Apa lagi yang mau diharapkan dari pendidikan ketika siswa, bak seorang jawara, memegang kepala gurunya sembari mengajak berkelahi hanya gara-gara teguran untuk tidak merokok? Parahnya, sikap para peserta didik lain malah terkesan permisif. Mereka tertawa menyaksikan adegan itu seolah-olah memberi legitimasi. Itulah yang terjadi di sebuah SMP di Gresik belum lama ini. Tak lama sesudah itu, muncul lagi kasus yang hampir sama di sebuah SMK Negeri di Yogyakarta. Seorang murid menantang guru karena ponsel miliknya disita sang guru. Dua kejadian ini bisa menjadi gambaran potret buram pendidikan Indonesia di era disruptif sekarang. Semakin lama, guru bukan lagi menjadi sosok yang dihargai dan dijadikan panutan.
Dilema guru.
Guru tidak lagi memiliki marwah. Ibarat makan buah simalakama, hendak tegas, ada HAM yang menghantui. Murid dan orang tua zaman kekinian pun berbeda. UU Perlindungan Anak dijadikan kartu truf untuk mencari celah ketika guru berbuat salah (baca: memakai hukuman fisik). Meminjam istilah yang sedang tren saat ini, kriminalisasi, kita bisa melihat betapa lemahnya kedudukan guru. Khilaf sedikit, guru bisa dituntut secara hukum. Silakan telusuri sendiri, sudah berapa banyak guru yang diseret ke pengadilan karena dianggap melakukan kekerasan fisik.
Saya bukan sedang mengadvokasi hukuman fisik. Tapi kebanyakan hukuman fisik yang dilakukan guru lebih cenderung disebabkan oleh perilaku murid yang sudah kelewat batas. Sebagai contoh, di masa lalu, tatkala melihat murid laki-laki berambut tidak rapi dan panjang, guru bisa langsung memangkasnya. Tidak ada yang protes. Sekarang, coba saja jika berani. Bisa-bisa si murid akan meraung-raung dan mengadu pada orangtuanya yang kemudian datang untuk membotaki rambut si guru.
Memilih apatis dan skeptis juga bukan solusi. Guru akan diberi label tidak berwibawa dan tidak menguasai kelas. Dan ujung-ujungnya, guru hanya akan dianggap makan gaji buta. Padahal gaji guru, terutama swasta dan honorer, jauh dari kata layak. Profesi guru kian dipandang sebelah mata. Guru mengajar dengan rasa takut dan was-was. Takut ancaman hukum, dan was-was kalau-kalau dianggap tidak becus mengajar. Peserta didik semakin berleha-leha dan bebas. Orangtua mendikte karena merasa punya otoritas. Saya sudah bayar anda, maka turuti saja mau saya. Demikian kira-kira prinsip orang tua dan murid terhadap guru sekarang terutama di sekolah-sekolah yang berbiaya mahal.
Kecanduan gawai.
Murid yang tidak lagi menjunjung tinggi kesantunan merupakan sebuah paradoks. Sebab selama ini Indonesia dikenal luas di dunia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi budaya sopan santun dan keramahtamahan. Tapi itu tinggal nostalgia di masa lalu.
Lunturnya nilai-nilai kesopanan di masa sekarang boleh jadi disebabkan oleh era digital yang bukan saja membawa dampak positif, tapi juga negatif. Peserta didik banyak yang mengalami kecanduan akut terhadap gawai. Dilansir dari laman merdeka.com, Kepala Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan, Suhartono mengatakan berdasarkan data BPS tahun 2018, dari 143 juta jiwa anak muda di Indonesia, 54 persen merupakan pengguna internet aktif. Dari jumlah itu, sebanyak 90,61 persen memakai internet untuk media sosial dan jejaring sosial.
Menariknya, hasil temuan terbaru penelitian Michigan State University yang dipublikasikan di Journal of Behavior Addiction 2019 menyimpulkan bahwa adiksi media sosial tak ubahnya seperti kecanduan narkoba. Akibat kecanduan pada media sosial, murid-murid sekarang menjadi teralineasi dari interaksi sosial di dunia nyata. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan hal-hal kontraproduktif seperti swafoto, unggah-mengunggah foto, membuat video live dan balas-membalas komentar di media sosial. Yang mencemaskan, tak sedikit pula dari antara mereka yang terjerumus pada perilaku negatif seperti sexting, mengakses konten-konten pornografi hingga perseteruan di dunia maya yang berujung pada bullying dan tawuran serta cybercrime.
