Brilio.net - Belakangan viral pernikahan sedarah (inses) antara pasangan kakak-beradik kandung asal Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka menikah diam-diam di perantauan, Balikpapan, Kalimantan Timur, membuat keluarga geram bukan kepalang.Bahkan dilaporkan bahwa sang adik telah hamil dengan usia kandungan 4 bulan.
Pernikahan sedarah merupakan pernikahan antara dua orang yang memiliki satu garis keluarga, seperti adik-kakak maupun orangtua-anak.
BACA JUGA :
9 Fakta menarik Indonesia Night Run 2019
Selain tabu, pernikahan sedarah ternyata membawa risiko kesehatan apabila pasangan ini memiliki keturunan. Bukan sembarang risiko, melainkan mutasi genetik (perubahan genetika) atau penyakit genetika langka. Wujudnya bermacam-macam, misalnya saja cacat lahir bawaan atau gangguan mental.
Dilansir dari Psychology Today, dilarang melakukan hubungan seksual dengan kerabat yang masuk dalam hubungan tingkat pertama. Pasalnya, orang-orang ini memiliki kesamaan genetik hingga 50%. Orang-orang ini meliputi orangtua, anak, dan saudara kandung.
Permasalahan kesehatan bisa muncul apabila genetika kerabat dekat itu buruk. Sebut saja membawa penyakit tertentu, membuat risiko kesehatan akan berlipat pada anak hasil inses.
BACA JUGA :
Bocah berbobot 97 kg ini punya kebiasaan makan 5 piring sehari
Sebuah studi terhadap anak-anak hasil inses di Cekoslowakia menunjukkan sebanyak 42% anak mengalami cacat lahir parah atau kematian dini. Sebanyak 11% lainnya mengalami gangguan mental, sebagaimana dilansir dari Psychology Today.
Perkawinan sedarah bukan kasus baru-baru ini, melainkan sudah ada sejak dulu. Sejarah mencatat kasus atau penyakit mutasi genetik akibat inses.
Dilansir Brilio.net dari laman Ranker, Kamis (4/7), berikut deretan penyakit mutasi genetik akibat inses di dunia. Perlu diperhatikan, penyakit-penyakit berikut tidak selalu akibat inses. Namun, terjadinya pernikahan sedarah bisa meningkatkan risiko terjadinya penyakit-penyakit ini.
1. Habsburg Jaw.
foto: Wikimedia Commons
Kondisi genetik ini disebut juga prognathisme. Kasus ini berkaitan dengan keluarga bangsawan zaman dulu.
Habsburg Jaw terjadi pada keluarga bangsawan Habsburg Spanyol, yang berkuasa pada pertengahan 1400-an hingga pertengahan 1700-an. Dalam keluarga ini terjadi perkawinan sedarah demi melindungi kepentingan mereka sendiri.
Akibat inses, anak-anak mereka menunjukkan kelainan fisik yakni rahang bawah panjang dan menonjol, serta deretan gigi bawah yang maju ke depan ketimbang deretan gigi atas.
Kasus terburuk terjadi pada Charles II yang memiliki deretan gigi bawah begitu maju parah sehingga tidak bisa berbicara dengan benar, sulit mengunyah, dan memiliki masalah dengan air liur.
Disebutkan juga bahwa dia mandul dan memiliki kecacatan kognitif, yakni belajar berbicara saat berusia 4 tahun dan berjalan pada usia 8 tahun.
2. Tengkorak tidak berbentuk normal.
foto: dailymail.co.uk
Geser dari Spanyol ke Mesir, terdapat pula kasus inses yang berdampak pada fisik keturunannya.
Bila Sobat Brilio memperhatikan kepala patung Mesir kuno, kepala mereka ada yang memanjang di belakang. Bukan hanya memang disengaja demi gaya artistik, tak sedikit bangsawan Mesir sebenarnya memiliki bentuk tengkorak demikian. Kuat dugaan ini terkait inses.
Diketahui bangsawan atau anggota kerajaan Mesir tak lepas dari inses. Saudara laki-laki menikahi saudara perempuannya, ibu menikahi putra kandung, maupun sepupu menikah dengan sepupu. Dampaknya, tengkorak keturunan mereka sering berubah bentuk.
Meski demikian, sebagian besar bangsawan Mesir memangsengaja membungkus kepala mereka demi mendapatkan kepala 'cacat' tersebut karena itulah gaya yang diinginkan.
Raja Tut menjadi contoh sosok yang menderita deformasi tengkorak. Menurut sejarah, ayah dan ibunya merupakan saudara kandung. Akibat inses ini, dia diketahui menderita bibir sumbing, cacat kaki clubfoot (kaki tampak bengkok), dan skoliosis (tulang belakang melengkung).
3. Anggota badan menyatu.
foto: Internet Archive Book via ranker.com
Suku Vadoma di Zimbabwe hidup dalam isolasi relatif atau kerabat mereka. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar mereka menikah dengan saudara sendiri.
Hasil inses suku ini adalah anak yang anggota badannya menyatu, yakni kaki yang memiliki tampilan unik layaknya burung. Itulah alasan mereka disebut 'orang-orang burung unta'.
4. Hemofilia.
foto: englishmonarchs.co.uk
Beberapa keluarga kerajaan besar di Eropa juga tak luput dari pernikahan sedarah. Ratu Victoria, Ratu Kerajaan Inggris Raya pada 1837 memiliki anak yang bermasalah dengan pembekuan darah (hemofilia), hasil perkawinannya dengan Albert dari Saxe-Coburg dan Gotha.
Anak itu bernama Leopold, bungsu dari 9 bersaudara yang dilahirkan Ratu Victoria. Leopold sendiri tidak melakukan pernikahan sedarah. Namun banyak saudaranya yang melakukan hubungan inses dan menunjukkan tanda-tanda kesulitan pembekuan darah pada keturunan mereka.
Kasus-kasus inses kerajaan Eropa yang menyebabkan masalah kesehatan darah ini menyebabkan hemofilia disebut-sebut sebagai 'penyakit kerajaan'.
Hemofilia merupakan kondisi darah tidak menggumpal dengan baik. Itu artinya, jika terjadi luka sedikit saja, memar, atau mimisan, bisa mengakibatkan kehilangan darah yang serius. Cedera pun tidak kunjung sembuh dengan benar. Akibatnya, bisa terjadi infeksi bahkan kematian.
5. Mikrosefalus atau mikrosefali (microcephaly).
foto: Internet Archive Book via ranker.com
Mikrosefalus atau mikrosefali (microcephaly) adalah kondisi langka kepala bayi berukuran lebih kecil dari ukuran kepala bayi normal. Mutasi genetik inilah yang menimpa masyarakat Muslim Pakistan pelaku perkawinan sedarah.
Sebuah studi pada 1998 menunjukkan sebanyak 63% orang Pakistan melakukan inses, yang mana anak-anak mereka mengalami mikrosefali. Ini terjadi akibat otak tidak sepenuhnya berkembang. Dampak mikrosefali adalah kecacatan mental ringan hingga berat.
6. Bibir sumbing.
foto: via Wikimedia Commons
Sempat disinggung sebelumnya, Raja Tut dari Mesir mengalami bibir sumbing akibat orangtuanya yang melakukan inses. Bibir sumbing terjadi ketika langit-langit mulut tidak terbentuk sempurna, sehingga mulut terbuka hingga ke saluran sinus. Dampaknya, seseorang sulit makan, menelan, bernapas, dan bicara.
Namun perlu diingat, tak semua kasus bibir sumbing pasti akibat orangtuanya inses. Namun inses bisa membuka lebar-lebar peluang terjadinya anak mengalami bibir sumbing.
7. Clubfoot.
foto: Internet Archive Book via ranker.com
Masih Raja Tut sebagai contohnya. Dia mengalami clubfoot, yakni kelainan pada kaki yang tampak bengkok seperti terkilir atau berbentuk tidak wajar.
Dilansir dari Hello Sehat, tanda clubfoot adalah punggung kaki bengkok ke bawah, kaki bisa terputar begitu parah, kelemahan otot betis, dan kaki yang mengalami clubfoot biasanya lebih pendek dari sisi satunya.
Perlu dicatat, bahwa tak selalu clubfoot hasil inses. Namun terjadinya pernikahan sedarah bisa meningkatkan risiko anak terkena clubfoot.
8. Albinisme.
foto: Pixabay/@babbur
Kondisi genetika ini menunjukkan seseorang kekurangan melanin, yakni zat yang menyebabkan rambut, kulit, bibir, dan bagian tubuh lainnya berwarna.
Orang albinisme umumnya memiliki mata terang, kulit pucat, dan rambut hampir putih, bahkan jika mereka berasal dari warisan kulit hitam.
Kondisi ini adalah penyakit resesif autosom, yang bermakna bahwa ketika orang-orang dengan gen serupa berkembang biak, maka anak-anak mereka lebih mungkin memilikinya.
Contoh nyatanya adalah sebuah komunitas di Puerto Rico yang berisi orang-orang yang jarang memiliki banyak keragaman genetik. Di sinilah kepadatan albinisme tertinggi di dunia.
9. Wajah asimetri.
foto: Internet Archive Book via ranker.com
Kasus mutasi genetika akibat inses lainnya adalah cacat lahir bawaan seperti wajah tidak simetri (asimetri) parah. Misalnya mata sebelah kanan lebih tinggi atau rendah ketimbang sebelah kiri, telinga tidak rata, atau mulut miring.
10. Dwarfisme.
foto: Internet Archive Book via ranker.com
Kelainan akibat inses ini menyebabkan seorang anak memiliki tinggi di bawah rata-rata atau kerdil. Menurut ahli, seperti dikutip dari Alo Dokter, mendefinisikan dwarfisme sebagai tinggi badan orang dewasa yang tidak lebih dari 147 cm. Umumnya, penderita dwarfisme hanya memiliki tinggi 120 cm.
Dwarfisme ini terjadi pada masyarakat pemukiman di Lancaster, dekat Pennsylvania, Amerika Serikat pada 1700-an. Akibat perkawinan sedarah, anak-anak kecil di sana gagal tumbuh subur, bermasalah dengan infertilitas, hingga akhirnya muncul penyakit Ellis-van Creveld. Penyakit ini berhubungan dengan kerdil ekstrem dan masalah jantung. Besar dugaan penyakit ini muncul akibat kurangnya keragaman dalam kumpulan gen masyarakat Lancaster.
11. Infertilitas/ketidaksuburan.
foto: via Wikimedia
Risiko kesehatan inses lainnya adalah infertilitas. Dalam hal ini, bila seorang wanita hamil lewat hubungan inses, maka janin bisa gagal berkembang atau anaknya lahir mati.
Sekalipun pasangan inses melahirkan anak, risiko infertilitas akan menular ke anak tersebut. Kelangsungan hidup sperma dan telur bisa juga terdampak negatif, atau sistem reproduksi bisa saja tidak berfungsi secara normal.
Secara historis, ketidaksuburan menyebabkan keluarga inses didera masalah tak berkesudahan, khususnya terkait memiliki keturunan.
12. Skoliosis.
foto: shutterstock.com
Skoliosis merupakan kelainan tulang belakang yang melengkung abnormal ke salah satu sisi punggung atau bengkok ke sisi lain. Dalam kasus parah, kondisi ini berdampak pada kemampuan seseorang berjalan dan duduk secara nyaman. Bisa jadi skoliosis membutuhkan pembedahan banyak dan bertahun-tahun.
Kasus mengejutkan terjadi pada 2-3% orang Amerika menderita skoliosis pada saat usia mereka mencapai 16 tahun. Para ahli mengetahui kondisi ini juga dapat diturunkan melalui genetika.
Ketika inses terjadi, bahka jika kedua orangtua tidak mengekspresikan gen, mereka masih mungkin memiliki anak yang memiliki kondisi mirip gen orangtuanya. Karena itulah inses bisa membuat skoliosis lebih mungkin terjadi. Bisa dilihat contoh sebelumnya yakni Raja Tut dari Mesir.
13. Gangguan sistem kekebalan tubuh.
foto: shutterstock.com
Anak-anak hasil inses cenderung sering sakit-sakitan. Kemungkinan ada hubungannya dengan malformasi kerangka, otot, atau organ tubuh lainnya. Namun faktor utamanya adalah sistem kekebalan tubuh (imunitas) yang salah.
Dalam sistem kekebalan yang berfungsi pada anak pasangan bukan inses, ada berbagai macam alel yang melawan berbagai penyakit--semakin banyak varietasnya, semakin banyak penyakit yang bisa dilawan.
Namun jika anak hasil perkawinan dengan kerabat dekat, sistem kekebalan yang dihasilkan memiliki alel unik jauh lebih sedikit, dan hanya dapat melindungi diri dari serangkaian penyakit yang lebih kecil.
Kurangnya keragaman alel ini membuat anak jauh lebih rentan terhadap penyakit, dan secara efektif dapat menghambat sistem kekebalan tubuh.