Brilio.net - Kabar duka kembali datang dari dunia hiburan Tanah Air. Kini giliran selebgram cantik, Edelenyi Laura Anna yang diketahui meninggal dunia pada hari ini, Rabu (15/12). Dari pihak keluarga belum mengungkapkan secara pasti penyebab meninggalnya Laura Anna.
"Innalilahiwainailaihi rajiun. Lora uda ga sakit lagi, uda ga sedih lagi, uda bisa jalan lagi, Lora uda bahagia di sisi Tuhan. Semua sayang sama lora. Al Fatihah untuk Lora," tulis Shandy, dikutip dari Instagram @shandypurnamasari, Rabu (15/12).
BACA JUGA :
9 Potret suasana rumah duka Laura Anna sebelum dipindahkan, penuh haru
Sebelum kepergiannya, Laura harus berjuang mengalami kelumpuhan akibat cedera tulang belakang alias Spinal Cord Injury (SCI). Kondisi tersebut ia idap setelah mengalami kecelakaan bersama mantan kekasihnya, Gaga Muhammad. Akibat peristiwa ini, ia tidak bisa berjalan sejak 2019 silam.
Cedera tulang belakang sendiri memang bukan suatu penyakit yang bisa dianggap enteng. Melansir laman WHO, Rabu (15/12), ini merupakan kerusakan pada sumsum tulang belakang akibat trauma atau penyakit degenerasi. Dimana kondisi ini dapat menekan saraf, sehingga membuat sebagian atau seluruh organ tubuh tidak berfungsi dengan normal.
Sekitar 90% kasus ini disebabkan karena trauma misalnya kecelakaan mobil, seperti yang dialami oleh Laura Anna. Lalu, apa saja fakta Spinal Cord Injury yang diderita Laura sebelum berpulang? Berikut brilio.net rangkum 5 faktanya dilansir dari laman spinalcord.com dan Mayoclinic, Rabu (15/12).
BACA JUGA :
Dengar kabar Laura Anna meninggal, Denny Sumargo salahkan diri sendiri
1. Gejala penderita Spinal Cord Injury (SCI).
foto: freepik.com
Penderita spinal cord injury cenderung mengalami gejala sesuai tingkat keparahan cedera. Gejala-gejala yang sering dialami yaitu penurunan kekuatan pada lengan dan/atau kaki, penurunan sensasi (sensitivitas) pada lengan dan/atau kaki, hilangnya kontrol pada kandung kemih atau usus, sakit parah pada leher atau punggung, muncul benjolan yang tidak biasa di sepanjang tulang belakang, hingga kesulitan bernapas.
2. Bisa menyebabkan kerusakan fungsi tubuh permanen.
foto: freepik.com
Dikutip dari Mayo Clinic, spinal cord injury adalah cedera tulang belakang atau kerusakan pada bagian mana pun dari sumsum tulang belakang. Umumnya efek cedera ialah kerusakan fungsi tubuh secara permanen. Hal ini tentu tidak hanya berimbas pada fisik, tetapi secara mental dan emosional, juga aktivitas sosial.
Meski begitu, banyak ilmuwan optimis bahwa kemajuan penelitian suatu hari nanti akan memungkinkan cedera tulang belakang bisa diperbaiki. Studi penelitian terkait hal tersebut tengah berlangsung di seluruh dunia. Para pasien yang mengalami kondisi ini, kini hanya bisa melakukan perawatan dan rehabilitasi yang memungkinkan.
3. Bisa menyebabkan kelumpuhan.
foto: freepik.com
Sementara dari laman spinalcord.com, menyetakan bahwa orang yang mengalami cedera tulang belakang dapat menyebabkan kelumpuhan. Penurunan atau hilangnya refleks ini bahkan bisa dirasakan permanen. Namun, tidak selalu demikian.
Hal ini bisa pulih secara perlahan tergantung rasa syok yang dialami. Saat syok mulai berkurang dan gejala mulai berkurang, penderita mungkin mulai memulihkan refleksnya secara bertahap.
4. Penderita menghasilkan lebih sedikit hormon pertumbuhan.
foto: freepik.com
Masih dari laman spinalcord, dinyatakan lebih dari 70% populasi cedera tulang belakang menghasilkan lebih sedikit hormon pertumbuhan atau growth hormone (GH). Hormon pertumbuhan sendiri merupakan hormon yang secara alami dihasilkan oleh kelenjar pituitari di otak. Hormon ini berfungsi untuk memastikan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara normal.
5. Perawatan hormon pertumbuhan dapat membantu pemulihan SCI.
foto: freepik.com
Melansir laman spinalcord.com, terdapat sebuah penelitian tentang penggunaan hormon pertumbuhan dalam perawatan cedera tulang belakang. Pada penelitian tersebut telah mendapatkan minat dan daya tarik selama beberapa tahun terakhir.
Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2017 di Barcelona, Spanyol, menunjukkan bahwa penggunaan hormon pertumbuhan bisa menjadi pilihan pengobatan potensial di masa depan.
Dalam penelitian di Spanyol, 18 orang dengan cedera tulang belakang menerima terapi hormon pertumbuhan atau plasebo:
Mereka yang diobati dengan hormon pertumbuhan mengalami peningkatan signifikan dalam ukuran perawatan diri dan pernapasan dan kontrol sfingter pada tiga dan enam bulan. Kelompok hormon pertumbuhan juga mendapatkan kembali perasaan yang jauh lebih banyak di bawah lokasi cedera tulang belakang setelah enam bulan perawatan dibandingkan dengan kelompok plasebo.