Brilio.net - Pantai pasir putih di sisi timur Gili Trawangan dikenal sebagai salah satu spot yang sering digunakan para turis untuk berjemur. Ya ada juga sih yang sekadar jalan-jalan dan bersepeda. Tapi nggak sedikit juga lho yang mengunjungi bangunan mirip pendopo dengan tiga kolam besar di dalamnya. Tempat ini sering banget dikunjungi wisatawan, terutama turis asing.
Lokasinya yang berada di pinggir pantai membuat pendopo yang sebenarnya sebuah balai penangkaran penyu kerap menjadi pusat perhatian. Maklum, banyak wisatawan yang penasaran ingin melihat tukik (anak penyu).
BACA JUGA :
Batu-batu hitam di pantai ini ternyata jejak lava gunung api purba lho
Menurut Marjan, salah satu petugas penangkaran, hingga akhir 1990-an masih banyak penyu bertelur di Gili Trawangan. Tapi akibat pembangunan pariwisata yang masif serta penangkapan yang dilakukan nelayan, populasi penyu makin menyusut.
Padahal, pantai Gili Trawangan merupakan salah satu habitat penyu.Di waktu tertentu banyak penyu bertelur di pantai ini. Balai penangkaran penyu ini didirikan berkat inisiatif Zainuddin, mantan kepala dusun setempat.
BACA JUGA :
Vila ini namanya saja yang horor, tempatnya kece abis buat selfie
Tempat penangkaran penyu di Gili Trawangan yang sering dikunjungi wisatawan
Hal ini dilakukan karena ia melihat makin berkurangnya penyu di kawasan tersebut. Awalnya Zainuddin membuat tempat penangkaran dan membeli telur penyu dari nelayan yang kemudian ditetaskan untuk dilestarikan pada 2005 silam. Ia biasanya membeli telur dari nelayan seharga Rp3.000 per butir.
Di tempat itulah telur penyu dieramkan sampai menetas di kandang yang terletak di dekat balai. Dalam sebulan ratusan telur penyu bisa ditetaskan. Umumnya, ada dua jenis penyu yang ditangkarkan di sini yakni penyu hijau (Chelonia midas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
Menjadi salah satu objek wisata lho
Setelah menetas, tukik-tukik dipindahkan ke dalam kolam perawatan. Di dalam balai yang berupa rumah terbuka beratap jerami berukuran 20 x 15 meter persegi itu, tukik-tukik dipelihara selama 6-8 bulan hingga siap dilepas ke laut terbuka.
Nah untuk melihat penangkaran ini pengunjung nggak dipungut bayaran alias gratis. Cuma di situ disediakan kotak agar para wisatawan bisa memberikandonasi sukarela. Dana yang terkumpul nantinya akan digunakan untuk operasional perawatan balai, termasuk memberi makan tukik selama dalam masa perawatan.
Hanya berharap pada donasi pengunjung
Setiap pagi Marjan selalu memberi makan tukik-tukik dengan potongan daging ikan atau cumi. Saban hari Marjan bertugas memberikan penjelasan kepada para turis yang datang.
Cara ini kita lakukan agar tukik-tukik ini tetap bisa hidup. Pantai ini menjadi salah satu tempat penyu bertelur. Kalau bukan kita yang peduli, penyu di sini bakal punah. Makanya kita menjaga supaya penyu ini tetap hidup, jelas Marjan kepada Brilio.net beberapa waktu lalu.
Pengelolaannya dilakukan secara swadaya
Semula tempat penangkaran ini terletak di pantai terbuka. Pada 2008 maskapai Garuda Indonesia memberikan dukungan dengan mendirikan balai seperti yang ada sekarang ini. Sekarang atapnya sudah banyak yang rusak.
Oh iya, pengelolaan balai penangkaran ini dilakukan secara swadaya lho. Tidak ada bantuan khusus yang mereka terima dari lembaga manapun. Semuanya benar-benar dilakukan secara swadaya. Menurut Marjan, jika berharap dari donasi pengunjung tak akan cukup.
Marjan (kanan) memberikan penjelasan kepada para turis
Untuk operasional termasuk pakan penyu saja mereka sedikitnya membutuhkan dana sekitar Rp 250 ribu-Rp300 ribu per hari. Karena itu untuk menyiasatinya ada petugas penangkaran yang mendirikan warung kecil di depan balai termasuk menyewakan sepada untuk wisatawan. Kalau ada pendapatan lebih dari warung atau sewa sepeda kita sisihkan untuk biaya perawatan balai ini, ucap Marjan.
Meski minim dukungan, warga sekitar terus berupaya membantu supaya balai penangkaran penyu ini tetap tegak berdiri demi menjaga agar penyu tak punah di masa depan. Salut deh!