalui proses diversi. Proses diversi merupakan penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana dengan memperhatikan kepentingan restoratif sang anak. Bahkan bila mungkin medias untuk mencapai kata damai akan lebih diutamakan.
Namun kita tidak boleh terlalu mengobral kompromi terkait ketegasan hukum. Anak-anak usia kelas VI SD yang biasanya sudah mencapai usia 12 tahun sudah pasti paham bahwa melukai orang lain dengan senjata tajam bahkan sampai menyebabkan kematian adalah perbuatan yang salah dan melanggar hukum. Sehingga tidak salah apabila pelaku diberi ganjaran hukuman kurungan seraya direhabilitasi agar pola berpikirnya kembali ke arah yang lebih baik. Apabila setiap pelanggaran hukum apalagi yang tergolong berat seperti pembunuhan dilakukan oleh anak-anak lantas kemudian proses hukumnya ringan ini malah akan menjadi bumerang dan bisa berakibat tidak muncul rasa kapok dalam diri si anak tersebut.