Brilio.net - Sebagai makhluk hidup, tubuh manusia tersusun atas 'mikrobiom', bakteri yang saling berdampingan, bisa membahayakan tubuh atau justru menguntungkan. Dari mikroba di bola mata yang berfungsi melawan infeksi hingga bakteri yang memengaruhi mood yang bersembunyi di saluran pencernaan. Bakteri-bakteri tersebut memiliki pengaruh kuat terhadap kehidupan kita sehari-hari, walaupun cara kerjanya masih belum jelas.
Sebuah studi baru, yang diterbitkan Biological Psychiatry, telah menyelidiki kehidupan mikroba pada bayi. Secara spesifik, tim peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Carolina (UNC) ingin mengetahui apakah ada kaitannya mikrobiom dalam usus bayi dengan kemampuan kognitif mereka.
Dikutip dari Iflscience, Senin (24/7), mengambil sampel tinja dari 89 anak usia 1 tahun, para ilmuwan memprofilkan spesies dan jenis bakteri yang ditemukan di dalamnya. Sampel digolongkan menjadi tiga kelompok yang berbeda: kelompok pertama genus Bacteroides tingkat tinggi, kelompok kedua genus Faecalibacterium tingkat tinggi, dan kelompok sisanya genus yang belum ditemukan namanya namun masuk famili Ruminococcacaea.
Setahun kemudian, peneliti ini memberi peserta sebuah tes kognitif dasar untuk menentukan kira-kira seberapa pintar mereka. Peneliti menggunakan Mullen Scales of Early Learning, serangkaian tes yang menguji kemampuan motorik, kemampuan untuk melihat sesuatu, dan perkembangan bahasa kasar.
Dengan margin yang signifikan, kelompok Bacteroides mencetak skor lebih tinggi daripada pada dua kelompok lainnya. Mereka yang termasuk genus Faecalibacterium dinilai paling rendah.
Selain itu, peserta dengan mikrobiomunitas yang kurang beragam mengungguli peserta yang memiliki bakteri lebih beragam yang hidup di tinja mereka. "Kami awalnya memperkirakan bahwa anak-anak dengan mikrobiologi yang sangat beragam akan tampil lebih baik," kata koordinator peneliti Rebecca Knickmeyer yang juga profesor psikiatri di UNC's School of Medicine.
Meski demikian, dia menambahkan, "penelitian lain telah menunjukkan bahwa keragaman yang rendah pada masa bayi dikaitkan dengan hasil kesehatan negatif, termasuk diabetes tipe 1 dan asma."
Tim peneliti juga menyimpulkan bahwa kelompok kotoran yang berbeda ini tampaknya terkait dengan beberapa faktor eksternal, termasuk etnis orangtua, saudara kandung, durasi menyusui, dan bagaimana bayi tersebut lahir.
Hubungan antara faktor-faktor ini dan jenis mikrobiomi yang diamati pada bayi tetap sulit dipahami, seperti juga mekanisme sebab-akibat antara mikrobiomes dan kemampuan kognitif subjek. Pada titik ini, tidak ada yang tahu persis bakteri apa yang berperan dominan untuk mempengaruhi otak.
Di samping itu, 89 subjek adalah ukuran sampel yang terbilang kecil dan ada banyak studi yang perlu dilakukan untuk memperkuat temuan ini.
Namun, hasil studi ini menambah kepercayaan pada gagasan bahwa pikiran kita tidak sepenuhnya milik kita sendiri, namun dipengaruhi oleh dunia lain yang tak kasat mata, yakni dunia mikroba.