1. Home
  2. »
  3. Film
6 November 2021 07:15

Rahabi Mandra, dari videografer kawinan ke sutradara Kadet 1947

Pengarah adegan Presiden Joko Widodo naik motor dalam pembukaan Asian Games 2018 ini blak-blakan tentang profesinya di dunia perfilman. Agustin Wahyuningsih

Brilio.net - Kesuksesan bisa menghampiri siapa pun tanpa pandang bulu. Namun untuk bertransformasi menjadi pribadi lebih baik dan cakap dalam suatu bidang, satu langkah kecil, konsistensi, dan semangat melakukan sesuatu akan sangat membantu. Hal ini sedikit banyak seperti ungkapan sutradara Rahabi Mandra saat ditanya apa arti film Kadet 1947 baginya.

" ... terhadap cerita Kadet sendiri bahwa mereka ini adalah bukan siapa-siapa, bukan pahlawan gitu, tidak dilihat, tapi ingin memberi kontribusi, ingin berperan, sehingga setiap saya nulis atau terjun ke Kadet itu saya ngerasa relate sekali sama mereka. Bahwa kita semua itu dari nol. Bahwa kita semua itu bukan siapa-siapa. Dan, bila kita ingin membuktikan diri, ya we got to do our best," kata Rahabi dalam kesempatan wawancara eksklusif dengan brilio.net belum lama ini.

BACA JUGA :
7 Web series Indonesia 2021 di WeTV, Little Mom trending 22 negara


Kadet 1947 berkisah tentang kiprah sekelompok anak muda yang meski mereka tak punya nama besar, nyali dan rasa cinta mereka pada Indonesia tak bisa dianggap sebelah mata. Film arahan Rahabi Mandra dan Aldo Swastia ini sejatinya terinspirasi dari peristiwa bersejarah perjuangan TNI AU membalas balik Belanda setelah adanya Agresi Militer I pada 21 Juli 1947.

View this post on Instagram

A post shared by Film Kadet 1947 (@kadet1947)

Selama berkiprah di dunia perfilman, Rahabi merasa begitu bangga ketika mengarahkan Presiden Joko Widodo beradegan dalam opening Asian Games 2018.

"Itu dahsyat. Itu memorable banget. Gue punya seribu satu cerita lah. Apalagi presiden kita itu humble banget. Ketika pertama kali dateng ke set, ketemu semua kru, kata-kata pertama dia adalah 'Baik, saya mau diapakan saja boleh'. Padahal kita tegang setengah mati, kan Paspampres ngelihatin semua," kata Rahabi setengah berseru lantaran bersemangat menceritakan ulang pengalamannya.

"Saya nanya 'Boleh nggak take-nya dua kali?', 'Nggak boleh lah, masa' naik-turun tangga sampai dua kali tiga kali?', tapi beliau (Presiden Joko Widodo) bilang nggak papa," imbuhnya.

Selain itu, penghargaan di Festival Film Indonesia pada 2017 juga menjadi momen membanggakan bagi Rahabi. Sebab, pada awalnya film Night Bus hanya ingin agar pesannya didengar orang-orang penting untuk mengurangi konflik bersenjata. Namun ia tak menyangka, karyanya diapresiasi sedemikian besarnya.

Kisah Rahabi sebagai sutradara tak selalu manis. Ada momen yang membuatnya tak nyaman namun menjadi pelajaran berarti. Kisah pertama ketika ia menjadi pihak yang tak tegas mengambil keputusan.

"Nggak bisa menentukan (keputusan) itu nyakitin orang lain. Apalagi kerja sama dengan banyak orang," cetus Rahabi.

Rahabi pernah dalam posisi cukup tinggi menyutradarai sebuah karya tapi sulit menentukan keputusan kreatif sehingga berimbas pada kemaslahatan orang banyak.

"Bisa jadi keputusan kreatif kita ini bikin orang begadang dua hari, itu mungkin. Satu keputusan yang bikin orang kehilangan uang dalam jumlah banyak itu mungkin juga. Bikin orang jadi ngutang. Gitu tuh banyak kejadian. Apalagi kalau kita tidak bisa mengambil keputusan, indecisive, bisa panjang urusannya," lanjut Rahabi.

'Tamparan' selanjutnya ialah saat Rahabi menyutradarai sebuah FTV bersama kawannya, Wicaksono Wisnu Legowo, sutradara Turah. Kala mengerjakan proyek non film pertamanya itu, niat hati Rahabi fokus pada kemaslahatan orang. Ia ingin memberi semangat dengan menjalani syuting secepat mungkin, sehingga timnya mendapat banyak waktu istirahat.

