Brilio.net - Bagi sebagian orang stres bisa menyebabkan kesehatan menurun. Tapi, kamu mungkin belum tahu tentang penelitian terbaru mengenai stress berlebih dan dampaknya bagi otak kita.
Untuk mencari tahu tentang hal ini, seperti dilansir brilio.net dari ScienceAlert.com, Senin (7/3), seorang ahli saraf dari Ohio State University mengajari tikus untuk menavigasi jalan keluar dari labirin.
BACA JUGA: Ini penjelasan ilmiah soal tindihan, kamu pasti pernah.
BACA JUGA :
Sadarkah kamu, 7 penyakit ini dianggap paling 'mahal' di Indonesia
Tugas mereka sebenarnya mengingat melakukan hal tersebut dari pelajaran sebelumnya. Peneliti memasukkan seekor tikus yang lebih agresif dimasukkan ke grup. Ternyata itu berpengaruh pada tikus lain yang ada di grup sebelumnya menjadi stres. Secara perlahan mereka melupakan arah jalan menuju pulang.
"Stres membuat tikus-tikus itu tidak mengingatnya," kata ketua peneliti Jonathan Godbout. "Sementara tikus yang tidak stres bisa mengingatnya dengan baik."
Scan menunjukkan tanda-tanda peradangan di otak tikus yang mengalami stres, disebabkan oleh respon sistem kekebalan tubuh untuk tekanan luar. Kehadiran sel-sel kekebalan yang disebut makrofag menunjukkan bahwa sistem kekebalan hewan menyerang otak mereka sendiri, menyebabkan peradangan dan mencegah sel-sel otak baru tumbuh.
Efek dari stres itu rupanya berlangsung cukup lama. Selang empat minggu dari percobaab, tikus yang mengalami stres ditemukan meringkuk di sudut-sudut. Ini ditengarai setara dengan penghindaran sosial pada manusia dan gejala utama depresi.
Ketika para peneliti memperkenalkan obat anti-inflamasi pada hewan yang terkena stres, defisit sel otak dan perilaku penghindaran sosial, meskipun tingkat makrofag turun dan kenangan tikus kembali normal. Ini menunjuk ke link langsung antara peradangan dan masalah memori.
Penelitian ini sangat peduli dengan dampak stres jangka panjang di daerah hippocampus otak, yang memainkan peran kunci dalam respon emosional dan retensi memori.
"Ini adalah stres kronis," kata Godbout. "Ini bukan hanya stres karena memberikan ceramah atau bertemu seseorang yang baru. Ada kemungkinan kita bisa mengidentifikasi target yang kita dapat untuk mengobati farmakologi atau tingkahlakunya."
Sementara banyak penelitian sebelumnya telah menutupi ranah yang sama yakni tentang stres, kecemasan, depresi, dan memori terkait, Ini diyakini menjadi yang pertama untuk mengasosiasikan kehilangan memori jangka pendek karena radang otak, dan radang otak itu sendiri disebabkan reaksi dari sistem kekebalan tubuh.
Langkah berikutnya adalah untuk melihat apakah reaksi yang sama akan hadir dalam otak manusia. Jika demikian, itu bisa membuka kemungkinan pengobatan baru untuk stres dan depresi. Jika dokter dapat menemukan cara-cara mencegah atau membatasi peradangan yang terjadi pada hippocampus. Sebagai informasi, studi ini telah dipublikasikan dalam The Journal of Neuroscience.