Brilio.net - DBD bukanlah penyakit yang bisa dianggap remeh. Virus dengue yang dibawa oleh nyamuk Aedes Aegypti ini dapat menyebabkan serangkaian gejala yang serius, mulai dari demam tinggi yang mencapai 40C, nyeri otot dan sendi yang intens (myalgia dan arthralgia), hingga penurunan trombosit drastis yang dapat mengakibatkan perdarahan.
Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, setiap tahun dilaporkan puluhan ribu kasus DBD di seluruh Indonesia dengan angka kematian yang masih memprihatinkan. Dalam kasus yang parah, DBD dapat berkembang menjadi dengue shock syndrome (DSS) yang mengancam jiwa.
BACA JUGA :
Percepat proses penyembuhan, 9 buah-buahan ini dianjurkan dikonsumsi saat terserang DBD
Kondisi tersebut ditandai dengan kebocoran plasma darah yang signifikan, penurunan tekanan darah yang drastis (hipotensi), dan kegagalan fungsi organ-organ vital. Menurut studi yang dipublikasikan dalam "The Lancet", tanpa penanganan medis yang cepat dan tepat, angka kematian akibat DSS dapat mencapai 20%. Anak-anak dan lansia merupakan kelompok yang paling rentan terhadap komplikasi DBD.
Sistem kekebalan tubuh anak-anak yang belum sepenuhnya berkembang dan sistem imun lansia yang sudah menurun, membuat virus dengue lebih mudah menyebar dan menimbulkan gejala yang lebih berat. Penelitian yang dimuat dalam "Journal of Pediatrics, menunjukkan bahwa anak-anak di bawah usia 5 tahun memiliki risiko 4 kali lebih tinggi mengalami komplikasi serius DBD dibandingkan orang dewasa.
Selain dampak kesehatan yang serius, DBD juga membawa konsekuensi ekonomi yang tidak ringan. Biaya pengobatan DBD, terutama jika memerlukan perawatan intensif, dapat mencapai puluhan juta rupiah. Belum lagi kerugian akibat hilangnya produktivitas selama masa sakit dan pemulihan.
BACA JUGA :
Benarkah demam berdarah (DBD) hanya terjadi sekali seumur hidup? Ini penjelasannya secara medis
Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia memperkirakan bahwa kerugian ekonomi akibat DBD di Indonesia mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. Oleh karena itu, pencegahan DBD harus menjadi prioritas utama bagi setiap rumah tangga dan komunitas.
Musim kemarau bukan berarti bebas nyamuk DBD
foto: freepik.com
Banyak orang beranggapan bahwa musim kemarau identik dengan berkurangnya populasi nyamuk. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya akurat untuk nyamuk Aedes Aegypti, vektor utama penyakit DBD. Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal "PLOS Neglected Tropical Diseases", nyamuk Aedes Aegypti memiliki kemampuan adaptasi yang luar biasa terhadap perubahan iklim, termasuk kondisi kering di musim kemarau.
Di musim kemarau, meskipun genangan air alami berkurang, nyamuk Aedes Aegypti masih dapat berkembang biak dengan mudah di tempat-tempat penampungan air buatan manusia. Bak mandi yang jarang dikuras, ember penampungan air, pot tanaman dengan tatakan air, dan bahkan sampah seperti botol atau kaleng bekas yang terisi air hujan dapat menjadi sarang nyamuk yang ideal.
Bahkan, sebuah studi dari Institut Pertanian Bogor menunjukkan bahwa nyamuk Aedes Aegypti dapat bertahan hidup dalam kondisi kering selama berbulan-bulan dalam bentuk telur yang resisten terhadap kekeringan. Lebih mengkhawatirkan lagi, suhu yang lebih tinggi di musim kemarau justru dapat mempercepat siklus hidup nyamuk dan perkembangan virus dengue di dalam tubuh nyamuk.
Penelitian yang diterbitkan dalam "American Journal of Tropical Medicine and Hygiene" menunjukkan bahwa pada suhu 30-32C, siklus gonotropik nyamuk Aedes Aegypti (waktu antara menghisap darah hingga bertelur) dapat dipercepat hingga 2 hari, sementara masa inkubasi ekstrinsik virus dengue (waktu yang dibutuhkan virus untuk berkembang dalam tubuh nyamuk hingga dapat ditularkan) dapat diperpendek hingga 5 hari.
Hal tersebut menunjukkan nyamuk dapat menjadi infektif lebih cepat dan berpotensi menularkan virus ke lebih banyak orang dalam waktu yang lebih singkat. Kelembaban udara yang rendah di musim kemarau juga dapat mendorong nyamuk untuk lebih sering mencari makan, meningkatkan frekuensi kontak antara nyamuk dan manusia.
Studi entomologi yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menunjukkan bahwa pada kelembapan di bawah 60%, nyamuk Aedes Aegypti cenderung lebih agresif dalam mencari sumber air dan darah, yang berarti lebih sering menggigit manusia. Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap DBD harus tetap tinggi sepanjang tahun, termasuk di musim kemarau yang sering dianggap aman dari nyamuk.
Hal-hal yang perlu diwaspadai pada anggota keluarga yang terjangkit DBD
foto: freepik.com
Mengenali gejala awal DBD sangatlah penting untuk penanganan yang tepat waktu. Demam tinggi yang tiba-tiba, biasanya di atas 38C dan bertahan selama 2-7 hari, merupakan tanda awal yang paling umum. Gejala ini biasanya diikuti dengan sakit kepala parah, terutama di area belakang mata (retro-orbital pain), serta nyeri otot dan sendi yang intens yang sering disebut 'demam patah tulang'.
Perhatikan juga tanda-tanda perdarahan yang merupakan karakteristik khas DBD, seperti mimisan (epistaxis), gusi berdarah saat menyikat gigi, atau munculnya bintik-bintik merah di kulit (petekie) yang tidak memudar saat ditekan. Pada kasus yang lebih serius, bisa terjadi perdarahan gastrointestinal yang ditandai dengan feses hitam atau muntah darah.
Menurut panduan terbaru dari World Health Organization (WHO), gejala-gejala ini biasanya muncul 3-7 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi dengan puncak keparahan biasanya terjadi pada hari ke-3 hingga ke-7 demam. Hal yang paling krusial adalah mengamati perkembangan gejala pada hari-hari kritis, yaitu saat demam mulai turun.
Pada fase tersebut atau yang disebut fase kritis, pasien DBD berisiko mengalami penurunan trombosit yang drastis dan kebocoran plasma yang dapat mengakibatkan syok. Jika muncul tanda-tanda bahaya seperti nyeri perut yang hebat dan terus-menerus, muntah persisten yang mengganggu asupan cairan, perdarahan mukosa yang signifikan, letargi atau gelisah, atau pembesaran hati lebih dari 2 cm, segera bawa pasien ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif. Penundaan penanganan pada fase ini dapat berakibat fatal.
Nah, setelah mengetahui bahaya, hal-hal yang perlu diwaspadai dari DBD di musim kemarau, kamu juga harus tahu cara sederhana yang bisa kamu lakukan agar membuat rumahmu bebas dari nyamuk-nyamuk DBD. Dihimpun brilio.net dari berbagai sumber pada Jumat (9/8), berikut sembilan caranya.
1. Praktikkan 3M Plus secara konsisten
foto: freepik.com
- Menguras: bersihkan tempat-tempat penampungan air setidaknya seminggu sekali. Gosok dinding bak dengan sikat untuk menghilangkan telur nyamuk.
- Menutup: pastikan semua wadah penyimpanan air tertutup rapat.
- Mendaur ulang: buang atau daur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.
- Plus: tabur larvasida pada penampungan air yang sulit dikuras, seperti kolam atau vas bunga besar. Gunakan larvasida yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan RI, seperti temephos (Abate) dengan dosis yang tepat.
Menurut studi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, implementasi 3M Plus secara konsisten dapat mengurangi populasi jentik nyamuk Aedes Aegypti hingga 90% dalam waktu satu bulan.
2. Gunakan kelambu yang dicelup insektisida.
WHO merekomendasikan penggunaan kelambu yang dicelup insektisida (Insecticide-Treated Nets atau ITNs) untuk perlindungan ganda. ITNs tidak hanya menghalangi nyamuk secara fisik, tetapi juga membunuh atau mengusir nyamuk yang mencoba mendekat. Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan dalam "Cochrane Database of Systematic Reviews" menunjukkan bahwa penggunaan ITNs dapat mengurangi insiden DBD hingga 50%.
3. Pasang kasa pada ventilasi.
Memasang kasa nyamuk berukuran 18x16 mesh per inci persegi pada jendela dan ventilasi rumah dapat mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah secara efektif. Pastikan kasa dalam kondisi baik dan tidak berlubang. Lakukan pemeriksaan dan perbaikan kasa secara berkala, minimal setiap 6 bulan sekali.
4. Gunakan lotion anti nyamuk.
Aplikasikan lotion anti nyamuk yang mengandung bahan aktif seperti DEET (N,N-diethyl-meta-toluamide), picaridin, atau IR3535 pada kulit yang terbuka, terutama saat beraktivitas di luar rumah. Penelitian yang dimuat dalam "Journal of Medical Entomology, menunjukkan bahwa lotion dengan konsentrasi DEET 20-30% dapat memberikan perlindungan efektif selama 3-6 jam.
5. Tanam tanaman pengusir nyamuk.
Beberapa tanaman seperti lavender, serai wangi (Cymbopogon nardus), dan citronella (Cymbopogon winterianus) dikenal memiliki aroma yang tidak disukai nyamuk. Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal "Malaria Journal" menunjukkan bahwa minyak esensial dari tanaman-tanaman ini dapat mengurangi aktivitas menggigit nyamuk Aedes Aegypti hingga 95%. Tanam tanaman-tanaman ini di sekitar rumah atau letakkan pot-potnya di dekat jendela dan pintu.
6. Pasang lampu UV.
Lampu UV dapat menarik dan mematikan nyamuk dewasa. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam "Journal of the American Mosquito Control Association" menunjukkan bahwa perangkap nyamuk dengan lampu UV dapat mengurangi populasi nyamuk dalam ruangan hingga 70%. Namun, pastikan untuk menempatkannya jauh dari area tidur dan aktivitas keluarga, idealnya di sudut ruangan atau koridor.
7. Jaga kebersihan halaman.
Potong rumput secara teratur, minimal setiap 2 minggu sekali dan bersihkan sampah di halaman. Nyamuk Aedes Aegypti suka bersembunyi di tempat-tempat lembap dan rimbun. Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menunjukkan bahwa rumah dengan halaman yang tidak terawat memiliki risiko 3 kali lebih tinggi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk DBD.
8. Hindari menggantung pakaian.
Nyamuk suka hinggap di pakaian yang digantung, terutama yang berwarna gelap. Simpan pakaian di dalam lemari atau keranjang tertutup untuk mengurangi tempat persembunyian nyamuk. Jika harus menggantung pakaian, gunakan lemari pakaian dengan pintu yang bisa ditutup rapat.
9. Gunakan kipas angin.
Nyamuk adalah penerbang yang lemah, dengan kecepatan terbang maksimal hanya sekitar 1,5-2,5 km/jam. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam "Journal of Medical Entomology", aliran udara dari kipas angin dengan kecepatan sedang (2-3 m/detik) dapat mengganggu terbang nyamuk dan mengurangi kemampuan mereka untuk mendeteksi manusia melalui CO2 dan panas tubuh.
Pasang kipas angin di area-area tempat keluarga sering berkumpul, terutama pada sore dan malam hari saat nyamuk Aedes Aegypti paling aktif. Dengan menerapkan cara-cara ini secara konsisten dan menyeluruh, kamu dapat menciptakan lingkungan yang sangat tidak ramah bagi nyamuk, sekaligus melindungi keluarga dari ancaman DBD.
Ingatlah bahwa pencegahan selalu lebih baik dan jauh lebih murah daripada pengobatan. Mari bersama-sama menjaga kesehatan keluarga dan masyarakat dengan mewaspadai DBD, tidak hanya di musim hujan, tetapi juga di musim kemarau yang sering kali luput dari perhatian.