Brilio.net - Perfilman Tanah Air sebentar lagi disemarakkan dengan film drama heroik bertajuk Kadet 1947. Film yang disutradarai Rahabi Mandra dan Aldo Swastia ini siap tempur alias segera tayang di bioskop pada 25 November 2021 mendatang.
Kadet 1947 sejatinya terinspirasi dari peristiwa bersejarah perjuangan TNI AU membalas balik Belanda setelah adanya Agresi Militer I pada 21 Juli 1947. Semua demi mempertahankan kedaulatan NKRI.
BACA JUGA :
Sinopsis film Baby Blues, duet Vino G Bastian & Aurelie Moeremans
Namun cerita sedikit berbeda dalam film garapan Temata Studios ini. Jika biasanya film sejarah perjuangan menyorot sosok pahlawan dengan nama besar sebagai tokoh utama, seperti Soekarno hingga Jenderal Soedirman, Kadet 1947 menempatkan sosok-sosok kadet sebagai sorotan utama.
Para kadet yang tak teridentifikasi secara pasti, namanya tak diingat atau tak bergaung dalam buku sejarah, bukan berarti mereka tak bisa disebut sebagai pejuang. Lewat film Kadet 1947, akan terpapar kiprah sekelompok anak muda yang meski mereka tak punya nama besar, nyali dan rasa cinta mereka pada Indonesia tak boleh diremehkan. Tujuh pemuda yang jadi sorotan utama Kadet 1947 antara lain Mul (Kevin Julio), Adji (Marthino Lio), Sigit (Bisma Karisma), Har (Omara Esteghlal), Tardjo (Wafda Saifan), Kaput (Fajar Nugra), dan Dul (Chicco Kurniawan). Mereka ingin ikut bagian menyerang markas Belanda demi mempertahankan kemerdekaan yang baru dua tahun ditegakkan. Sayangnya, mereka belum mahir mengendalikan pesawat. Penasaran kan, perjuangan mereka?
BACA JUGA :
Angkat sejarah Indonesia, 5 film legendaris ini wajib ditonton ulang
Nah, sembari menunggu film Kadet 1947 tayang di bioskop, brilio.net punya bocoran cerita di balik pembuatan film ini langsung dari salah seorang sutradaranya, Rahabi Mandra. Penyabetpenghargaan Penulis Skenario Adaptasi Terbaik atas karyanya film Night Bus dalam Festival Film Indonesia 2017 ini blak-blakan saat berbincang dengan brilio.net, Rabu (27/10). Simak selengkapnya, yuk!
Hai, Mas Rahabi! Selamat atas dirilisnya film Kadet 1947. Boleh cerita apa yang ingin ditawarkan dari film Kadet 1947? Dan, bagaimana awal mula mengangkat ide ini?
Iya, terima kasih, loh. Gini ... ini tuh datengnya dari sekitar 2019 menuju 2020 akhir tahun. Karena pas 2020 itu kan 75 tahun Indonesia merdeka, banyak ide-ide dari semua kalangan, ya dari pemerintah, swasta juga, semua pengen bikin ide-ide, tapi lalu ada pandemi.
Nah, di awal Desember, aku sama produser Kadet, Mbak Ayi, Celerina Judisari itu kan sempet brainstorming "Kita bikin apa ya buat Indonesia? Buat film apa kira-kira?". Aku sama Mbak Ayi pernah terlibat film juga. Kita pernah bikin film berjudul 2014, taglinenya 'Siapa di Atas Presiden?'. Waktu itu tentang action politik, yang main Maudy Ayunda dan Rizky Nazar. Dari situ, Mbak Ayi bilang, "Jangan yang biasa-biasa dong, Bi. Jangan Bandung Lautan Api lagi, 10 November lagi, bikin apa ya?".
