Para penyuka kucing di Omaui tidak diperbolehkan untuk kembali memelihara hewan berbulu tersebut. Dr Peter Marra, Kepala Pusat Migrasi Burung Smithsonian berkata, kucing telah bertanggung jawab atas kematian jutaan burung dan mamalia setiap tahunnya. Dia bersikeras kalau dirinya bukanlah seorang anti-kucing maupun menghalangi seseorang untuk memeliharanya. Dia menyebut kucing sebagai hewan peliharaan yang mengagumkan. Namun, kucing dilarang untuk berkeliaran di luar. Anjing bisa kita ajari, sudah saatnya kita melakukannya juga pada kucing.
BBC melaporkan, ilmuwan konservasi sudah lama memperingatkan dampak kucing yang berkeliaran di luar dengan ekosistem global. Marra menjelaskan, 63 spesies punah di seluruh dunia disebabkan oleh melonjaknya populasi kucing. Salah satunya di Amerika Serikat (AS) yang setidaknya terdapat 86 juta kucing peliharaan, atau rata-rata satu ekor di tiga rumah. Kucing-kucing tersebut dilaporkan membunuh empat miliar burung dan 22 miliar mamalia di AS setiap tahunnya.
Sementara di Inggris, organisasi Mammal Society memberikan data bahwa 55 juta burung menjadi korban kucing per tahun. "Fakta ini bukanlah kesalahan kucing. Melainkan manusia. Saya percaya para penyuka kucing harus punya perspektif sedikit berbeda," terang Marra. Adapun di Omaui, kamera pengawas memperlihatkan gambar bahwa kucing yang berkeliaran sering memangsa burung, serangga, hingga reptil. Ketua Omaui Landcare Charitable Trust menuturkan, peraturan itu dibuat untuk melindungi keberagaman alam di desa mereka.
"Kami tidak membenci kucing. Kami hanya berusaha untuk menjaga di lingkungan kami terdapat kehidupan alam liar yang kaya," tegas dia. Peraturan tersebut sontak menimbulkan protes dari warga. Salah satunya Nico Jarvis yang memelihara tiga ekor kucing di rumahnya. Dia mengaku terkejut dengan larangan tersebut, dan berniat untuk melakukan penolakan bersama komunitas penyuka kucing lainnya. Sementara penyuka kucing di grup Facebook menyebut racun dan polusi seharusnya juga menjadi penyebab kerusakan alam di Omaui.