Brilio.net - Film Indonesia mulai berkembang dengan pesat. Film karya anak bangsa saling bersaing untuk merebut posisi terbaik di dunia perfilman. Mereka membuat karya dengan semaksimal mungkin untuk menghasilkan film yang keren.
Kualitas dari film Indonesia turut mendapat apresiasi dari pecinta film mancanegara. Kerja keras sineas perfilman Tanah Air mendapat pengakuan di kancah mancanegara. Tak bisa dianggap remeh, sudah banyak film Indonesia yang meraih penghargaan di luar negeri.
Di balik penghargaan dari kancah internasional, sederet film Indonesia ini justru menyimpan kisah kelam di negeri sendiri. Beberapa film yang dianggap sangat berbobot di luar negeri, justru tak diizinkan tayang di Tanah Air. Beberapa alasan menyebutkan bahwa film-film tersebut tak sesuai dengan norma dan nilai yang ada di Indonesia.
Sebagian film Indonesia ini menyimpan kisah kontroversial. Tak sedikit pengamat yang menilai akan jadi masalah jika film-film tersebut tayang di Indonesia. Namun ada pula yang memang sengaja tidak ditayangkan di Indonesia. Dengan alasan bahwa film tersebut merupakan film festival sehingga tidak bisa dikomersilkan.
Film-film yang tak dapat disaksikan di bioskop Indonesia ini justru meraih popularitas di kancah internasional. Bisa dikatakan sangat sukses dan bahkan sangat diidolakan di luar negeri.
Film Indonesia apa saja yang tak tayang di Tanah Air? Berikut brilio.net himpun dari berbagai sumber, Kamis (15/11).
1.Lady Terminator (1989).
foto: imdb.com
Melihat dari judulnya, orang tidak akan menyangka kalau ini adalah film garapan Indonesia. Jika kamu melihat cuplikannya, kamu semakin yakin kalau ini bukan film Indonesia. Namun percayalah, film garapan sutradara Tjut Djalil ini, merupakan film Indonesia. Lady Terminator merupakan sebuah kisah yang menceritakan tentang pembalasan Ratu Kidul.
Tahu kah kamu? tadinya film ini dicekal di Indonesia, justru malah go internasional. Namun setelah 5 tahun, akhirnya film ini diizinkan untuk tayang di Indonesia. Pastinya kamu tidak akan bisa melihat secara full setiap adegannya. Pasalnya, sebelum ditayangkan di Indonesia film ini harus lulus sensor terlebih dahulu. Kini, film Lady Terminator hanya bisa dinikmati dengan durasi 80 menit.
Alasan terkuat film Lady Terminator dicekal di Indonesia karena film ini mengandung unsur kekerasan,dan pornografi. Walaupun dicekal di negara sendiri, film ini mendapat menghargaan dikancah internasional. Bahkan sebelumnya, dikatakan film ini terlebih dahulu tampil di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Thailand, Jepang, Perancis dan Italia.
2. Merdeka 17085 (2001).
foto: wikipedia.org
Merdeka 17085 ini merupakan film kolaborasi antara rumah produksi Jepang yang bernama Toho dan Rapi film Indonesia. Jika kamu menyukai kisah-kisah sejarah, film satu ini bisa menjadi tontonan wajibmu. Dalam Merdeka 17085 ini mengisahkan kisah dramatis tentara Jepang yang ikut dalam perang kemerdekaan Indonesia.
Sayangnya, film ini tak diizinkan tayang di Indonesia, dengan alasan dapat melukai perasaan orang Indonesia dan merusak persahabatan antar kedua negara, Jepang dan Indonesia. Selain itu film ini dianggap menyimpang dari sejarah yang sebenarnya. Belum lagi lagu 'Indonesia Raya' dinyanyikan dengan cara yang tidak sesuai.
Meski dikecal di negara sendiri, film Merdeka 17085 yang dibintangi oleh Lola Amaria, Yamada, Muhammad Iqbal, Naoki Hosaka dan Yamada ini justru meraih penghargaan di luar negeri. Film ini sukses di Jepang, serta meraup pendapatan 550 ribu yuan atau sekitar Rp 1 miliar.
