Rencana pemindahan ibu kota sebenarnya bukan terjadi saat ini saja, tapi juga terjadi pada masa-masa presiden sebelumnya. Namun, tak banyak orang mengetahui jika Indonesia sebenarnya sudah pernah memindahan ibu kotanya, bahkan sudah sampai 3 kali. Pindahnya Ibu kota Indonesia sampai 3 kali ternyata ada fakta sejarah di balik itu semua.
1. Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta).
Pada 4 Januari 1946, Ibu kota Indonesia pindah ke Yogyakarta. Pemindahan pusat pemerintahan ke Kota Gudeg ini bukan tanpa alasan. Saat itu, Belanda melancarkan agresi militer karena masih belum rela Indonesia lepas dari jajahannya. Kala itu, keamanan Jakarta sebagai Ibu Kota pun terancam dengan kedatangan tentara Belanda yang membonceng pasukan Sekutu. Karena Jakarta terancam serangan agresi militer Belanda maka Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pakualam VIII menyarankan agar Ibu kota pindah ke Yogyakarta pada 2 Januari 1946. Dan pada 4 Januari Ibu kota NKRI resmi pindah ke Yogyakarta.
2. Bukittinggi (Sumatera Barat).
Setelah Yogyakarta, Ibu kota Indonesia sempat juga dipindah ke Bukittinggi, Sumatra Barat pada tanggal 19 Desember 1948. Hal ini dilakukan setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Pemilihan Bukittinggi sebagai ibu kota ini juga bukan tanpa alasan. Sebab, di sana ada Sjafrudin Prawiranegara yang memang disiapkan untuk memimpin PDRI jika para pemimpin pemerintahan tertangkap.
Sama seperti Yogyakarta, Bukittinggi juga dikelilingi oleh benteng alam. Ada Gunung Marapi di barat, Gunung Singgalang di selatan, serta Lembah Sianok di utara dan barat. Benteng-benteng alam ini tentu dapat melindungi ibu kota sekaligus pertahanan dari serangan militer musuh.
3. Bireun (Aceh).
Kota Bireun, Aceh pernah dipilih sebagai Ibu kota Indonesia pada tahun 1948. Bireuen dipilih sebagai Ibu kota karena dianggap relatif aman. Apalagi secara geografis, Bireuen juga dikelilingi perbukitan yang menjadi benteng alam untuk melindungi pusat pemerintahan dari serangan musuh.
Meski begitu, Bireuen menjadi ibu kota hanya seminggu. Selama seminggu itu, sejak 18 Juni 1948, seluruh aktivitas dan kegiatan pemerintahan tetap dijalankan dan dipusatkan di jantung kota.Selama itu, Presiden Sukarno menginap di kediaman Kolonel Hussein Joesoef di Bireuen. Dari rumah itu pula Sukarno atau Bung Karno mengendalikan roda pemerintahan.