Brilio.net - Sampai saat ini sampah masih menjadi masalah klasik di Indonesia dan belum dikelola secara optimal. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut ada sekitar 67,8 juta ton timbunan sampah pada tahun 2020.
Sedangkan The National Plastic Action Partnership (NPAP) mengatakan ada sekitar 4,8 juta ton per tahun sampah plastik di Indonesia tidak terkelola dengan baik seperti dibakar di ruang terbuka (48%), tak dikelola layak di tempat pembuangan sampah resmi (13%) dan sisanya mencemari saluran air dan laut (9%). Jumlah produksi sampah plastik di Indonesia menunjukkan tren kenaikan 5% tiap tahun.
BACA JUGA :
Tekan produksi sampah, Nestle uji coba jual produk sistem isi ulang
Sementara survei LIPI pada 20 April5 Mei 2020 menyebut aktivitas belanja online masyarakat meningkat hingga 62% selama pandemi, di mana hingga 96% dari total jumlah paket menggunakan selotip, pembungkus plastik, dan bubble wrap. hal ini juga meningkatkan masalah sampah, yang biasanya berujung di tempat pembuangan akhir (TPA). Padahal, sampah bisa dikelola dan dimanfaatkan, bahkan bisa bernilai ekonomi tinggi jika diperlakukan dengan benar sejak awal, yaitu mulai dari rumah tangga.
Kondisi inilah yang membuat Hamish Daud menginisiasi lahirnya Octopus, aplikasi untuk membantu mengatasi masalah sampah. Lewat aplikasi ini pengguna atau konsumen dapat mengirimkan kemasan bekas pakai untuk didaur ulang menjadi produk yang bernilai jual. Tak heran jika Octopus menjadi solusi dalam mengatasi masalah sampah bekas konsumsi (post consumed products).
BACA JUGA :
Awalnya penuh sampah, transformasi kamar tidur ini jempolan
Kami menyediakan layanan penjemputan untuk kemasan pasca konsumsi melalui aplikasi Octopus. Mimpi kami adalah Octopus menjadi solusi paling efektif untuk industri dalam mengatasi masalah suplai material daur ulangnya, ujar Hamish, Co-Founder Octopus.
Hamish menambahkan, di aplikasi Octopus juga memuat cara kelola sampah tertentu, misalnya popok bekas, kaca, dan sebagainya. Kita bantu konsumen untuk mengubah gaya hidupnya, tuturnya.
Lantas seperti apa sih aplikasi Octopus yang digadang-gadang bisa menjadi salah satu solusi mengatasi sampah? Berikut faktanya.
1. Mengenal Octopus, si Gurita dari Timur
Aplikasi Octopus murni dibuat anak-anak Indonesia dengan beragam keahlian dan memiliki kepedulian tinggi terhadap masalah sampah di Tanah Air. Octopus Indonesia berdiri di Makassar pada 2020. Kini tim Octopus Indonesia terdiri dari tujuh orang dengan beragam latar belakang, ada lulusan kampus Amerika Serikat seperti Massachusetts Institute of Technology.
Octopus merupakan platform ekonomi sirkular yang membantu produsen melacak dan mengumpulkan produk bekas konsumsi, baik yang dapat didaur ulang maupun yang tidak dapat didaur ulang. Platform Octopus memungkinkan produsen memberikan insentif langsung kepada para konsumen dan juga pelestari yang terlibat dalam pengiriman sampah kemasan ke industri daur ulang.
2. Tiga mobile apps
Sebagai Chief of Partnership Octopus, Hamish menjelaskan aplikasi ini memiliki 3 mobile apps, yaitu untuk pengguna (konsumen), pelestari (kolektor sampah), dan checkpoints (usaha jual beli kemasan bekas). Ketiga aplikasi ini telah bersinergi dengan sangat baik, ujarnya.