3. Babi Buta yang Ingin Terbang (2008).
foto: kineruku.com
Babi Buta yang Ingin Terbang ini di luar negeri berjudul Blind Pig Who Wants To Fly adalah film drama dari Indonesia yang dirilis 2008 dengan disutradarai oleh Edwin dan dibintangi oleh Ladya Cheryl dan Pong Hardjatmo.
Film Babi Buta yang Ingin terbang garapan Edwin ini adalah film yang menceritakan gambaran etnis Tionghoa di Indonesia yang diwakili oleh beberapa tokoh di dalamnya. Film yang berdurasi 77 menit ini menyampaikan mozaik dan gambaran dari 8 karakter serta cerita bagaimana menjadi seorang keturunan Tionghoa di Indonesia.
Penghargaan untuk film ini sudah banyak diraih, seperti Rotterdam International Film Festival 2009 (Fipresci Prize), Singapore International Film Festival 2009 (Fipresci/Netpac Award), Pusan International Film Festival 2008 (Nominated New Currents Award), Nantes Three Continets Festival 2009 (Young Audience Award),dan Jakarta International Film Festival 2009 (Best Director).
4. Parts of The Heart (2012).
foto: fanpage Parts of The Heart
Parts of the Heart bercerita tentang kehidupan Peter, seorang pria homoseksual yang tinggal di Jakarta. Untuk menceritakan kisah Peter mulai umur 10 hingga 40 tahun, sang sutradara Paul Agusta membagi kisahnya menjadi delapan bab.
Mulai dari cinta pertamanya (Stolen Kiss), pengalaman seksual pertama (The Game Kiss), kematian pacarnya (Solace), putus hubungan (Club Virgin), tekanan sosial (The Last Time), hingga konflik-konflik dalam hubungan jangka panjang (3 dan The Couch and the Cat). Puncaknya, beberapa tahun setelah menikah dengan seorang perempuan, Peter malah tergoda oleh pria lain. Ia pun lalu mempertanyakan kembali komitmennya.
Film ini pun mendapat banyak apresiasi di luar negeri, salah satunya di Festival Film Internasional Rotterdam 2012.
5. Act of Killing (2012).
foto: imdb.com
Film ini menceritakan sisi lain dari kehidupan pascatragedi G30S/PKI. Walupun mengisahkan tentang Indonesia, film ini bukan merupakan garapan orang Indonesia, melainkan garapan sutradara asal Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer.
Film ini bisa dibilang sebagai film paling kontroversial di Indonesia. Rasanya hal itu memang sangat pantas di sematkan untuk film 'Act of Killing' ini. Didalam film ini mengisahkan bagimana masyarakat yang dianggap PKI dan dihukum tanpa pengadilan oleh sebuah ormas di Medan, Sumatra Utara. Tak hanya itu, sang sutradara membuat drama di mana si pelaku dan narasumber mau merekonstruksi perbuatannya ketika menyiksa terduga anggota PKI.
Film yang meraih nominasi Academy Award dan memenangkan BAFTA 2014 ini tak diizinkan tayang di Indonesia. Biasanya film ini hanya ditayangkan dibeberapa komunitas dan lembaga-lembaga HAM. Alasan 'Act of Killing' tak diizinkan tayang di Indonesia adalah dikhawatirkan dapat membangkitkan jiwa komunisme.
6. Something in The Way (2013).
foto: youtube.com
Film dari Teddy Soeriaatmadja berjudul Something in The Way menjadi sorotan. Sang sutradara Teddy sendiri telah menyabet sebagai sutradara terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2006 dan 2009, ini memang sengaja tak ditayangkan di bioskop Indonesia. Dengan mengangkat tema seksualitas, agama, dan kemunafikan yang menggunakan visualisasi yang agak vulgar, Teddy sadar jika filmnya ini akan menjadi sasaran empuk lembaga Sensor Film (LSF).
Film dengan bintang utama Reza Rahardian dan Ratu Felisha ini berkisah tentang Ahmad (Reza Rahardian) yang digambarkan alim tapi suka membeli DVD porno dan masturbasi. Sementara tetangganya, Kinar (Ratu Felisha) yang bekerja sebagai pekerja seks komersial membuatnya jatuh hati. Ahmad pun melakukan berbagai hal agar Kinar bisa lepas dari cengkeraman mucikari yang membuatnya harus terus menjadi pekerja seks.