Waktu itu, beberapa bulan sebelumnya aku sempat visit ke Museum Dirgantara (Yogyakarta) terus ngobrol sama AU. Terus mereka nyeritain tentang kadet sebenarnya, walaupun nggak detail. Terus aku bilang ke Mbak Ayi, "Gimana kalau bikin cerita tentang kadet aja?". Dia nimpalin, "Kadet apaan?". Kadet aja orang banyak yang nggak tahu. Lalu diceritakan lebih lanjut (oleh pihak AU) bahwa kadet itu murid penerbang yang ngebom pertama kali. Mereka ngebom aja pakai pesawat rampasan. Mereka juga ada yang nggak bisa terbang tapi harus terbang. Terus ngebomnya juga terbatas tanpa alat persenjataan, jadi bomnya harus dipangku. Jadi, gitulah perjuangan kadet anak muda pada waktu itu. Lalu kami nimpalin, "Wah, itu umur berapa?", dijawab, "Delapan belasan, dua puluhan". Wah, dari situ, kami coba pakai ide kadet itu.
Usut punya usut, sounding ke sana-sini, ternyata itu ada kaitannya dengan Agresi Militer juga, serangan udara gitu. Dan, tokoh-tokoh besar terlibat dalam Kadet itu, seperti Agustinus Adisoetjipto sampai Halim Perdanakusuma, wah itu very exciting. Belum ada ceritanya. Akhirnya ketemu itulah ide yang jarang diketahui orang ini.
Paling penting, film ini relate sama anak-anak muda zaman sekarang. Jadi, ibaratnya kisah millenial zaman dulu untuk ditonton oleh millenial zaman sekarang. Nah, yang mau ditawarkan Kadet 1947 adalah adanya keterkaitan itu dan kisah heroik anak muda. Jadi, begitu nonton Kadet tuh kayak nggak berasa ditawarin sejarah. Kalau ditawarin sejarah kan kayak "Aduh... ", bosan. This time beda. Kita maunya juga angle-nya menyuguhkan rasa mudanya, action-nya, aktifnya anak muda, ya mencari kisah heroik semacam itu.
Bagaimana proses riset kru dan pemain agar bisa mendapatkan setting yang mewakili serta memberikan ruh pada setiap karakternya? Apakah ada semacam briefing, pelatihan, atau pendampingan dari pihak TNI AU?
Itu proses risetnya gini ... buku terbitan tentang kisah ini kan banyak banget, ada yang bilang seperti ini, seperti itu. Nah, itu semua kita coba kumpulkan. Peristiwa bersejarah ini kita kembangkan secara kreatif supaya lebih menarik. Berangkatnya dari situ dulu.
Risetnya sendiri nggak cuman ke Museum Dirgantara, itu awal banget ya. Karena kita tahu betapa harus berhati-hatinya membuat film sejarah, apalagi terkait instansi, lebih-lebih TNI AU tiap tahun melakukan napak tilas terhadap kisah ini, itu udah nggak boleh salah sama sekali. Jadi kita undang TNI AU duluan. Kita kontak dan very intense ngobrol sama Dispen AU. Selama syuting pun mereka datang tiap hari. Selama riset, mereka kita undang berapa kali ya? Hampir nggak kehitung, deh. Udah kayak temen gitu sama temen-temen Dispen AU, tuh.
Lalu, kita melakukan riset visual tahun segitu Maguwo seperti apa, penerbangan seperti apa, baju yang dipakai seperti apa. Kita ngajak sejarawan juga. Ada kawan-kawan dari Jogja, kita undang juga. Selain riset sejarah, kita juga riset bahasa. Bahasa zaman itu seperti apa. Kaitannya dengan yang mau kita praktikkan seperti apa.
Selain pendampingan khusus, kita juga ngalamin yang namanya latihan fisik. Untuk semua pemain, kecuali kru nggak ya, dateng bootcamp latihan bareng Paskhas TNI AU. Mereka di-drilling tapi nggak punya banyak waktu karena harus berangkat syuting. Nggak nyampe seminggu lah, tapi itu pengalaman tidak terlupakan buat para pemain. Nanti kalau ada waktu ngobrol sama pemain, mereka pasti cerita bagian itu. Tapi setelah itu (momen bootcamp), mereka ketemu kita (sutradara dan kru) tuh kayak "Siap! Siap!", kita mikir "Kenapa gitu, ya?". Hahaha. Yang tadinya sipil tuh jadi militer. Wah, bagus, bagus, nih. Hahaha...
foto: Istimewa
Kadet 1947 diproduksi berapa lama? Lokasi syutingnya di mana, dan seberapa banyak kru dan pemain yang terlibat dalam film heroik ini? Sekalian bocoran dong, habis berapa budget untuk produksi film ini?
