Brilio.net - Setiap tahunnya, bumi sebagai tempat tinggal berbagai makhluk hidup tentunya selalu mengalami perubahan. Baik secara alami maupun secara tidak alami. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagian terjadi akibat ulah manusia.
Ya, bukan rahasia jika kini keadaan bumi semakin lama semakin rusak. Belum lagi ditambah dengan ulah tangan jahil manusia yang justru semakin memperburuk keadaan bumi.
BACA JUGA :
Susu kecoak diramal jadi minuman super masa depan
Selain itu, sejumlah fenomena alam yang cukup aneh, bencana alam yang melanda sebagian wilayah di berbagai belahan dunia menjadi peristiwa penting yang terjadi pada tahun 2018 kemarin. Tentunya peristiwa-peristiwa penting ini juga mengubah keadaan bumi secara tidak langsung.
Nah, pada tahun 2019 ini para peneliti juga memperkirakan akan ada banyak 'kejutan' yang terjadi di bumi. Untuk itu para ilmuwan ini akan melakukan sejumlah ekspedisi dan misi untuk mengungkap rahasia 'kejutan' bumi.
Di lansir brilio.net dari livescience.com, Minggu (6/1), berikut tujuh ekspedisi ilmuwan pada tahun 2019 yang disinyalir dapat menguak rahasia terbesar bumi.
BACA JUGA :
Penelitian ini ungkap minuman di pesawat punya banyak bakteri
1. Inspeksi Gletser Thwaites untuk mencari celah.
foto: pri.org
Sebuah ekspedisi besar akan dilakukan oleh lebih dari 100 ilmuwan dari seluruh dunia di Gletser Thwaites pada musim panas mendatang. Ekspedisi gletser yang berada di Antartika Barat ini merupakan bagian dari penelitian kolaborasi bernilai US$ 25 juta yang sudah disetujui antar National Science Foundation (NSF) milik Amerika Serikat dan Natural Environment Research Council (NERC) milik Inggris.
Para ilmuwan ini akan mempelajari lebih dalam gletser raksasa tersebut. Pasalnya, jika gletser mulai runtuh, maka massa es ini dapat meluncur ke laut, mencair dan menjadi penyebab kenaikan permukaan laut global secara signifikan.
Program penelitian yang disebut sebagai pemeriksaan paling mendalam dan ekstensif ini akan mengukur kecepatan gletser tersebut mencair. Mereka akan menilai gletser itu akan ambruk dalam beberapa dekade atau abad berikutnya.
"Untuk menjawab pertanyaan utama tentang 'seberapa banyak dan seberapa cepat permukaan laut akan berubah', para ilmuwan di lapangan butuh peralatan canggih yang mampu mengumpulkan data yang kami butuhkan untuk mengukur tingkat volume es atau perubahan massa es," ujar William Easterling, asisten direktur NSF untuk Geosciences.
2. Menciptakan peta es terbaru.
foto: cruiseable.com
Pada September 2018 kemarin, NASA meluncurkan satelit terbarunya berupa Ice, Cloud and Land Elevation Satellite-2 (ICESat-2). Satelit berupa observatorium luar angkasa ini bertugas untuk mengamati kutub utara dan selatan. Misi satelit ini bertujuan untuk menghitung perubahan ketebalan setiap es dari musim ke musim.
Selain itu juga dapat mendeteksi pertambahan serta pengurangan yang terjadi hingga 0.5 cm. Sejak diluncurkan, ICESat-2 sudah berhasil mengumpulkan ribuan data setiap harinya dan sudah menghasilkan sebuah peta es Antartika paling detail yang pernah ada.
"ICESat-2 akan membantu mengubah dengan cepat pengetahuan kita tentang keadaan lapisan es, lautan es dan semua hal yang berhubungan dengan kutub secara umum," kata ilmuwan geografis Michael MacFerrin dari University of Colorado.
Michael juga menambahkan jika rekan sesama peneliti juga sangat semangat untuk bekerja menggunakan data tersebut. Untuk peta versi fisiknya direncanakan akan segera hadir sebelum akhir tahun 2019 ini.
3. Pengeboran di tempat asal mula gempa bumi.
foto: mainichi.jp
Pada tahun 2019 ini, Nankai Trough Seismogenic Zone Experiment (NanTroSEIZE) mulai menggali patahan Nankai Trough. Patahan yang terletak di lepas pantai barat daya Jepang, jauh di bawah Samudra Pasifik ini merupakan zona subduksi aktif di mana satu lempeng kerak bumi longsor di bawah lempeng yang lain. Patahan Nankai Trough ini adalah salah satu tempat paling aktif secara seismik di bumi.
Riset yang dilakukan NanTroSEIZE ini adalah ekspedisi pertama yang dilakukan dengan mengebor, mengambil sampel dan instrumen penyebab gempa, atau bagian seismogenik dari kerak bumi. Di mana gempa berskala besar telah terjadi berulang kali sepanjang sejarah. Seperti diketahui, Nankai Trough merupakan penyebab gempa Tonankai bermagnitudo 8,1 yang mengguncang Jepang pada tahun 1944.