Film ini menorehkan prestasi dengan masuk world premiere dalam Berlin International Film Festival (Berlinale) ke-63 pada tahun 2013.
7. About A Woman (2014).
foto: youtube.com
Sama seperti film pendahulunya, Something in The Way, film buatan Teddy Soeriaatmadja ini memang sengaja tidak ingin ditayangkan di bioskop Indonesia karena tak mau filmnya itu dipotong LSF yang akhirnya mengurangi esensi film.
Film ini bercerita tentang seorang janda 65 tahun yang diperankan Tutie Kirana. Ia merasa kesepian setelah ditinggal pembantunya. Anaknya yang telah tinggal tak bersamanya lalu mengirimkan Abi (Rendy Ahmad) yang baru lulus SMA untuk mengurus dan menemani si janda. Namun sejak mereka tinggal bersama, si janda dan Abi mulai merubah pandangan satu sama lain. Perlahan ikatan kasih sayang muncul di antara mereka. Seksualitas, agama dan kemunafikan tetap menjadi pokok perbincangan film tersebut seperti dua film Teddy sebelumnya, Levely Man dan Something in the Way.
Film itu pun mendapat apresiasi besar di luar negeri. Pada akhir tahun 2014 terpilih untuk diputar World Premiere di Singapore International Film Festival 2014.
8. The Sun, The Moon, and The Hurricane (2014).
foto: schemamag.ca
Film garapan Andri Cung ini mengisahkan tentang kegelisahan seorang pria berumur 32 tahun, Rain (William Tjokro) yang telah bertahun-tahun diendapkan tapi belum menemukan jawabannya. Hingga akhirnya ia menyadari jika telah merasa kehilangan Kris (Natalius Chendana), sahabat SMA yang pernah menolongnya.
Film ini bercerita tentang kisah Rain menemukan jati dirinya sebagai homoseksual. Ia sadar sejak SMA jika menyukai Kris, tapi perasaan itu ditahannya. Akhirnya ia harus menerima undangan dari Kris yang akan menikah dengan wanita di Bali, dan bagi Rain semua sudah terlambat.
Film ini sengaja tak ditayangkan di bioskop Indonesia karena isu yang diangkat sudah pasti akan menimbulkan pro dan kontra. Film yang tayang perdana nasional pada Jogja-Netpac Asian Film Festival 2014 tersebut mendapat penghargan sebagai Official Selection dan nominasi sutradara baru terbaik pada Vancouver International Film Festival 2014.
9. Siti (2014).
foto: viff.org
Beberapa waktu lalu film ini menjadi bahan perbincangan lantaran menyabet penghargaan film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2015 padahal belum tayang komersil di bioskop Indonesia. Siti, film garapan Eddie Cahyono ini memotret kehidupan perempuan yang harus menjadi pemandu karaoke kelas bawah di sekitar Parangtritis Yogyakarta.
Saat Siti bekerja sebagai pemandu karaoke, suaminya Bagus merasa keberatan dan tak mau berbicara kepadanya. Siti pun frustasi dan bimbang hingga seorang polisi hadir dalam kehidupannya, bahkan mengajaknya menikah.
Sempat tak ditayangkan di bioskop Tanah Air. Namun karena menang sebagai film terbaik FFI 2015, film ini akhirnya ditayang di bioskop.
Sebelumnya, film hitam putih ini telah meraih penghargaan sebagai sinematografi terbaik dan naskah film terbaik untuk kategori New Asia Talent Competition di Festival Film Internasional Shanghai 2015.
10. Look of Silence (2015).
foto: imdb.com
Look of Silence merupakan film yang kontroversial di Indonesia. Digarap oleh sutradara yang sama dengan film Act of Killing. Kisah yang diangkat dalam film tersebut dianggap mengkhwatirkan bagi Indonesia. Akhirnya film ini tidak diizinkan tayang di Tanah Air. Hal ini dikarenakan banyak pihak yang kurang senang dengan film garapan Oppenheimer satu ini.
Dalam film Look of Silence menceritakan seorang pria yang bekerja sebagai tukang kacamata. Kakak dari pria tersebut merupakan korban dari ormas tertentu yang menganggap dia simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pria tersebut mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada kakaknya.
Meski tak dicekal di Indonesia, film ini mendapat sambutan hangat di luar negeri bahkan meraih penghargaan di Festival Film Venice.