Produksinya itu kita mulai dari Januari 2020 terus syuting Maret. Habis itu pandemi, jadi harus berhenti total. Kita baru berangkat syuting lagi September. Dan, selesai syuting itu akhir September, awal Oktober. Jadi kalau all in all dari mulai banget persiapan sampai selesai syuting itu sembilan sepuluh bulan. Pra produksinya sendiri dua sampai tiga bulan. Dari Januari, Februari, Maret itu udah sekalian penyusunan naskah, sekalian casting, pra produksi, pandemi, dan seterusnya. Syuting sendiri 27 hari.
Lokasi syutingnya semua di Wonosari, Yogyakarta. Ada lanud, landasan udara Gading, kita 'bangun' Maguwo di sana. Kita ada syuting di Jakarta pas Maret. Itu syuting di studio, green screen buat udaranya, kan. Tapi sempat pandemi, jadinya nggak kepakai. Akhirnya kita ke Wonosari bikin studio untuk lanjutin.
Kalau soal budget itu harus produser yang ngomong, hahaha. Tapi aku cuman bisa kasih bayangan aja, kita ada 200-an kru, pemain dan peran pendukung sampai 20-an orang, figuran ratusan orang. Yang termasuk patut diperhitungkan adalah protokol kesehatan itu yang bikin budget naik. Terus tenaga kesehatan juga ada yang stand by. Terus izin juga harus berkali-kali lipat.
Sama set dan propertinya, kita bikin sangat komprehensif. Kita bener-bener bikin hanggar, ada 12 replika pesawat tempur, lalu perkampungan warga zaman itu juga nggak ada, jadi ya harus dibuat.
Selama proses produksi awal sampai akhirnya siap tayang November nanti, tantangan apa yang Mas Rahabi alami bareng Mas Aldo Swastia?
Pandemi itu sudah jadi one of a thing, ya. Jadi kayak udah banget. Tapi kalau mau ditambah-tambah ya, film bertema sejarah itu, apalagi kita nggak mau sejarah doang yang 'ngomong', tapi mau ada action-nya, itu nggak gampang. Diskusinya kita tuh ibarat jalan di ranjau, kita nggak boleh salah, nggak boleh nyinggung orang, nggak boleh nyinggung sejarah, apalagi ada keluarganya yang masih hidup. Itu lumayan jadi tantangan.
Lalu, kita juga mau mengemas film supaya orang mudah mengonsumsinya. Packagingnya gimana ya untuk menjauh dari kata sejarah itu sebenarnya. Selain itu, gimana menyuguhkan bahwa film ini film yang seru, bisa dinikmati segala kalangan, nggak mau ngeguru-guruin, nggak mau kayak "Oh ini film sejarah yang ada pesan moral", kita mau menjauh dari itu.
Nah, untuk mencapai itu, sejak awal dari naskah sudah kita konsepkan sampai ke produksi, milih pemain, sampai kerja sama dengan Anneth untuk bikin soundtrack-nya. Kita harus mengolah itu. Kita pengen (Kadet 1947) ini sesukses ditonton sebanyak mungkin orang, seperti orang nonton drama cinta-cintaan gitu. Itu tantangan yang besar, sih.
Sebenarnya seberapa mirip kisah di Kadet 1947 dengan kisah riilnya pada peristiwa zaman dulu?
Seberapa mirip? Aku mesti bilang yang kita buat ini terinspirasi dari kisah nyata, bukan berdasarkan atau mengadaptasi. Karena ada interpretasi dari kita (tim film). Para kadet ini meski nyata adanya, orangnya ada, tapi literatur tentang mereka tuh minim. Jadi dari situ harus kita olah. Pengembangan kreatif tersendiri.
Sobat Brilio pengen tahu nih, ada nggak kejadian lucu atau momen nggak terlupakan selama proses produksi Kadet 1947?
Wah, banyak banget! Hahahaha. Apa, ya? Dari ini dulu deh, pemain. Yang nggak terlupakan dari aku, ya, entah kenapa kru dan pemain ngasih (tenaga dan energinya) seribu persen terus. Yang namanya syuting itu ada lemes-lemesnya, capek-capeknya, ada yang harus kita dorong "Ayo dong, semangat" gitu-gitu. Tapi entah kenapa, kru dan pemain ini nawarin lebih terus.