Kecanggihan gawai yang sangat mempermudah akses informasi juga mengakibatkan terjadinya pengaruh modernisasi kultur. Selain membuat para pelajar semakin asyik dengan dunianya sendiri (baca: dunia maya), pola pikir yang terbentuk akibat budaya-budaya luar mempengaruhi tutur kata dan perilaku mereka dalam kehidupan sosial saban hari. Tali ikatan dengan keluarga dan orangtua kian lemah karena jati diri yang sudah ditemukan di dunia maya tadi. Jika dengan orangtua dan keluarga saja mereka tidak bisa dekat dan hormat, konon lagi kepada guru. Pada sisi lain, gawai juga membuat murid-murid menjadikan teknologi sebagai sumber utama mencari pengetahuan. Mereka lebih meyakini google atau youtube ketimbang guru. Alhasil wibawa guru semakin berkurang.
Pendidikan berbasis budaya.
Reformasi pendidikan memang sudah gencar dilakukan. Banyak kebijakan dan aturan perundang-undangan yang dibuat para petinggi negeri ini dengan tujuan membawa perubahan ke arah lebih baik. Pakar-pakar pendidikan berlomba-lomba merumuskan konsep pendidikan yang sesuai tuntutan zaman. Tapi bersamaan dengan itu, budi pekerti siswa semakin terkikis ataujika tidak terlalu eksesiftelah hilang. Lalu bagaimana dengan kualitas pendidikan? Mungkin kegundahan kita akan terobati mana kala mutu pendidikan negeri ini semakin membaik walau guru kian terpinggirkan. Nyatanya tidak! Berdasarkan laporan program penilaian pelajar internasional, PISA di tahun 2015, dari 76 negara peserta, kita masih menduduki peringkat 69. Kemudian di tahun 2017, menurut UNESCO, Indonesia berada di urutan 108 dari seluruh negara di dunia dengan skor 0,603. Sampai pada titik ini, wajar jika sebuah pertanyaan menyeruak, ada apa dengan pendidikan Indonesia?
Suka atau tidak suka, pendidikan kita juga mulai mengarah kepada sistem kapitalis. Sekolah-sekolah mulai berorientasi bisnis. Biaya pendidikan semakin mahal. Bukan hanya menyebabkan terjadinya kesenjangan, sistem ini juga terbukti sulit menghasilkan output lulusan yang mencerminkan karakter budaya luhur bangsa kita. Sebab dalam sistem kapitalisme, segala hal selalu diasosiasikan dengan meraup keuntungan sebesar-besarnya seperti yang dicetuskan Karl Max dalam teori kapitalismenya yang tersohor itu.
Sudah saatnya kita kembali pada ide besar Ki Hadjar Dewantara yang menggagas pendidikan berbudaya lewat konsep Tri Sakti Jiwa yakni hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia. Memang, pendidikan berbasis budaya sebenarnya bukan paradigma baru. Sejak tahun 1987, sekolah-sekolah di Indonesia sudah mengakomodir kearifan lokal sesuai SK Mendikbud RI No. 012/U/1987. Tapi, pendidikan kita sejatinya belum bisa lepas dari virus ujian. Semua bermuara pada hasil ujian sehingga pembelajaran lebih banyak ditekankan pada ranah kognitif. Konsep budaya didominasi oleh wujud teori ketimbang pembiasaan.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia masih sangat relevan dan bahkan perlu dibangkitkan guna mengembalikan marwah budaya sopan santun dalam tatanan pendidikan negeri ini. Konsep asah, asih dan asuh harus digalakkan lagi sebab pendidikan bukan soal urusan transfer ilmu semata. Pendidikan harus berlandasakan keteladanan oleh semua pihak, baik guru, orang tua, masyarakat, dan pemerintah agar pelajar-pelajar Indonesia tumbuh menjadi manusia yang berakhlak dan berilmu tinggi. Semoga.
*Penulis berprofesi sebagai guru dan dosen, aktif mengisi kolom opini beberapa surat kabar dan media dalam jaringan.