Dilatarbelakangi kepedulian arti pentingnya pemahaman yang benar tentang autisme, penting dilakukan penelitian representasi karakter autis di media, khususnya media film. Film dipandang berperan besar dalam sosialisasi autisme yang saat ini masih lazim disalahpahami oleh masyarakat luas. Akibat kurangnya pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang autisme di masyarakat, menyebabkan munculnya stigma dan perilaku diskriminasi terhadap penyandang autis dan keluarganya.
Film dengan karakteristik audio visualnya digunakan sebagai media informasi, edukasi, sekaligus hiburan yang berperan membentuk pemahaman yang benar terkait dengan konsep autis pada masyarakat luas. Seperti yang dilakukan film-film asing yang sudah mengangkat isu autisme dan karakter penyandangnya sejak tahun 1980-an. Sebaliknya, film Indonesia baru mulai mengangkat isu autisme sejak tahun 2011, itu pun karakter autis belum menjadi tokoh utamanya. Baru sejak tahun 2013, melalui film Malaikat Juga Tahu, karakter autis pertama kali dimunculkan sebagai tokoh utamanya. Lalu disusul dengan film Malaikat Kecil (2015) dan yang terbaru film Dancing In The Rain (2018). Penyebabnya karena di Indonesia, istilah autisme baru mulai dikenal sejak tahun 1980-an, itu pun masih di kalangan terbatas, hanya para orang tua yang memiliki anak autis.
Sehingga tujuan penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan penggambaran karakter autis yang ditampilkan dalam film-film Indonesia. Agar dapat diperoleh pola penggambaran karakter autis melalui tanda-tanda sinematografi di film-film Indonesia yang dalam penelitian ini diwakili oleh film Malaikat Juga Tahu, Malaikat Kecil dan Dancing In The Rain.
Salah satu studi terdahulu yang menjadi rujukan utama dalam penelitian ini adalah penelitian penggambaran karakter autis di televisi oleh Katie Dowdy (2013) dari University of Arkansas, Fayetteville, Amerika Serikat dengan judul Representations of Autism in the Media: Perspectives in Populer Television Shows. Karakter penyandang autis yang diteliti dalam penelitian tersebut adalah karakter yang ada di serial TV Parenthood dan The Big Bang Theory.
Metode yang digunakan studi tersebut dengan mengevaluasi adegan yang melibatkan karakter penyandang autis, untuk dianalisis dibandingkan dengan definisi ilmiah autis, agar diperoleh karakteristik definitif dan sekunder autis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa karakter autis yang ditampilkan setidaknya 75% sesuai dengan definisi ilmiah.
Menggunakan metode yang sama, penelitian ini dilakukan terhadap karakter autis yang diwakilkan pada karakter Abang di film Malaikat Juga Tahu, karakter Budi di film Malaikat Kecil dan karakter Banyu di film Dancing In The Rain. Diharapkan hasil penelitian ini secara akademis dapat memperkaya kajian di bidang Komunikasi Persuasi, khususnya mengenai pengemasan pesan isu autisme dalam program entertainment education. Sementara secara praktis dapat dijadikan masukan para sineas dalam mengemas isu autisme melalui tanda-tanda sinematografi di film, di samping dapat menjadi wacana persuasi toleransi terhadap penyandang autis sebagai bagian masyarakat.
Temuan penting dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, film-film Indonesia masih menempatkan penyandang autis sebagai kelompok marginal. Tampak dari dominasi kekuasaan dalam bentuk keterlibatan karakter pendamping yang begitu kuat di samping karakter autis. Kedua, autisme ditampilkan sebagai bagian dari disabilitas yang digunakan sebagai komoditas untuk menarik simpati penonton. Hasil temuan menarik lainnya dari penelitian ini adalah dapat digambarkannya sepuluh identifikasi yang ditemukan dari scene yang menampilkan karakter autis di film.
Pertama, autis merupakan gangguan perkembangan yang berlangsung seumur hidup, diperlihatkan melalui perkembangan masa kecil hingga dewasa karakternya. Setiap individu penyandang autis pun terus berubah sepanjang kehidupannya sesuai dengan perkembangan usianya.
Kedua, karakter penyandang autis yang ditampilkan digambarkan terlalu positif (hiperpositif), sehingga cenderung tidak realistis. Karakter penyandang ditampilkan memiliki kecerdasan tinggi (savantism). Sehingga dengan kecerdasan mereka, tidak ada penggambaran tentang karakter autis yang berat ataupun kesulitan dan perjuangan yang ekstrem. Padahal dalam realitasnya, jumlah penyandang autis dengan tingkat kecerdasan tinggi jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang ditampilkan dalam film.
