Brilio.net - Virus corona atau Covid-19 masih menjadi musuh banyak negara di seluruh dunia. Berbagai upaya telah dilakukan setiap negara untuk mencegah penyebaran virus ini. Mulai dari penguncian wilayah atau lockdown, social distancing, dan beberapa hal lainnya.
Namun itu saja tidak cukup, para ilmuwan juga perlu bekerja keras untuk menemukan obat penangkal virus corona ini. Dilansir brilio.net dari dream.co.id, Jumat (10/4), sejumlah ilmuwan kini tengah berjuang menemukan vaksin untuk virus corona.
BACA JUGA :
Peneliti uji coba vaksin BCG untuk lawan virus corona
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan sudah ada sekitar 35 perusahaan dan lembaga akademik yang mengerjakan riset dan uji coba vaksin tersebut.
Di China sendiri sudah dilakukan tes sejak 19 Maret lalu yang melibatkan 108 relawan asal Wuhan. Di antara mereka, ada relawan bernama Xiang Yafei, 30 tahun.
Salah seorang pria bernama Xiang, yang juga merupakan pemilik restoran di Wuhan menceritakan pengalamannya menjadi relawan uji vaksin Covid-19. Xiang mengaku melakukan berbagai pekerjaan sukarela sejak akhir Januari ketika Wuhan memberlakukan lockdown, seperti dilaporkan South China Morning Post, yang dilansir dari dream.co.id.
BACA JUGA :
Darah pasien sembuh Corona bisa obati orang lain, ini penjelasannya
Kala itu temannya memberi tahu dirinya mengenai studi vaksin dan bertanya apakah ia berminat untuk bergabung menjadi sukarelawan. Awalnya Xiang khawatir, ia bertanya mengenai risiko yang akan timbul namun merasa lebih baik ketika melakukan riset kecil-kecilan.
Vaksin yang dibuat di Wuhan ini ternyata dikembangkan oleh Akademi Ilmu Kedokteran Militer dan CanSino asal Amerika Serikat.
Ketika dirinya sudah mulai yakin, tepat pada 16 Maret 2020, Xiang pergi ke kantor tim penelitian dan bertemu dengan Mayor Jenderal Chen Wei. Ia merupakan ketua tim pengembangan vaksin.
"Saya diberikan injeksi vaksin pertama kali pada 19 Maret dan segera dimasukan ke karantina selama 14 hari. Sebelum injeksi, saya menjalani pemeriksaan fisik yang ketat. Kemudian saya baru mengetahui ada lebih dari 5.200 orang yang melamar menjadi sukarelawan," jelas Xiang.
Sebagai relawan, tugas Xiang yaitu membantu para ilmuwan untuk mengembangkan vaksin tersebut. Dia tidak merasakan gejala apapun saat itu. Ia berpikir vaksin ini sukses dan dapat segera dipasarkan.
Setelah menerima injeksi tersebut, Xiang mengalami demam 37,6 derajat selama dua hari. Dia merasa seperti masuk angin dengan gejala kelelahan dan kantuk. Tetapi di hari ketiga, kondisinya membaik dan merasa sehat.
Tak hanya mengenai fisiknya saja, Xiang juga menyampaikan hal lain. Ia mengatakan, dalam fasilitas tersebut ada 108 relawan dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan dosis obat rendah, sedang, dan tinggi.
Dia sendiri masuk ke kelompok rendah sehingga hanya mendapat satu dosis. Relawan dengan kelompok menengah mendapat satu dosis juga dan relawan kelompok tinggi mendapat dua dosis.
"Setelah masa karantina saya berakhir pada 2 April, saya diberi CAT scan dan para peneliti mengambil sampel darah saya untuk diuji," jelas Xiang.
Xiang ragu pihak peneliti akan memberi tahu hasilnya kepadanya. Tetapi menurut anjuran, Xiang harus melakukan empat kali tes darah selama lima bulan ke depan untuk mengetahui ada tidaknya antibodi virus corona di tubuhnya.
Ketika masa karantina, dia hanya beristirahat. Sebelumnya dia pernah menjadi sopir ambulans secara sukarela di Wuhan dan bekerja setiap hari untuk membawa pasien virus korona ke rumah sakit.
"Saya benar-benar sibuk selama lebih dari sebulan, jadi masa karantina 14 hari di fasilitas penelitian memberi saya kesempatan santai dan tidur. Makannya juga bergizi dan bervariasi," candanya.
Xiang bercerita, selama masa karantina, ia harus tinggal di kamar masing-masing dan tidak diperbolehkan saling mengunjungi. Dia juga diharuskan memeriksa suhu setiap hari dan harus melapor ketika merasakan gejala.
"Saya membaca buku dan berolahraga di kamar saja. Beberapa sukarelawan berlatih kaligrafi, beberapa bermain sepak bola dengan gulungan kertas toilet, beberapa jogging, beberapa mengarang lagu dan beberapa membuat video tentang kehidupan mereka di karantina dan mengunggahnya ke media sosial. Kami melakukan semuanya hanya di kamar kami sendiri," jelas dia.