Brilio.net - Sejak merebaknya virus Corona di sejumlah negara, banyak aktivitas warga yang terganggu. Acara-acara penting pun terpaksa harus ditunda hingga dibatalkan karena virus Corona atau Covid-19. Bahkan sejumlah daerah di Indonesia telah melakukan tindakan lockdown local. Hal ini pun berdampak pada sejumlah acara-acara yang sebelumnya sudah direncanakan, termasuk acara pernikahan.
Salah satunya terjadi pada rombongan pengantin laki-laki dari Lampung yang baru saja tiba di Desa Gunungwuled, Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga, Sabtu (28/3) malam. Namun, bukan sambutan karpet merah yang mereka jumpai. Mereka justru diadang para pemuda di gerbang desa, yang difungsikan sebagai posko Corona.
BACA JUGA :
Viral detik-detik polisi marah-marah bubarkan arisan warga
Rombongan calon pengantin tak tahu bahwa Gunungwuled telah lockdown. Lalu lintas warga dijaga ketat. Mereka akhirnya digiring ke Posko Penanggulangan Covid-19 di balai desa setelah melalui serangkaian protokol kesehatan.
"Kami sedang pikirkan bagaimana ijab kabul tetap terselenggara tanpa ada kerumunan," ucap Kepala Desa Gunungwuled, Nashirudin Latif, seperti dikutip brilio.net dari liputan6.com, Senin (30/3).
Penjagaan ketat itu bukan ulah preman kampung, tetapi kebijakan resmi pemerintah desa. Kepala Desa Gunungwuled nekat melawan arus kebijakan presiden dengan menutup akses ke desa terletak di ujung timur Purbalingga ini.
BACA JUGA :
Aksi petugas medis main TikTok hilangkan penat di tengah wabah corona
"Untuk keselamatan warga, saya berani berdebat dengan siapa pun," kata dia.
Kebijakan ini diambil setelah pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19 terkonfirmasi positif. Celakanya, PDP ini dipulangkan sebelum hasil tes swab keluar. Alasannya, kondisi pasien membaik, sehingga ruang isolasi bisa digilir untuk pasien lain.
Di rumah, pasien perempuan 15 tahun yang pulang dari Jakarta ini dijenguk sanak saudara dan tetangga. Terhitung, 80 orang membuat kontak dengan pasien. Mereka tinggal di Dusun VI Desa Gunungwuled.
"Sebanyak 30 KK yang terdiri dari 90 jiwa kami isolasi di rumah, mereka tidak boleh keluar rumah," ujar Nashirudin, menjelaskan kondisi para ODP Covid-19.
foto: liputan6.com/Rudal Afgani Dirgantara
Nashirudin tak mau ambil risiko. Satu dusun itu ia lockdown. Sebagai konsekuensinya, desa membiayai kebutuhan pangan 90 orang itu selama 14 hari.
"Satu orang dijatah Rp 50 ribu per hari," kata dia.
Dana diambil dari anggaran cadangan bencana sebesar Rp 25 juta. Sebanyak Rp 21 juta sudah dialokasikan untuk kompensasi warga terisolasi.
"Warga Dusun VI ada 245 KK, sekarang yang 215 KK sedang meminta kompensasi yang sama dengan 30 KK yang berstatus ODP karena ikut terisolasi," ujar dia mengeluh.
Permasalahan warga bukan saja di Kadus VI. Nashirudin juga mengeluhkan kebijakan desa tetangga yang menutup akses jalan, sehingga satu dusun di Gunungwuled terisolir.
Ada dua desa yang harus dilewati sebelum sampai ke Gunungwuled. Dan keduanya menutup akses jalan karena tak mau ada warganya yang tertular.
"Warga kami sedang berusaha membantu warga lain dengan mengisolasi diri di rumah agar warga yang lain tidak tertular. Kami berharap dalam kondisi seperti ini kita saling membantu," ujar dia.
Belum lagi diskriminasi yang dialami warganya ketika memeriksakan diri ke Puskesmas. Nashirudin menangkap ada kekhawatiran petugas kesehatan ketika memeriksa kondisi ODP. Imbasnya, warga tidak mendapatkan pelayanan yang memadai.
"Kami sadar petugas kesehatan garda terdepan penanganan Covid-19, tapi warga juga berhak mendapat pelayanan," ujar dia.