Ketiga, di sisi lain film juga menampilkan karakter penyandang autis dalam posisi yang lemah, tidak berdaya dan tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Karakter penyandang autis ditampilkan sering kali mengalami diskriminasi, dipandang sebelah mata oleh lingkungan sekitar, diberikan label (cap) dengan konotasi negatif. Salah satu label yang sering kali ditujukan kepada mereka adalah pembuat onar karena perilaku mereka yang sulit dikendalikan, sehingga rawan mengalami perundungan (bullying) dari lingkungan sekitarnya, baik berbentuk verbal maupun perilaku.
Keempat, film-film Indonesia cenderung memilih laki-laki ketika mengambarkan karakter penyandang autis sebagai tokoh utamanya, dibanding perempuan. Padahal dalam realitasnya, perempuan penyandang autis juga banyak, meski tidak sebanyak laki-laki. Sehingga kemudian memunculkan stereotipe penyandang autis kebanyakan laki-laki. Stereotipe ini pun pada akhirnya menjadi semacam acuan bagi film-film lainnya yang mengangkat isu autisme dalam pesannya. Masih jarang film yang mengangkat perempuan penyandang autis sebagai tokoh utamanya.
Kelima, kesamaan di antara individu penyadang autis secara umum. Sejumlah kesamaan di antara individu penyandang autis di antaranya kemiripan tingkah laku, cara interaksi sosial, kesulitan berbicara, dan obsesi terhadap hal tertentu, serta kesulitan dalam memahami interaksi sosial yang dinilai kompleks. Namun, bila diperhatikan secara lebih mendalam, terdapat kekhasan yang dimiliki setiap individu penyandang autis, yang dipengaruhi oleh usia. Semakin bertambah usia, perbedaan dalam perkembangan individu semakin tampak.
Keenam, selalu ada sosok yang begitu dominan mendampingi di samping karakter penyandang autis. Misalnya, karakter bunda (Malaikat Juga Tahu), Siti istri Budi (Malaikat Kecil) dan eyang putri Banyu (Dancing In The Rain).
Ketujuh, karakter penyandang autis memiliki kepekaan perasaan terhadap orang yang dicintainya. Hal ini dikarenakan mereka cenderung mengalami emosi yang intens. Padahal sering kali masyarakat menuding penyandang autis adalah orang yang cenderung tidak peduli dengan orang lain, sibuk dengan dunianya sendiri. Sebagaimana halnya yang dilakukan karakter Abang dalam film Malaikat Juga Tahu yang mencintai Leia. Atau bagaimana karakter Budi sebagai seorang ayah bertanggung jawab dan menyayangi anak-anaknya.
Kedelapan, berasal dari keluarga menengah ke atas. Dari kelima film Indonesia yang dijadikan unit analisis dalam penelitian ini menampilkan karakter penyandang autis yang berasal dari strata ekonomi menengah ke atas. Padahal dalam realitanya, banyak juga penyandang autis yang datang dari kalangan keluarga menengah ke bawah.
Kesembilan, karakter penyandang autis memiliki keunggulan pada bidang tertentu seperti menggambar, musik, puisi, dan matematika. Dalam film Malaikat Juga Tahu, karakter Abang ditampilkan memiliki keterampilan memainkan alat musik biola dengan lagu musik klasik.
Kesepuluh, karakter penyandang autis ditampilkan dapat mandiri dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi harapan bagi mereka yang memiliki anak autis, bahwa penyandang autis bisa berfungsi di masyarakat secara mandiri, asalkan orang tua memberikan penanganan yang tepat sejak dini. Bahkan dalam film Malaikat Kecil, ditunjukkan bahwa penyandang autis dapat berkeluarga, memiliki anak, berperan sebagai kepala keluarga, dan bertanggung jawab sebagai pencari nafkah.
Temuan penelitian ini mengonfirmasi bahwa film dapat berperan sebagai media persuasi narasi guna memberikan pemahaman yang benar terkait karakteristik penyandang autisme pada masyarakat. Untuk itu, hasil penelitian ini selanjutnya berpotensi dikembangkan dengan melakukan identifikasi resepsi khalayak penonton terhadap penggambaran karakter autis yang ditampilkan dalam film film Indonesia yang diproduksi antara tahun 2013-2018.