Sebelumnya Ngadenin tinggal di pinggir jalan raya yang berada persis di belakang warung sate miliknya.
"Saya kan tadinya (tinggal) di depan pinggir jalan, saya beli, saya bangun (rumah dan warung sate)," dikutip dari liputan6.com, Selasa (11/7).
BACA JUGA :
Kisah pilu Ahmad Juwanto remaja di Cipayung berbobot 230 kg, cuma bisa terbaring dan berhenti sekolah
foto: YouTube/ALE Coward
Warung Ngadenin kala itu berdekatan dengan warung ayam bakar milik tetangganya yang sekarang sudah dijual ke pihak hotel. Ia juga mengaku dipaksa pihak hotel untuk menjual rumah dan warungnya dengan disertai ancaman.
BACA JUGA :
Kisah pilu tukang becak pulang kerja temukan rumahnya habis dilalap api, banjir doa dan donasi
"Kalau enggak mau jual ke dia (pihak hotel), nanti saya ditakut-takuti akan dikurung, ditutup (akses jalan) akhirnya saya nyerah," kata Ngadenin.
Sebenarnya Ngadenin enggan menjual rumah dan lapaknya lantaran ditawar dengan harga rendah. Namun karena takut dengan ancaman pihak hotel, akhirnya ia pun terpaksa menjualnya.
"Ditawar harganya sangat rendah, tidak sesuai kalau buat beli rumah pengganti nggak dapat, setengah saja nggak dapat," ungkapnya.
foto: YouTube/ALE Coward
Dengan uang hasil penjualan tersebut, Ngadenin kemudian membeli rumah yang tak jauh dari kediamannya semula. Sang pemilik rumah sebelumnya sempat berujar, bahwa tanah sekitar merupakan tanah wakaf.
Namun, setelah sekitar 10 tahun menempati rumah tersebut, Ngadenin baru mengetahui jika akses jalan depan rumahnya ternyata telah dikuasai oleh pihak hotel.
"Saya beli disini awalnya ada jalan, katanya sudah diwakafkan. Tapi akhirnya dijual semua ke hotel sama jalannya saya enggak tahu," ujarnya.
Akhirnya, akses jalan di samping sampai depan rumah Ngadenin tertutup tembok seiring dimulainya pembangunan hotel di lokasi tersebut. Selama berbulan-bulan, ia dan sang istri terpaksa melewati saluran air got sebagai satu-satunya akses jalan menuju rumah.
foto: YouTube/ALE Coward
Ngadenin mengaku sempat berkomunikasi dengan pihak hotel dan ditawarkan sistem tukar guling alias menukar rumahnya dengan yang disediakan pihak hotel. Namun, ia menolak karena selain lokasi yang jauh, kondisi rumah yang ditawarkan juga rusak serta rawan banjir.
"Saya sudah tidak nyaman lagi menempati rumah milik saya sendiri. Saat ini, saya terpaksa tinggal di warung karena sudah tidak memungkinkan untuk kembali ke rumah," keluhnya.
Sampai saat ini, diketahui pihak pemerintah setempat belum bisa menyelesaikan permasalahan ini. Ngadenin pun berharap pemerintah daerah bisa turun tangan mencari solusi untuknya dan istri agar bisa menikmati hari tua dengan nyaman.