Aplikasi ini juga menyediakan data yang berguna untuk industri FMCG (FastMoving Consumer Goods), serta menyediakan solusi bagi industri kemasan. Karena memiliki 3 mobile apps yang mensinergikan tiga pihak, Octopus diyakini akan memiliki nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan yang terlibat.
3. Begini mekanisme kerjanya
Ketiga aplikasi Octopus memiliki mekanisme kerja sesuai dengan target sasaran pengguna. Di mana aplikasi untuk konsumen seperti ibu rumah tangga atau masyarakat, akan mengumpulkan sampah kemasan dan diserahkan ke pelestari (pemulung) dengan mendapatkan insentif sesuai dengan nilai sampah yang terkumpul.
Sementara aplikasi untuk pelestari, akan mengambil barang dari konsumen selanjutnya dijual ke checkpoints. Lalu aplikasi untuk checkpoints sebagai bank sampah atau pengepul merupakan pihak yang akan membeli sampah dari pelestari dan dijual ke industri yang telah bekerja sama dengan Octopus.
4. Dari pemulung sampai mahasiswa
Mayoritas pelestari dulunya pemulung yang diberi pelatihan cara memakai aplikasi dan mengenali sampah kemasan yang sesuai dengan standar industri daur ulang. Selain pemulung, banyak juga mahasiswa, korban PHK akibat pandemi Covid-19, dan sopir ojek online yang tak sanggup membayar cicilan motor karena lesunya order di tengah wabah virus corona yang kini ikut bergabung menjadi Pelestari.
Pelestari bekerja dengan jam kerja bebas. Kapan saja mereka ingin bekerja, maka tinggal menyalakan aplikasinya lalu merespons permintaan dari pengguna Octopus yang ingin mengirimkan kemasan daur ulangnya, lanjut Hamish.
5. Membantu korban PHK dan pengepul
Aplikasi ini dapat mengubah kehidupan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Contohnya Mhilina, seorang karyawan hotel di Makassar yang kehilangan pekerjaan (PHK) karena situasi Covid-19. Setelah berbulan-bulan menganggur, perempuan ini mendengar tentang Octopus dan bergabung sebagai pelestari. Di bulan ke-4, ia mendapatkan penghasilan sebesar Rp4 juta per bulan.
Sementara itu, sebelum bergabung dengan Octopus, Rosmini sudah menjalankan bisnis pengumpulan sampah sendiri. Arus kasnya kacau dan keuntungannya hanya 3-5%. Dia mendengar ada aplikasi baru yang dapat membantunya menjalankan bisnis. Segera setelah bergabung dengan Octopus, dia dapat melacak setiap transaksi dan memantau setiap item stok di Collection Point-nya. Saat ini Rosmini memiliki margin keuntungan 10-12% per bulan, ia juga mendapat pinjaman modal dari bank untuk mengembangkan usahanya dan dapat membeli lebih banyak produk pasca-konsumsi dari pelestari.
6. Menggandeng milenial
Guna menarik minat anak muda kalangan milenial untuk bergabung dalam mengelola sampah melalui Octopus, aplikasi ini menjalin kolaborasi dengan pihak lain yang relevan dengan gaya hidup kekinian. Sekarang kami kerja sama dengan Kopi Soe, UMKM, juga sejumlah tempat popular di Bali.
7. Target mengelola 1 miliar sampah kemasan
Tak lama setelah dibentuk, Octopus telah menarik perhatian sejumlah perusahaan multinasional, mulai dari industri kemasan hingga merek-merek FMCG. Hingga akhir tahun 2021, sebut Hamish, Octopus berharap dapat mengelola 1 miliar sampah kemasan yang telah digunakan konsumen, umumnya botol plastik atau kertas kemasan, menjadi materi yang dapat didaur ulang dan digunakan kembali.
Guna meluaskan jangkauan dalam solusi penanganan sampah, Octopus juga berkolaborasi dengan pemerintah. Saat ini kami bermitra dengan provinsi Jawa Barat dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, terang Hamish.