Peter Pan Syndrome pertama kali digaungkan oleh seorang psikolog asal Amerika yang bernama Dan Kiley pada tahun 1983. Peter Pan adalah salah satu tokoh dongeng yang digambarkan dalam rupa anak laki-laki yang sangat ceria dan sangat senang bermain. Sebagai seorang psikolog, Kiley meyakini bahwa hal ini juga terjadi di dalam kehidupan pria dewasa.
Killey telah melakukan pengamatan dari setiap proses sesi psikoterapi yang dilakukan bersama klien laki-laki yang datang padanya dari berbagai latar belakang, kurang lebih selama 25 tahun sebelum akhirnya ia berani mencetuskan istilah Peter Pan Syndrome ini.
Peter Pan Syndrome sendiri dijelaskan sebagai perilaku pria dewasa yang secara keseluruhan tidak menunjukkan kedewasaan dan cenderung kekanak-kanakan, persis seperti Peter Pan yang menolak "growing up" di dalam cerita fenomenalnya. Seseorang dengan kecenderungan Peter Pan syndrome akan menunjukkan tingkah laku pria yang sangat menyukai tantangan dan membuat keonaran untuk bersenang-senang, tetapi jika dihadapkan dengan tugas sebagai pria dewasa maka sering kali akan merasa panik dan tidak percaya diri. Selain itu, ciri-ciri orang yang memiliki Peter Pan Syndrome adalah takut dengan kesepian sehingga mereka akan mencari pasangan dan membiarkan pasangannya untuk melakukan segala keputusan dalam hubungannya.
Peter Pan Syndrome dapat terjadi pada pria berusia sekitar 19-21 tahun atau lebih tanpa memandang status, sehingga bisa saja terjadi pada pria yang sudah menikah dan memiliki anak. Hal ini tidak muncul tiba-tiba begitu saja. Biasanya tanda-tandanya mulai nampak saat seorang anak laki-laki berada pada tahap perkembangan remaja di mana seorang anak menghadapi proses pencarian jati diri dan proses penyesuaian sosial yang luar biasa dinamis. Berbagai peran yang lebih rumit dari tahap perkembangan anak-anak juga mewarnai proses tersebut, sehingga peralihan tugas dan tanggung jawab akan sangat terasa berat. Peran lingkungan sosial yang diwakilkan oleh keluarga, teman sebaya, dan agen pendidikan menjadi semakin penting bagi para remaja laki-laki ini.
Salah satu penyebab munculnya kecenderungan Peter Pan Syndrome ini adalah terdapat pola pengasuhan dari orang tua yang terlalu berlebihan untuk melindungi anak (over-protective) sehingga anak kurang memiliki kemampuan dalam beradaptasi secara sosial dan kesulitan untuk membuat keputusan secara mandiri. Hal ini kemudian juga berpengaruh pada proses pengendalian diri, khususnya emosi pada seorang anak/remaja laki-laki. Ditambah lagi adanya tekanan secara tidak langsung dari sistem budaya patriarki yang melekat di sebagian besar belahan dunia ini. Laki-laki yang harus bertanggung jawab dan harus kompeten dalam berbagai bidang memberikan nuansa tersendiri dalam proses perkembangan seorang anak/remaja laki-laki. Faktor ekonomi yang secara tidak langsung "menuntut" laki-laki harus lebih dari yang lain juga menjadi salah satu tekanan yang dirasakan. Dinamika lingkungan sosial dan perkembangan kepribadian seorang anak/remaja laki-laki menjadi cukup kompleks dan sangat personal.
Jika kecenderungan ini dibiarkan maka akan bisa memengaruhi kesehatan mental para pria dewasa dan tentu saja orang-orang di sekelilingnya. Relasi sosial dengan orang terdekat seringkali akan mengalami konflik karena proses komunikasi yang kurang lancar. Jika dikaitkan dengan produktivitas, maka pria dengan Peter Pan Syndrome akan selalu bergantung pada orang lain dan kurang mampu mandiri dalam penyelesaian tanggung jawabnya. Proses perkembangan kepribadian pria dengan Peter Pan Syndrome ini juga sering kali mengalami stagnansi bahkan regresi. Hal ini akan mengakibatkan munculnya kebingungan peran bahkan keraguan pada kemampuan diri yang dimiliki.
Kecenderungan Peter Pan Syndrome bukanlah merupakan suatu penyakit, namun jika dimiliki oleh seorang pria dewasa maka akan cukup merugikan diri dan orang lain di sekitarnya. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan bagi orangtua untuk mencegah munculnya Peter Pan Syndrome pada anak/remaja laki-laki, antara lain:
1. Menerapkan komunikasi asertif dengan anak/remaja laki-laki.
2. Memberikan kesempatan mengambil keputusan secara mandiri.
3. Memberi kepercayaan dan kasih sayang yang secukupnya.
4. Tegas dan konsisten dalam melakukan suatu tugas sederhana.
5. Membangun suasana yang nyaman dan aman.
6. Membantu proses pengenalan pikiran, emosi, dan tingkah laku.
Jika pria dewasa di sekitarmu yang mengalami hal ini, maka perlu diusahakan untuk melakukan konsultasi ke psikolog. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi kondisi pria dewasa dengan Peter Pan Syndrome ini, sehingga dapat diterapkan psikoterapi yang tepat. Proses psikoterapi yang tepat kemudian memiliki manfaat untuk meminimalkan kondisi Peter Pan Syndrome. Hal ini diharapkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan emosional dan kualitas hidup para pria dengan Peter Pan Syndrome. Selain itu, faktor keluarga dan lingkungan sosial juga dapat membantu proses psikoterapi yang dilakukan. Dukungan sosial dipercaya dapat meminimalisir dampak peter pan syndrome bagi dirinya sendiri dan orang-orang terdekat dari seorang pria dengan Peter Pan Syndrome ini.