"Which is really wrong. Cita-cita sutradara ya bikin bagus filmnya, bukan bikin nyaman krunya. Sebenarnya gitu, kan? Tapi waktu itu, gue setiap ketemu orang bilang, 'Kita syuting cepet, ya? Tenang, ya, nanti kita istirahat banyak, ya. Ayo, guys, kita cepetin!', pikiran gue itu mulu. Terus ditegur sama temen gue itu," kata Rahabi.

Sang kawan menginginkan Rahabi stop menggaungkan pernyataannya untuk kerja cepat, istirahat lebih banyak. Bagi Wicaksono Wisnu, Rahabi bukannya memberi semangat pada kru,malah seperti orangbawel. Mengingat semua kru adalah orang-orang yang terbiasa syuting berhari-hari dan sering begadang, sikap Rahabi dinilai tak membantu apa pun dalam penggarapan film.

"'Kalau lo mau syuting cepet, ini shot list lo coba dikurang-kurangin shot-nya. Tapi kalau lo ngurangin shot-nya, jadi jelek film lo. Jadi lo fokus aja mikirin ceritanya. Gimana caranya kalau lo mau pulang cepet, shot-nya dikurangin tapi hasilnya tetep bagus. Lo sekarang ngomong nih ke Director of Photography-nya, DoP-nya sudah bertahun-tahun kerja, terus lo mondar-mandir ngomong kayak gitu, lo ngarepin dia lari di lokasi syuting? Lari-larian biar cepet gitu atau gimana?'," cerita Rahabi menirukan kata-kata Wicaksono Wisnu.

Sutradara yang karyanyamasuk Official Selection Osaka Film Festival 2015 lewat film 2014 itu pun menimpali, "'Iy-iya, ya, maaf, maaf'. Akhirnya gue minta maaf gitu. Jadi gue belajar banyak."

Film 2014 juga memberikan pelajaran berharga bagi pria yang akrab disapa Abi itu. Ia bekerja sama dengan begitu banyak kru, menggaet aktor ternama, sehingga membuat Rahabi merasa 'besar'.

"Pertama kali mendapat kursi sutradara nyaman banget, monitor gede, nggak perlu lari-larian, karena biasanya astrada lari-larian, ada yang merasa gue terlalu 'besar'. Nyuruh-nyuruh gitu. Marah-marah gitu. Sampai teman gue ngomong, 'Kayaknya kursi sutradara terlalu besar buat lo'," tutur Rahabi yang seketika mawas diri saat itu. Apa yang salah dengan kinerjanya?

Waktu itu ia tak langsung memahami maksud perkataan sang teman. Ia hanya menangkap secara harfiah maksud kursi sutradara terlalu besar untuknya. Hingga akhirnya saat Rahabi hendak duduk di kursi sutradara, ia justru memandangi kursi itu khidmat. Kemudian iamengganti kursi sutradara dengan apple box, yang sering digunakan agar tinggi aktor dan aktris atau objek film tepatsesuai kebutuhan pengambilan gambar. Aksinya ini merupakan tanggapan secara harfiah kritikan sang teman.

"Oke, gue nggak pakai kursi sutradara, gue pakai apple box. Jadi selama syuting selalu dikasih apple box sampai pinggangnya sakit setengah mati," kenang sutradara yang baru merampungkan syuting film komedi Detektif Jaga Jarak itu.

Langkah Rahabi duduk di apple box ternyata justru membawa banyak masukan untuknya. Pasalnya, semua kru mulai dari makeup artist hingga gaffer (orang yang bertanggung jawab perihal teknis pencahayaan dalam film) duduk di apple box pula.

Pengalaman demi pengalaman telah Rahabi cecap. Menurutnya, secara keseluruhan dalam mengerjakan proyek film, seorang sutradara harus punya kemampuan mengelola dua hal.

"Yang penting bukan ego. Kita kalahin ego. Udah deh, jadi sutradara tuh egonya pada tinggi-tinggi. Ketemu sama masukan orang 'Nggak, dong! Gini, dong!' terus lupa sama cerita. Cerita butuhnya apa, lupa. Jadinya egonya gede. Kalahkan egonya. Serve the story, serve the crew. I think itu sih pelajaran yang gue tangkep," tandas Rahabi memungkasi perbincangan dengan brilio.net.

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags