Brilio.net - Hidup tenang, damai, dan penuh rasa syukur memang tidak mudah. Kita terkadang lupa cara mensyukuri hidup dan membanding-bandingkannya dengan hidup orang lain. Bahkan, ada orang yang tega menghabisi nyawa anak lalu bunuh diri gara-gara terhimpit masalah ekonomi.
Kisah yang dialami bocah berusia 11 tahun penderita leukimia ini mungkin bisa mengingatkan kita bagaimana cara mensyukuri hidup. Pada tahun 2013, Shi Luyao asal Guizhou, China didiagnosa menderita penyakit leukemia limfositik akut yang hanya bisa disembuhkan dengan kemoterapi jangka panjang dan dipantau melalui biopsi sumsum tulang.
BACA JUGA :
Bocah ini panjangkan rambut selama 2 tahun, alasannya bikin salut
Pengobatan Luyao ditanggung oleh asuransi hanya sebagian akibat keluarganya harus berpindah kota karena urusan pekerjaan. Apalagi mencari bantuan dana untuk pengobatan kanker di China bukanlah perkara mudah. Bahkan, ayah Luyao terpaksa mencari pinjaman sebesar Rp 389 juta untuk membayar pengobatan putranya itu.
Usai menjalani kemoterapi, Luyao kembali ke kampung halamannya pada Agustus tahun lalu. Tahapan penyembuhan berikutnya yaitu biopsi sumsum tulang untuk memonitor kondisinya di rumah sakit di Kunning yang berjarak 400 km. Luyao biasanya berangkat ke RS sendirian dengan naik bus jurusan kota Liupanshui. Setelah itu, ia ganti angkutan kereta menuju Kunning.
Dikutip brilio.net dari shanghaiist, Minggu (9/10), Luyao mengisahkan dirinya harus menunggu kereta selama enam jam. Ia juga terkadang harus menahan tangis karena tak ingin orang lain iba melihat dirinya melakukan perjalanan jauh sendirian.
BACA JUGA :
Kisah Sallyana mengembalikan senyum anak-anak penderita kanker
Dalam prosedur biopsi sumsum tulang, pasien biasanya disarankan untuk beristirahat selama beberapa jam di tempat tidur usai menjalani treatment. Namun, Luyao langsung bergegas pulang sesaat setelah pengobatan selesai. Alasannya, ia tak ingin terlambat berangkat ke sekolah.
Sebenarnya ia bisa saja menunggu bus keesokan paginya. Akan tetapi, Luyao memilih pulang di malam hari karena itulah satu-satunya cara agar dia bisa berangkat sekolah tepat waktu. "Aku tak ingat berapa kali aku melihat matahari terbit di stasiun," kata dia sambil menitikkan air mata.
Selama kemoterapi, ia terpaksa meninggalkan sekolah selama dua tahun. Untuk menyiasati agar tidak ketinggalan pelajaran, Luyao meminjam buku teman-temannya untuk belajar sendiri di rumah. Meski sedang menjalani masa-masa sulit bagi penderita kanker, Luyao tidak pernah patah semangat untuk belajar.
Kemudian, ia membujuk kakeknya agar memperbolehkan dirinya untuk sekolah. Prestasi Luyao di sekolah juga semakin meningkat. Gurunya pun mengaku terkesan dengan semangat Luyao dan berencana untuk memberikan kelas privat untuknya.
Menurut dokter, pengobatan Luyao masih akan berlanjut dua tahun lagi. Waktu yang cukup lama dan berat bagi penderita kanker. Apalagi di usia seperti Luyao yang masih muda, ia harus berjuang melawan kanker seumur hidupnya tanpa sedikit pun menyerah dengan keadaan.