Karena mereka engage juga mungkin ya sama cerita, mereka relate juga, dan ketika sampai di tempat set-nya di Maguwo kayak "Uwow... keren!", seperti hidup pada zamannya, sehingga mereka jadi total. Mungkin juga hal baru bagi mereka yang terbiasa ngerjain drama, komedi, jadi ada sense of belonging yang besar sekali. Ini yang bikin aku sama Aldo nggak habis-habisnya apreciate, bersyukur denger mereka nawarin ini. Bahkan ketika kita bilang ada adegan ini oke, mereka bilang "Boleh nggak sekali lagi? Saya mau ngasih tawaran yang beda", dari pemain itu. Dari kru juga ada yang "Sorry, ada kurang di sini", padahal menurut kita udah oke, kok. Tapi akhirnya, okelah kita lakuin ulang.
Kalau yang lucu-lucu itu ... apa, ya? Kerasanya serius semua ya waktu itu. Kita benar-benar konsentrasi tinggi kalau mau take adegan. Tapi ada momen lucu waktu itu adegan bakar-bakar pesawat. Itu pesawat ada yang kebakar beneran, lho. Harus kita matiin buru-buru. Safety-nya waktu itu lengkap. Tapi sebelum kita matiin apinya, kita tahan dikit karena bagus buat adegan. Setelah take video, baru api kita matikan.
Selain itu, ada satu titik saat aku dan Aldo ngedirect berdua. Kami berdua janji kalau mau ngadep pemain dan kru buat ngedirection, harus satu suara, nggak boleh dua. Jadi, kami nggak boleh debat di depan mereka karena mereka nanti bingung ikut yang mana. Kalau ada disagree, kami minggir dulu.
Nah, kejadian waktu itu ada shot yang kami berdua bingung koreksinya. Jadi kalau sutradara kan kerjanya ngoreksi ya, ketika action kelar, apa yang harus dikoreksi harus segera dilakukan, lalu kita balik ke monitor. Ada satu shot koreksinya bingung sewaktu shotnya Givina Lukita dan Bisma. Kita berdua oke tapi belum oke rasanya. Revisinya sekitar apa itu bingung, tapi dikejar waktu. Terus kita berdua lari ke set, sampai set belum tahu apa ya koreksinya. Jadi kita berdua datengnya pelan-pelan sambil mikir "Apa ya, yang kurang?". Sampai depan set, semua orang kru dan pemain pada ngelihatin kita berdua. Mereka nungguin. Biasanya kita berdua lantang, tapi waktu itu kita malah diem, bengong lihat bawah. Kita balik badan masih diem. Dikiranya "Pada ngapain sih dua sutradara ini?" hahaha. Ketika ditanya revisinya apa, kita jawab "Nggak tahu", langsung pecah diketawain. Hahaha. Akhirnya, ya bisa-bisanya sutradara, kayak "Kita take lagi aja, deh. Lebih lagi aja", tapi lebih lagi aja apa tuh juga nggak tahu. Hahahaha. Direct berdua itu memang banyak lucunya.
foto: Istimewa
Mas Rahabi dan Mas Aldo sohib banget, ya? Lalu porsi menggarap proyek Kadet 1947 ini gimana?
Sohib atau nggak, latar belakangnya itu kita satu kuliah tapi bukan temen nongkrong, cuman kenal aja. Terus masuk industri film, beberapa kali kita sharing informasi. Sampai satu titik, pas Asian Games 2018 karena waktunya sangat singkat bikin Pak Jokowi naik motor itu, jadi butuh co-director, terus aku ajak Aldo. Itu pertama kali kami kerja sama. Aku yang direct, Aldo co-director.
