Brilio.net - Bisa dibilang, kebanyakan bioskop hari ini serupa dengan toko serba ada. Mereka menjanjikan produk film terbaik mancanegara maupun lokal yang bisa memuaskan sebanyak mungkin audiens.
Kegiatan menonton di bioskop pun jadi terkesan membosankan dan repetitif: penonton membeli tiket dan camilan, duduk dan menonton, lalu pulang setelahnya. Tak ada interaksi antar audiens dan pembuat film.
BACA JUGA :
Belajar mengaji Alquran dengan bahasa isyarat bersama Komunitas Muslim Tuli Yogyakarta
Namun, Klub DIY Menonton (KDM) Cinema tak puas dengan kondisi itu. Komunitas yang berdiri sejak 2016 ini menghadirkan format lain. Mereka pengin bioskop tak hanya jadi sekadar ruang untuk menonton, akan tetapi juga interaksi antara audiens dan filmmaker.
Hal tersebut dapat dilihat pada bioskop yang mereka gelar pada Sabtu (9/9) lalu. Di Sleman Creative Space, KDM Cinema menggelar screening film Tak Ada yang Gila di Kota Ini, film pendek yang meraih penghargaan di pagelaran Festival Film Indonesia 2019.
BACA JUGA :
Komunitas adalah kelompok sosial, ketahui manfaat dan jenisnya
foto: Brilio.net/Sidratul Muntaha
Meskipun populer di festival, film tersebut tak bisa digolongkan sebagai arus utama. Karenanya, audiensnya pun tak sebanyak film bioskop mainstream pada umumnya. Kendati demikian, antusiasme beberapa orang yang berhimpun di ruangan kecil untuk menonton film tersebut tak bisa diremehkan.
Hal tersebut dapat dilihat dari interaksi yang padat pascapemutaran film. Diskusi itu bahkan menghadirkan sang sutradara, Wregas Bhanuteja. Ia hadir secara daring sebab saat itu dirinya sedang berada di Toronto, dalam rangka screening filmnya Budi Pekerti di Toronto International Film Festival (TIFF).
Memang, salah satu tujuan komunitas tersebut adalah sebagai ruang pertemuan antara filmmaker dan audiens. Hal tersebut diungkapkan Suluh Pamuji saat ditemui brilio.net pada Jumat (15/9).
Lagipula, tambah Suluh, KDM tak pernah mengandaikan dirinya sebagai 'toko serba ada'. "Mungkin sekarang bioskop konvensional kayak toko serba ada. Kita menganggap semuanya ada di sana, padahal ada produk yang diinginkan audiens dan tidak ada di situ," ujarnya.
Dalam hal ini, produk tersebut adalah film antimainstream yang mungkin hanya bisa dihadirkan oleh festival film atau bioskop alternatif tertentu.
Untuk menghadirkan berbagai film alternatif itu, KDM Cinema punya beberapa program dengan tujuannya masing-masing. Film Tak Ada yang Gila di Kota Ini, misalnya, diputar dalam program KDM Series. Lewat KDM Series sendiri, komunitas ini ingin mempertemukan filmmaker profesional dengan audiensnya secara terbatas.
foto: Brilio.net/Sidratul Muntaha
Adapun, film yang diputar di sana kebanyakan adalah film yang memenangkan festival tertentu. Kendatipun, bukan penghargaan festival belaka yang membuat film tersebut dipertontonkan. Hanya saja, KDM Cinema memang pengin menampilkan film yang memiliki peminat tertentu, tapi tak terlalu mendapatkan tempat di bioskop konvensional.
"Kalaupun dapat, paling tayang di bioskopnya nggak terlalu lama,"ujar Suluh.
Ada pula program yang mempertemukan filmmaker semi-profesional dengan audiens, misalnya Bioskop Jumat. Adanya label semi-profesional atau profesional sebetulnya bukan untuk memberikan tingkatan-tingkatan tertentu pada filmmaker. Alih-alih, menurut Suluh, KDM Cinema ingin membersamai filmmaker di setiap prosesnya. "Baik itu saat mereka awal berproses maupun saat mereka sudah profesional," tutur Suluh.
Maka dari itu, Bioskop Jumat menjadi lebih rutin dibandingkan KDM Series. Bioskop Jumat diadakan setiap minggu, sementara KDM Series hanya sebatas sebulan sekali. Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa antusiasme filmmaker semi-profesional untuk mempertontonkan karyanya cukup tinggi.
"Ada film dari filmmaker yang memang pengin kita tayangkan, ada juga yang mereka kayak penulis dan pengin nulis di koran: mereka kirim dan redakturnya, atau kami, yang mengkurasi," kata Suluh, memberi ilustrasi.
Penonton Bioskop Jumat pun tak kalah antusias. Digelar di Dinas Kebudayaan, interaksi antara audiens dan filmmaker pun cukup padat. Sekitar setengah jam lebih diskusi berlalu begitu saja. Beberapa audiens memberikan pertanyaan juga respons terhadap filmmaker yang hadir secara daring.
foto: Brilio.net/Sidratul Muntaha
Bertepatan dengan wawancara brilio.net dengan Suluh Pamuji, ada empat film pendek yang dipertontonkan di Bioskop Jumat: Melius Vivere, My Beautiful Money, Facticity, dan Lalu. Pemutaran tersebut dilengkapi dengan diskusi setiap filmmaker.
KDM Cinema juga memiliki program lain yang tak kalah unik. Selain menjadi ruang pertemuan filmmaker dan audiens, KDM juga menghadirkan film untuk masyarakat dan wisatawan.
Film untuk masyarakat dihadirkan melalui program Bioskop Keliling. Film yang ditampilkan di Bioskop Keliling juga bukan film mainstream. Kendati demikian, KDM Cinema mengusahakan film tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat umum.
"Soalnya kami mengasumsikan orang yang nonton di desa tertentu, misalnya, bukan orang yang punya kultur menonton di bioskop, jadinya film yang kami putar pun disesuaikan," tambah Suluh.
foto: Instagram/@klubdiymenonton
Terakhir, ada program Bioskop Sonobudoyo. Bioskop tersebut diperuntukkan untuk wisatawan. Karenanya, beberapa film yang diputar di sana adalah film yang memberikan sedikit deskripsi tentang apa-apa yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Misalnya saja, di September 2023, ada film Di Kaliurang. Film tersebut merupakan dokumenter tentang tempat-tempat bersejarah di Kaliurang yang mulai dilupakan. Adapula Salam Aspal Gronjal, sebuah dokumenter yang merekam komunitas Info Cegatan Jogja.