Brilio.net - Fenomena kamar kos yang dipenuhi dengan barang maupun sampah belakangan ini marak terjadi. Menyimpan barang karena merasa sayang untuk dibuang, walau sudah tidak terpakai memang hal biasa. Namun, jika ada kecenderungan menyimpan barang hingga bertumpuk tanpa memperhatikan nilainya, itu bisa jadi hoarding disorder.
Hoarding disorder merupakan gangguan mental yang menyerang seseorang, berakibat pada kecenderungan menimbun barang-barang, hingga kesulitan membuang sampah yang tak terpakai. Penyakit ini memiliki dampak yang buruk bagi penderita terhadap aktivitas kesehariannya. Lebih parahnya, para penderita hoarding disorder seringkali tidak menyadari bahwa mereka mengidap gangguan kesehatan mental. Akibatnya, banyak dari penderita mengalami gangguan mental lainnya, seperti depresi dan stres akut.
BACA JUGA :
Kurang pengakuan bikin insecure, yuk hilangkan dengan temukan kepercayaan diri bareng SASA
Selain menimbun barang, ada berbagai gejala lain yang menandai seseorang tengah menderita hoarding disorder, namun sering diabaikan. Bila hal ini terus terjadi dan tidak ada langkah penanganan yang tepat, dampak hoarding disorder akan semakin parah, baik bagi si penderita maupun orang-orang sekitar. Jika kamu tertarik mendalami informasi seputar hoarding disorder dan gejalanya yang sering diabaikan, kamu bisa membaca informasinya di bawah ini.
Berikut 10 gejala penyakit hoarding disorder yang sering diabaikan. Seperti dilansir brilio.net dari berbagai sumber, Senin (27/5).
Pengertian penyakit hoarding disorder.
BACA JUGA :
Mengenal bipolar disorder penyakit yang sempat diderita Mike Tyson hingga alami perubahan mood ekstrem
Hoarding disorder adalah gangguan mental yang ditandai oleh perilaku menumpuk atau mengumpulkan barang-barang dalam jumlah yang berlebihan, sehingga menyebabkan kesulitan dalam mengelola ruang hidup dan aktivitas sehari-hari. Orang dengan gangguan ini merasa kesulitan atau kesulitan untuk membuang barang-barang yang mungkin tidak berguna atau bahkan sampah.
Mereka cenderung merasa terikat secara emosional pada barang-barang tersebut, bahkan jika barang-barang tersebut tampaknya tidak memiliki nilai nyata atau berguna. Beberapa contoh barang yang biasanya ditimbun oleh penderita hoarding disorder, seperti: bungkus paket, bekas botol minuman, baju, buku, surat, hingga perkakas rumah tangga.
Para penderita hoarding disorder seringkali tidak menyadari dirinya, sedang mengalami gangguan kesehatan mental. Akibatnya langkah pengobatan untuk membantu menangani kondisi ini semakin sulit dan lambat. Tingkat keparahan hoarding disorder berkisar dari tahap ringan hingga berat. Pada beberapa kasus ringan, gejala menimbun barang tidak terlalu mengganggu aktivitas penderita sehari-hari. Namun, dalam kasus yang berat, hal ini sangat mengganggu aktivitas, yang berakibat pada isolasi diri dari lingkungan sosial sekitar.
Penyebab penyakit hoarding disorder.
Penyebab penyakit hoarding disorder hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Namun penyakit ini seringkali berkaitan dengan beberapa gangguan kesehatan mental lainnya, seperti stres akut, depresi, dan OCD. Selain itu, ada beberapa faktor atau penyebab lainnya yang bisa memicu hoarding disorder pada seseorang, yaitu:
1. Faktor genetik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada faktor genetik yang mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap hoarding disorder. Artinya, ada kemungkinan bahwa gangguan ini dapat terjadi lebih sering pada individu yang memiliki riwayat keluarga dengan masalah penumpukan barang atau gangguan kejiwaan lainnya.
2. Faktor lingkungan dan pengalaman masa kecil.
Pengalaman masa kecil, terutama terkait dengan lingkungan keluarga dan pola pengasuhan, dapat memainkan peran dalam perkembangan hoarding disorder. Misalnya, jika seseorang dibesarkan dalam lingkungan di mana penumpukan barang dianggap normal atau diperlakukan dengan cara yang memperkuat perilaku menumpuk, mereka mungkin memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan gangguan ini. Selain itu, trauma psikologis, seperti kehilangan orang yang dicintai atau pengalaman lain yang mengganggu, juga dapat berkontribusi pada perkembangan hoarding disorder.
