Dewasa ini, nyaris mustahil melepaskan diri dari ketergantungan smartphone. Lewat perangkat canggih ini kita dapat terhubung dengan keluarga dan teman-teman kita. Cukup buka aplikasi dan ketik abjad-abjad virtual yang terpampang di layar, kita sudah dapat saling berkirim pesan singkat. Urusan pekerjaan pun demikian. Arus informasi yang berlalu lalang di di dunia maya dapat kita akses dalam sekejap mata.
Namun, ada bahaya yang mengintai di balik kebiasaan kita yang sehari-harinya tak bisa lepas dari smartphone ini. Bahaya itu bernama nomofobia.
Nomofobia atau dalam Bahasa Inggrisnya disebut nomophobia adalah kependekan dari 'no mobile phone phobia' yang dapat diartikan secara harfiah sesuai namanya yakni ketakutan atau kekhawatiran ketika pelakunya tak dapat mengakses telepon genggam.
Mengacu pada Wikipedia, istilah Nomofobia pertama kali muncul dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Britania Raya tahun 2008. Besar kemungkinan fobia ini bertumbuh seiring dengan melesatnya perkembangan ponsel pintar yang penetrasinya diinisiasi oleh Apple dan Google.
Kini, perangkat teknologi ini tak hanya memungkinkan untuk penggunanya saling berbalas pesan singkat atau melakukan dan menerima panggilan saja. Mencari rekomendasi restoran di sekitar kita, menonton video, hingga mengukur tekanan darah, semuanya bisa dilakukan lewat smartphone.
Hal itu pula yang membuat manusia era sekarang punya kemungkinan tinggi mengidap penyakit psikis ini.
Berikut ini adalah ciri-ciri pengidap nomofobia, dampak buruknya, hingga kiat untuk mencegah atau terbebas dari sindrom membahayakan ini.
Ciri-ciri pengidap nomofobia
Jika kamu termasuk orang yang selalu membawa serta smartphone kemanapun kamu pergi, itu artinya kamu sudah mengalami gejala nomofobia. Gejala ini sudah tergolong akut manakala di tempat-tempat yang butuh ketenangan, seperti tempat tidur atau kamar mandi sekalipun kamu masih saja membawanya.
Pengidap nomofobia juga akan mengalami fase FoMO alias 'fear of missing out', di mana seseorang yang mengalami gejala psikis tersebut punya frekuensi mengecek notifikasi ponsel yang terlampau tinggi. Nyaris setiap menit ia bolak-balik menatap layar ponsel. Ia akan merasakan suatu ganjalan apabila ia ketinggalan pembaruan status atau display picture teman-temannya di media sosial atau aplikasi pesan instan.
Ciri lainnya adalah hilangnya ketertarikan untuk bersosialisasi di dunia nyata. Apakah kamu lebih senang berduaan dengan smartphone kamu ketimbang bercengkerama dengan seseorang yang jelas-jelas ada di hadapan kamu? Kalau iya, sebaiknya kamu harus lebih waspada.
Dampak buruk nomofobia
Selain itu ia akan sulit fokus. Hal ini akan sangat gawat, terutama jika menyangkut pendidikan maupun pekerjaan. Pengidapnya akan sulit fokus mengerjakan tugas-tugas yang ada karena nyaris setiap saat dibombardir keinginan untuk mengecek smartphone-nya. Kalau sudah begitu, jangan harap hasil pekerjaannya akan mendapat hasil yang baik.
Selanjutnya adalah buang-buang waktu. Coba tanyakan pada dirimu sendiri, sudah berapa banyak waktu yang terbuang dari kebiasaan kamu mengakses ponsel. Jujur saja, lagipula tak semua informasi yang kamu kunyah itu penting, kan? Imbasnya, produktivitas kamu sehari-harinya jelas akan terganggu.
Kiat ampuh terbebas dari belenggu nomofobia
Simtom nomofobia tak serta merta dapat disembuhkan dengan membeli obat warung ala kadarnya saja. Nomofobia kurang lebih sama dengan mereka yang kecanduan rokok atau narkoba. Perlu upaya simultan supaya pengidapnya dapat benar-benar terbebas dari jerat sindrom ini.
Pertama, matikan nada dering atau nada pemberitahuan ponsel kamu. Atur jadwal khusus kapan kamu mengizinkan diri kamu mengecek ponsel. Misalkan, satu jam atau setengah jam sekali. Kurangi intensitas penjelajahan dunia maya kamu. Alokasikan waktumu untuk sesuatu yang lebih berharga.
Lalu, langkah selanjutnya adalah dengan mematikan ponsel kamu minimal satu atau dua jam sebelum naik ke tempat tidur. Istirahatkan otakmu dari penat seharian. Jangan menambah siksaannya dengan beberapa menit atau beberapa jam ekstra menatap lekat layar ponsel pintarmu.
Terakhir, yang tak kalah penting, tingkatkan partisipasimu dalam kehidupan sosial yang nyata. Sambut ajakan nongkrong teman-teman kamu, libatkan dirimu dalam obrolan yang lebih hangat dengan keluarga, ikutilah kerja bakti dan berbaurlah dengan masyarakat sekitar.
Selain mewawas diri, tumbuhkan juga kepedulian kita terhadap sesama dengan saling mengingatkan penyakit ini.