Brilio.net - Kain tradisional Indonesia seperti tenun ternyata memiliki nilai artistik yang tinggi. Namun tidak semua orang berkeinginan memiliki tenun. Pasalnya, kebanyakan orang berpikir harga tenun tidaklah murah, bahkan dianggap selangit.
Walau demikian, atas kecintaannya terhadap tenun, sebagian orang rela merogoh kocek dalam. Salah satunya adalah Melanie Wibowo-Dharmosetio. Ketertarikannya terhadap tenun sejak dia kecil.
Dia sering membuat baju rancangan sendiri sejak umur 12 tahun. Hasilnya dia gunakan dalam pertunjukan piano. Tak jarang pula temannya meminjam baju-baju kreasinya. Saya senang lihat tenun karena memiliki jiwa. Mereka (tenun) seperti berkomunikasi dengan saya, ucap Melanie Wibowo-Dharmosetio.
Setelah menghabiskan waktu 26 tahun bekerja di korporasi, Melanie memutuskan pensiun. Ia kembali menekuni tenun. Secara finansial memang tidak seberapa, tapi saya mengerjakan panggilan hati saya untuk kembali pada tenun, papar anggota Komunitas Desainer Etnik Indonesia itu.
Kedatangan Melanie ke pameran Cerita Tenun Tangan dengan tema Weaving for Life di Bentara Budaya Jakarta, belum lama ini membuatnya gembira. Bagi Melanie, piknik adalah menikmati berbagai motif tenun seperti motif dari Nusa Tenggara Timur. Melalui rancangannya, Melanie berkeinginan mempengaruhi para ibu agar mau menggunakan kain tradisional dan merasa mudah menggunakannya.
Ada tanggung jawab sosial kepada pengguna tenun, penenun, dan pekerja teknik seperti penjahit, jelasnya.
Serupa dengan Melanie, kecintaan Mari Tanakura terhadap tenun telah berlangsung sejak 20 tahun yang lalu. Dia mengunjungi Bali dan melihat tenun ikat di sana. Kini dia telah menetap di Indonesia sekitar dua setengah tahun mengikuti pekerjaan suaminya. Bagi Mari, tradisi tenun tidaklah jauh darinya.
Kebanyakan orang Jepang sudah memahami tenun. Kami sangat menghormati keterampilan dengan teknik yang tinggi, ucap ibu rumah tangga itu.
Menurut Mari, tenun di Jepang jauh lebih mahal dibanding tenun di Indonesia. Tingginya biaya tenaga kerja membuat biaya produksi tenun di Jepang menjadi tinggi. Kondisi sebaliknya terjadi di Indonesia.
Saya suka beli tenun untuk oleh-oleh. Ketika saya kasih tahu berapa harga kain tenun tersebut, mereka kaget sekali bagaimana bisa semurah ini, katanya.
Selain Melanie dan Mari, Michela salah satu pengunjung Pameran Tenun Tangan ini juga datang dengan sangat antusias.
Selain menikmati keindahan tenun dengan mengunjungi pameran, Michela berhasrat untuk mempelajari seluk beluk tenun. Dia bertanya makna dan sejarah di balik setiap kain tenun yang dijumpainya. Ia membeli stagen sepanjang lima meter untuk diperkenalkan kepada teman dan keluarganya di Italia.
Saya bangga dengan penenun. Dengan segala keterbatasan ekonomi dan teknologi, mereka mampu menghasilkan karya yang sangat cantik dan rumit, jelas arsitek yang juga pemilik usaha tekstil. Dia berharap pameran seperti ini rutin diadakan tiga sampai empat bulan sekali.