3. Faktor psikologis dan neurologis.
Beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara hoarding disorder dengan kondisi neurologis atau psikologis tertentu. Misalnya, gangguan obsesif-kompulsif (OCD) sering kali terkait dengan hoarding disorder, meskipun keduanya merupakan gangguan yang berbeda. OCD ditandai oleh obsesi dan kompulsi yang mengganggu, sementara hoarding disorder fokus pada perilaku menumpuk barang. Selain OCD, gangguan kecemasan, depresi, atau kondisi neurokognitif lainnya juga dapat berkontribusi pada perkembangan hoarding disorder.
4. Sulit mengambil keputusan dan mengatur emosi.
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa individu dengan hoarding disorder mungkin mengalami kesulitan dalam pengambilan keputusan dan pengaturan emosi. Mereka mungkin memiliki kecenderungan untuk menetapkan nilai emosional yang tinggi pada barang-barang, bahkan jika barang-barang tersebut sebenarnya tidak memiliki nilai praktis. Selain itu, mereka mungkin menggunakan penumpukan barang sebagai cara untuk mengatasi atau menghindari emosi yang tidak nyaman, seperti kecemasan, kesedihan, atau ketidakpastian.
10 Gejala penyakit hoarding disorder yang sering diabaikan.
Selain menimbun barang, ada beberapa gejala lain yang menandakan seseorang tengah mengalami gangguan kesehatan mental hoarding disorder, antara lain sebagai berikut:
1. Kesulitan untuk membuang barang tidak berguna.
2. Ketidakmampuan untuk membuang barang yang mengganggu.
3. Kesulitan mengatur barang hingga berantakan.
4. Memiliki rasa tanggungjawab untuk mempertahankan barang.
5. Menjadi stres dan tidak nyaman saat berfikir membuang barang.
6. Tidak membiarkan orang lain membuang barang.
7. Kesulitan memutuskan apa yang harus dibuang dan apa yang harus disimpan.
8. Terlalu banyak membeli barang yang tidak dibutuhkan.
9. Mengisolasi diri dari lingkungan sosial.
10. Tidak memperdulikan kesehatan dan kebersihan ruangan.
Cara mengobati penyakit hoarding disorder.
Pengobatan hoarding disorder sering kali melibatkan kombinasi dari terapi psikologis, terapi perilaku kognitif, dukungan sosial, serta konsumsi obat-obatan. Obat yang diberikan adalah obat yang mampu meredakan tingkat stres akut, seperti gangguan kecemasan dan depresi.
1. Terapi perilaku kognitif.
Terapi perilaku kognitif adalah pendekatan terapi yang paling umum digunakan dalam pengobatan hoarding disorder. Terapi ini bertujuan untuk membantu individu mengidentifikasi, memahami, dan mengubah pola pikir dan perilaku yang terkait dengan penumpukan barang. Terapis juga akan membantu penderita untuk menghadapi kecemasan atau ketakutan, yang terkait dengan membuang barang-barang tersebut melalui teknik-teknik seperti eksposur bertahap.
2. Terapi dukungan.
Terapi dukungan dapat berupa konseling individual atau kelompok, yang bertujuan untuk memberikan dukungan emosional dan praktis kepada seseorang yang terkena hoarding disorder.
3. Intervensi rumah tangga.
Intervensi rumah tangga melibatkan kerjasama dengan keluarga atau anggota rumah tangga lainnya, untuk membantu membersihkan dan merapikan lingkungan rumah orang yang terkena hoarding disorder. Pendekatan ini dapat mengurangi beban fisik dari proses membersihkan rumah, dan memberikan dukungan emosional kepada individu yang terkena gangguan tersebut.
4. Pengelolaan stres dan kecemasan.
Mengatasi stres dan kecemasan adalah komponen penting dalam pengobatan hoarding disorder. Individu mungkin membutuhkan strategi pengelolaan stres seperti meditasi, relaksasi otot progresif, atau teknik pernapasan dalam untuk mengatasi kecemasan. Jika diperlukan, terapis juga dapat merekomendasikan terapi atau obat-obatan untuk mengurangi gejala kecemasan atau depresi yang sering terkait dengan hoarding disorder.
Itulah 10 gejala penyakit hoarding disorder yang sering diabaikan. Harapannya, setelah kamu mengetahui informasi seputar penyakit hoarding disorder tersebut, kamu dapat lebih menyadari akan kesehatan mental diri sendiri. Jika kamu menemui beberapa gejala hoarding disorder pada dirimu sendiri atau orang terdekatmu, segeralah untuk berkonsultasi dengan tenaga ahli, agar bisa cepat tertangani. Semoga informasi ini bermanfaat, ya!
(Magang/Zidan Fajri)