"Batuan yang dikumpulkan akan dianalisis untuk melihat seberapa licin atau kokoh zona tersebut. Dengan demikian, para peneliti akan bisa memahami lebih lanjut tentang kondisi yang mungkin mengarah pada gempa bumi di patahan ini," tulis anggota tim John Bedford dari University of Liverpool.
4. Mengukur luas hutan dan jumlah pepohonan iklim tropis.
foto: mnn.com
Pada 8 Desember 2018 lalu, NASA telah meluncurkan eksperimen Global Ecosystem Dynamics Investigation Lidar (GEDI) ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). GEDI akan dipasang di luar ISS agar dapat melihat bumi dengan leluasa dan menghasilkan pengamatan 3D yang sangat rinci dari hutan beriklim tropis di bumi.
GEDI juga dapat menjawab sejumlah pertanyaan mendasar seperti berapa banyak karbon yang tersimpan di pohon dan bagaimana deforestasi dpaat mempengaruhi perubahan iklim. Diharapkan nantinya GEDI dapat membantu para peneliti menunjukkan bagaimana siklus nutrisi di alam raya bergerak melalui ekosistem hutan serta dapat memprediksi cuaca secara akurat.
5. Menjelajahi Danau Antartika yang terkubur.
foto: atlasobscura.com
Para ilmuwan di Antartika sedang menggali danau subglacial yang terkubur 4.000 kaki (1.200 meter) di bawah lapisan es Antartika Barat. Hal ini lantaran para ilmuwan ini sangat ingin menjelajahi sistem yang ada di dalam danau yang dikenal sebagai Danau Mercer tersebut. Selain itu, air di dalam Danau Mercer juga diketahui benar-benar terputus dari ekosistem dunia luar. Tak heran jika para ilmuwan ingin mempelajari lebih lanjut tentang organisme yang hidup di sana.
Para ilmuwan ini akan mengumpulkan sampel, membaca situasi dan memotret dunia sub-glasial yang belum pernah dilihat oleh mata manusia. Tentunya hal ini akan dilakukan begitu bor mencapai badan air, kemudian peralatan canggih akan diturunkan ke dalam lubang tersebut.
6. Mempelajari sejarah terumbu karang.
foto: nationalgeographic.com.au
Selain ombak dan pasir putih di pantai, terumbu karang juga menjadi salah satu daya tarik paling kuat yang dimiliki laut. Habitat bawah laut ini memang mempunyai keindahan yang mengagumkan. Sayangnya, terumbu karang kini semakin terancam punah. Hal ini karena adanya polusi dan pengasaman laut yang disebabkan ketika lautan menyerap karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer melalui pembakaran bahan bakar fosil.
Nah, mulai pada bulan September 2019 mendatang, tim peneliti akan menelusuri hingga 11 lokasi bawah laut di sekitar Hawaii. Para peneliti ini akan mengambil sampel dari sistem terumbu karang fosil.
Terumbu karang yang diduga berusi 500 ribu tahun itu akan membantu menjawab pertanyaan kritis tentang jumlah karbon dioksida di atmosfer dan suhu bumi selama periode ini serta bagaimana terumbu karang bereaksi dan pulih dari perubahan skala besar.
Tentunya ekspedisi yang dinamakan Hawaiian Drowned Reefs dan dijalankan oleh uropean Consortium for Ocean Research Drilling (ECORD) ini juga akan menjawab solusi dari kepunahan terumbu karang.
7. Menjelajahi biosfer terdalam.
foto: en.unesco.org
Selama 10 tahun terakhir, Deep Carbon Observatory dengan para ilmuwan lainnya telah menggali ke dalam bumi untuk mempelajari lebih lanjut tentang apa yang terkubur jauh di dalam bumi. Nah, pada Desember 2018 lalu, mereka telah mengumumkan temuan barunya tentang "biosfer yang dalam."
Temuan ini berupa sebuah reservoir (danau atau waduk yang digunakan untuk menyimpan air) bawah tanah dari organisme asing yang dapat memperkecil jumlah kehidupan di permukaan planet bumi. Selanjutnya, pada Oktober 2019 mendatang, Deep Carbon Observatory pada konferensi internasional di Washington D.C akan kembali menyoroti penelitian tersebut dan menantikan ekspedisi menarik lainnya 10 tahun berikutnya.
Pada konferensi tersebut, para ilmuwan akan menyajikan informasi tentang sifat dan tingkat karbon dalam inti bumi. Sifat seluruh siklus karbon bumi dan bagaimana perubahannya dalam sejara bumi serta mekanisme yang mengatur evolusi dan penyebaran mikroba di "biosfer yang dalam" ini juga akan turut dibahas.