Nah, dari situ kita ternyata klik banget. Background-nya mirip, cara berpikirnya mirip, doyan main game-nya mirip, jadi semacam nemu soulmate. Dan, Aldo itu salah satu orang yang really composed, apa ya ... kalem dan egonya itu rendah sekali. Dia bener-bener mikirin orang, empatinya besar. Jadi bisa kerja sama. Kan, biasanya sutradara itu ego besar bersama ego besar, bubar, nggak ada bisa kerja sama gitu. Sementara aku ya suka mendengarkan tapi egoku lebih besar dari Aldo. Itu kayaknya yang bikin kami nyambung. Sejak dari Asian Games sudah nyambung, akhirnya di Kadet ini kerja sama, ternyata ya itu ... soulmate. Nyambung banget. Yang ada di pikiranku dia bisa lanjutin. Yang ada di pikiran dia, aku bisa lanjutin. Jadi kalau absen salah satunya, bisa diisi langsung.
Selama ini nggak pernah ada conflicting. Dari kru misalnya "Loh, si Aldo tadi bilang gini? Loh, tadi si Abi bilang gini?" itu nggak pernah kejadian. Lucunya seperti itu. Kalaupun ada, bisa langsung ketemu (solusinya). Nggak pernah ada berantem gitu.
Soal porsi, kami sama-sama menulis skenario dan menyutradarai. Porsinya sama, nggak ada yang lebih besar dan lebih kecil. Jadi saling merevisi. Tadinya kita sempat bagi, "Aku nulis yang halaman satu sampai setengah, ya. Dari setengah ke akhir bagianmu ya", tapi akhirnya blending. Sama halnya ketika directing, awalnya kita bagi berdasar divisinya, "Kamu bagian sinematografi sama art-nya termasuk makeup sama kostum, aku bagian aktingnya, ya", seenggaknya untuk kreatifnya, tapi akhirnya itu blending. Jadi, yang kita bagi itu manajerialnya. HoD atau Head of Department mana silakan ke Aldo, casting ke Abi, misalnya. Tapi kadang juga tukeran karena kita butuh ngeblend. Jangan sampai jadi berkubu, kan. Karena sudah solid, jadi kompak. Sampai yang lain pada sebel terus bilang "Nih Aldo sama Abi kompak banget, sih?". Kita makan kuaci aja bareng, tuh! Hahahaha.
Sudah masuk masa promosi Kadet 1947, nih. November serentak tayang di bioskop. Ada rencana promosi roadshow ke kota-kota lain? Ada agenda ke AAU Jogja, dong?
Iya, nanti ada roadshow antarkota. Efektifnya di bulan November. Kita mau ke Jogja juga. Kita pasti ke AAU, sudah diagendakan. Sejauh ini, tapi harus dikroscek ke tim promosinya, yang aku tahu ada Jogja, Surabaya, Makassar, Bandung, Jakarta.
Buat Mas Rahabi tuh, Kadet 1947 bermakna apa?
Waduh, duh, dalem banget pertanyaannya, ya. Hahaha.
Kadet, ya? Kadet itu film keduaku. Pertama itu (film) 2014. Dalam hal ini ngedirect, ya. Jadi, maknanya beda. Kalau di festival-festival itu debut sutradara dilihat dari film pertama dan kedua. Film kedua masih dianggap debut. Dari situ selanjutnya sama seperti dialami banyak sutradara lain, untuk membuktikan sebenarnya dari puluhan tahun belajar film gitu bisakah diterapkan, bisakah menghibur, bisakah mengena di hati penonton.
Tapi terhadap cerita Kadet sendiri bahwa mereka ini adalah bukan siapa-siapa, bukan pahlawan gitu, tidak dilihat, tapi ingin memberi kontribusi, ingin berperan, sehingga setiap aku nulis atau terjun ke Kadet itu aku ngerasa relate sekali sama mereka. Bahwa kita semua itu dari nol. Bahwa kita semua itu bukan siapa-siapa. Dan, bila kita ingin membuktikan diri, ya we got to do our best. Kalau denger kata kadet, dengan segala kesulitan yang kita hadapi itu ya ini semua harapannya rings a bell to anyone yang merasa kita bukan siapa-siapa, kita dari nol, but we got to do something gitu. Wah, jadi dalem deh jawabanku, hehehe.
Tiga kata dari Mas Rahabi untuk film Kadet 1947?
Semua untuk Indonesia. Kalau dipecah satu-satu kata, aku mau bilang cinta, persahabatan, dan pembuktian diri--kalau boleh empat (kata).